33. Hey Danton

9.9K 635 136
                                    

Foto itu terus terngiang di kepala ku. Foto mas Yudha bersama tentara wanita, yang baru ku sadari adalah mojang Bandung.
Iya, kowad itu adalah mojang Bandung.

Katakanlah, mereka berteman. Tapi apakah itu wajar? Posenya yang manja, merangkul bahu mas Yudha di helipad kapal, membuat ku kesal sendiri.

Ada tugas apa sebenarnya pangeran lorengku itu ? Sampai harus bareng kowad ganjen itu.

Tak terasa sudah 1 minggu berlalu, aku kembali beraktifitas, normal seperti biasanya. Luka di dahiku sudah mengering. Karena lukanya tak terlalu parah, mungkin hanya lebih ke mental psikologi. Dokter Aksa menyarankan untuk aku menemui psikolog atau dokter kejiwaan. Karena ditakutkan aku mengalami trauma.
Bagaimana pun, itu kejadian yang amat mengerikan untuk sipil biasa seperti ku ini.

" Sudah kamu kasih tau semua kan, Ra?"

Hari ini aku ikut membantu petugas kesehatan menyiapkan acara penyuluhan kesehatan di salah satu rumah kepala suku. Dokter Aksa meminta bantuan ku, untuk menyebarkan informasi.

Aku mengacungkan jempol "Beres, dok. Sebentar lagi mereka bakal datang."

Selain menjadi tenaga pengajar, di sini aku juga turut andil dalam kehidupan masyarakatnya, mencetuskan program-program baru. Tak jarang, sore hari setelah pulang mengajar, aku ikut mereka ke ladang. Sekedar membantu mereka mengolah lahan, atau melihat hasil panen yang bisa dikembangkan untuk menjadi produk dengan daya jual tinggi.

"Nah, itu mereka." Seruku girang. Melihat antusias warga datang untuk cek kesehatan.

"Makasih ya Ra. Bantuannya." Ucap dokter Aksa.

"Oke. Sama-sama. Kalau gitu saya pamit dulu."

Karena ku rasa, tugas ku sudah selesai.
Aku bersiap untuk pulang, aku mengambil ponsel yang tergelatak di meja kecil dengan dompet long wal let pouch warna cream pemberian mas Yudha.

"Gak di sini dulu aja? Daripada gabut di rumah. Hari ini minggu lho!" Tawar dokter Aksa.

Iya juga ya. Ini masih terlalu pagi untuk aku berdiam diri di rumah dinas.

"Iya mbak. Di sini aja, bantu-bantu kita. Daripada nganggur di rumah." Pratu Adi menimpali.

Di sini aku tidak hanya diajarkan cara bertahan hidup, namum juga cara menghargai perbedaan, menjalin kerja sama dengan orang lain. Dari berbagai bidang yang berbeda. Kesehatan ini salah satunya .

"Haduh, om. Saya gak paham sama alat kesehatan beginian."
Aku kembali duduk, dan mengurungkan niat buat pulang.

"Daripada cuma duduk, itu nginput data pasien juga boleh Ra." Saran dokter Aksa sambil sibuk nge cek up paseinnya. Mengecek tekanan darah, menekan setetoskop ke dada. Semua tak luput dari pandangan mataku.

"Mana ngerti saya dok, nginput data begitu. Tau saya cuma nginput data siswa, silabus sama bikin RPP."
Ucapan ku disambut tawa riang dari petugas kesehatan di sini.

Selain dari pihak Tni di sini juga ada  bidan desa. Sama seperti ku, mereka datang ke sini dalam rangka pengabdian.

"Ya udah lah mbak. Apa-apa gak tahu, apa-apa gak bisa. Jadi penonton aja kalau gitu." Canda pratu Adi, ku tanggapi dengan cengiran kuda.

Memang sudah selayaknya aku diam saja. Duduk di kursi, sambil memandang hiruk pikuk aktivitas di sini.
Sedikit menepis dan melupakan pikiran-pikiran yang terus berputar di otak ku, tentang mas Yudha.
Tentang wanita itu, yang ku tahu adalah sahabat mas Yudha saat SMA.  Wanita sama yang datang ke kedai kopi bareng dengan mas Yudha kala itu. Wanita penghancur rencana yang sudah ku susun rapi.

DEJANIRA (Terbit Ebook di Play Store) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang