28. Timur Indonesia

8.9K 545 46
                                    

Zahra Almaira P.  POV

Surga kecil jatuh ke bumi!

Untaian lirik lagu untuk menggambarkan betapa indahnya timur Indonesia.
Tanah kaya kebanggaan bangsa.
Mutiara hitam yang mempesona.
Wilayah NKRI yang selalu ingin aku kunjungi, entah untuk mengabdi atau sekedar rekreasi.

Akhirnya setelah melewati proses berliku, meyakinkan keluarga bahkan harus mengambil keputusan besar, memasrahkan hubungan ku dan mas Yudha pada takdir, biar takdir yang berbicara akan kelanjutan kisah kami. Aku percaya apa yang ditakdirkan menjadi milik ku tidak akan pernah tertukar, begitupun sebaliknya!

Saat ini aku ingin serius menekuni pengabdian ku, mencerdaskan generasi muda di provinsi bungsu negeri ini.

Tak terasa remuk redamnya badan setelah menempuh 8 jam perjalanan udara, 2 jam perjalanan darat, melewati hutan, naik turun pengunungan, akhirnya aku bisa menyaksikan mentari pagi di Kabupaten Keerom, daerah di perbatasan RI-Papua Nugini.

Syukur tiada terkira, Ibu Pertiwi memberi ku kesempatan untuk mengenal sisi lain wilayahnya.

Saat pertama kali menginjakan kaki di sini. Warga setempat menyambut kedatangan ku dengan begitu antusias, pasalnya selama beberapa tahun kebelakangan tidak ada tenaga pendidik dari luar Papua yang mengajar di sini. Mereka mengungkapkan dengan logat daerahnya.

Ada rasa bangga dalam diriku, dilahirkan sebagai Indonesia, negara dengan keindahan alam dan kekayaan budayanya.

Dengan menggunakan jaket hitam kebanggaan ku, bertuliskan SM-3T.
Aku menyusuri jalanan berbatu, dengan pemandangan kanan kiri pepohonan rindang.

Hari ini adalah awal pengabdian ku, aku akan melihat dan berkenalan  langsung dengan murid baru.

"Selamat pagi, Mbak Zahra. " Sapa beberapa tentara yang melintas , mereka adalah anggota satgas yang kemarin ikut membantu ku hingga  sampai di sini.

Kebetulan, rumah dinas yang aku tempati terletak tidak jauh dari pos Skrofo, tempat lautan pria berseragam loreng berteduh selama masa pengabdiannya.

"Selamat pagi, om." Balasku seperti biasanya. Aku sejak kecil sudah terbiasa memanggil setiap tentara dengan sebutan 'Om'

"Mau berangkat ngajar, mbak?" Tanya Prada Algi, dia adalah gadik dari TNI-AD yang selain menjaga perbatasan juga turut andil membantu mendidik anak negeri.

Kemarin dia juga yang mengantarkan aku ke sekolah, berkenalan dengan kepala sekolah dan beberapa tenaga pengajar yang ada di sana.

"Iya, om. Saya gak sabar ingin bertemu dengan anak-anak di sini." Jawabku sambil berjalan beriringan dengan beberapa tentara tadi, yang kalau di lihat dari atribut mereka akan melakukan patroli perbatasan.

Ah, sepertinya kekhawatiran kak Bayu  tidak berlaku. Setidaknya aku berada di lingkungan yang aman. Paling tidak, mereka akan menjamin keamanan ku selama berada di sini.

"Anak-anak biasanya sangat antusias, kalau ada tenaga pengajar baru. Semoga mbak Zahra betah. Murid di sini memerlukan guru yang berkompeten di bidangnya, tidak seperti saya ini." Ucap Prada Algi.

"Jangan merendah seperti itu, om. Siapapun bisa menjadi guru, apalagi di tempat seperti ini. Saya salut, dengan kemauan om mengajar mereka."

"Itu sudah menjadi sumpah saya, mbak. Mengabdikan diri untuk rakyat." Jawabnya sambil tersenyum.

Aku menggeleng "Tetap saja, om. Hanya orang-orang tertentu yang tergerak hatinya, mau meluangkan waktu, di tengah-tengah tugas berat yang diemban, demi memberi pemahaman kepada yang membutuhkan."

DEJANIRA (Terbit Ebook di Play Store) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang