Siang ini matahari nampak membumbung tinggi di angkasa.
Sepertinya, akhir-akhir ini sebagian besar wilayah Indonesia sedang mengalami musim kemarau panjang.
Ditandai dengan cuaca panas yang menyengat, terik sinar mentari mampu membakar kulit siapa saja yang berada di luar ruangan.Tak jauh beda dengan hatiku, hari ini hati ku juga panas dan terbakar. Pasalnya sudah ada 2 minggu mas Yudha tidak dapat dihubungi.
Entah kemana pria itu. Apa sedang disibukkan dengan kegiatan atau sedang latihan. Sungguh, aku begitu cemas dibuatnya."Hey, Ra... " Tepukan pelan seseorang di pundak membuat ku terlonjak kaget.
Dan ternyata dia adalah dokter Aksa.
Lagi dan lagi. Aku harus bermitra dengan dokter menyebalkan ini. Hari ini, dia datang ke sekolah untuk memberikan sosialisasi, terkait penyakit difteri sekaligus melakukan imunisasi.
"Sudah selesai, dok?" Tanya ku disambut anggukan oleh dokter Aksa.
Dia menurunkan masker biru yang menutupi sebagian wajahnya, dan menggantungkan steteskop di leher jenjangnya.
"Mau langsung pulang apa lanjut ngajar?" Ucap pria itu sambil mengambil duduk di kursi panjang, tepat di samping ku.
"Pulang dok! kasian anak-anak kalau dipaksa tetap belajar. Nanti pasti tidak konsen. Setau saya suntik difteri itu sakit, bikin ngilu. " Balasku sambil menggeser duduk sedikit menjauh.
Bukan apa, aku hanya waspada. Takut ada yang melihat kami, dan melaporkan ke mas Yudha. Karena setelah ku renungkan, rata-rata prajurit yang bertugas di sini berasal dari batalyon Bandung, tempat mas Yudha dulu berdinas. Itu artinya, banyak mantan anggota mas Yudha yang berpotensi menjadi mata-mata di sini.
"Betul. Lebih baik kamu suruh mereka pulang. Agar bisa segera minum obat." Ucapnya dan ku balas dengan anggukan.
"Kalau begitu saya masuk dulu. Permisi."
Dokter Aksa mencekal tangan kiriku."Kita pulangnya bareng ! Saya tunggu kamu di sini."
Dia melepaskan cekalannya, dan melirik sekilas cincin perak di jari manis ku dengan ekor matanya."Terima kasih, tapi saya bisa pulang sendiri." Tolak ku ketus.
"Tunggu..." Cegahnya saat aku hendak melangkah.
"Apa lagi, dok?" Tanyaku menghela nafas lelah.
"Kamu akan lebih aman, jika pulang bareng saya."
"Jangan berlebihan, dok!" Ejek ku sinis "Saya setiap hari pulang sendiri, dan masih baik-baik saja. "
"Saya hanya khawatir!" Cicitnya pelan, ada sorot kekhawatiran nampak jelas di netra teduhnya.
Please Ra. Jangan terpancing.
"Dokter Aksa tidak berhak mengkhawatirkan saya." Ketus ku tajam.
"Naluri saya sebagai tentara, memaksa saya untuk tetap mengkhawatirkan kamu." Dia menatap ku lekat, membuat ku terintimindasi.
"Bagaimana pun kamu ini tetap sipil biasa, warga pendatang. Daerah sini rawan. Kamu tahu itu kan? " Sambungnya kembali.
Aku makin salah tingkah sendiri.
Yang dikatakan dokter Aksa semuanya benar. Kemarin saja, saat aku pulang mengajar terjadi kehebohan di pos dekat rumah dinas ku. Truck tentara keluar masuk pos membawa personil bersenjata lengkap. Di sekeliling rumah warga juga dijaga aparat gabungan TNI Polri. Usut punya usut, kemarin telah terjadi pengerusakan rumah warga oleh anggota KKB, berlanjut perampasan senjata milik polisi, hingga menjatuhkan korban jiwa.
Tak sampai di situ, tadi pagi juga terjadi baku tembak antara aparat dan anggota separatis.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEJANIRA (Terbit Ebook di Play Store)
Fiksi UmumKisah sarjana koplak yang sedang menempuh sekolah profesinya dan Danton galak yang sedang bertugas menjaga kedaulatan negaranya. Antara cinta dan pengabdian. Dejanira (Penyebar Cinta)? *** Kalau ada kesamaan nama, alur, latar, dan penokohan adalah...