Dua; Terkunci

13 3 3
                                    

"Mph.. Hey, Cilla..." Panggil Rahmat agak keras dan halus. Jarang sekali cowok ini memanggil orang dengan nada begitu. Cilla menoleh dengan halus dan menunggu membicaraan dilanjutkan.

"Ya?"

TTEEEETTTT.....!! TTEEETTTTT....!! TTEEEETTT....!!

Bel istirahat pun berbunyi dan Rahmat belum sempat mengatakan hal apapun. Hampir saja Rahmat mengatakannya, ia dipanggil oleh genk-nya. Teman-temannya mendekati Rahmat. Tak ingin teman-temannya tau, Rahmat memberi tatapan kesal kepada Cilla.

Cilla agak terkejut, padahal tadi Rahmat memanggilnya dengan halus. Dan tiba-tiba berubah begitu saja dengan cepat.

"Sorry, gue tadi lupa mau ngomong apaan." Ucap Rahmat dengan muka datar terhadap Cilla yang tengah menatapnya heran dan disambut gelak tawa teman Genknya.

"Hahahah!! Elo omongan ama bocah culun gini?! Dia gak level ama lo!" Kata Lana dengan kerasnya. Rahmat berlalu tanpa mendengar kata-kata Lana. Sebelum Rahmat keluar dari pintu, ia mengejek Lana.

"Bacot lo! Bocah Tengil" Ucap Rahmat. Teman sekelasnya hampir semua tertawa mendengar nama panggilan dari Rahmat. Langsung Lana menutupi wajahnya karena malu dan pergi ke kamar mandi.

Bocah Tengil!
Bocah Tengil!
Bocah Tengil!

Itulah kata yang selalu diingat oleh Lana. Lana merasa direndahkan oleh Rahmat. Padahal Lana menyukai Rahmat, tapi entah mengapa Rahmat tak peka dengan tingkah Lana.

Lana berharap dia bisa diperhatikan oleh Rahmat, maka dari itu Lana sangat menempel dengan Rahmat. Setiap kemanapun Rahmat pergi, selalu ada Lana. Tapi tidak kali ini, setiap Lana mengajak jalan selalu saja ditolak Rahmat. Alasannya inilah, itulah, sibuklah, apalah.

"Huh!! Kenapa sih, Rahmat gak peka ama perasaan gue? Padahal, setiap saat gue dandan, nempelin dia.. Apa kekurangan gue?!!" Ucap Lana sambil menjerit dikamar mandi. Saat itu, ada Cilla yang mendengar teriakan dari Lana. Cilla mendekati sahabat lamanya itu dan menepuk pundaknya.

Lana dapat melihatnya dari pantulan cermin. Lana menatap seorang gadis berambut panjang dan cokelat halus menutupi sebelah matanya. Ya! Cilla! Lana yakin bila itu Cilla! Hampir Cilla mendapatkan pundaknya, Lana menepisnya dengan kasar.

"Paan lo pegang-pegang gue?! Udah sono pergi jauh-jauh! Jangan mimpi gue bisa jadi sahabat lo lagi!" Itulah ucap Lana sebelum ia pergi dari kamar mandi.

Mood Lana memburuk, ia didatangi sahabat yang baiknya seperti malaikat. Lana tidak mau mendekatinya karena merasa bersalah. Tangan Lana gatal ingin mengunci Cilla dikamar mandi. Tanpa basa basi lagi, Lana mengambil kunci dan memutar kunci itu hingga tak bisa dibuka.

Lana tersenyum puas, ia bisa pergi menjauh dari Cilla yang tak hentinya baik kepadanya. Di dalam, Cilla berusaha membuka pintu yang menutupnya. Tapi, Cilla anak yang lemah fisiknya, sehingga ia menyerah. Cilla menebak pasti Lana yang menguncinya. Cilla tersenyum dan duduk dipintu.

"Semoga kamu puas, Lana.." Ucap Cilla. Cilla menenggelamkan wajahnya yang cantik itu di dekapan tangannya sambil menunggu bantuan datang.

*   *   *
Lana tiba dikelas dengan senyuman licik sambil mempermainkan kunci toilet ditangannya. Dia yakin bahwa Cilla mustahil keluar dari toilet.

Bel masuk sudah berbunyi 15 menit yang lalu, tapi Cilla tak kunjung tiba dikelas. Cantika yang merasa khawatir mencari Cilla di kantin, kelas lain, parkiran, halaman, dan tidak ada disana.

"Rahmat, lo liat Cilla gak? Dari tadi gak masuk kelas." Tanya Cantika.

"Hmm.. APAA?!" kaget Rahmat. Cantika heran mengapa ia kaget hingga seperti itu. Rahmat langsung mendekati genknya dan menanyakan keberadaan Cilla.

Hanya Dia (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang