42. Gugur Bunga

14.1K 637 218
                                    

Manggala Yudha POV

Selamat pagi. Masih dari timur Indonesia yang indah. Berteman kan rindu yang belum tuntas. Aku masih harus menyelesaikan tugas ku di sini, barang 1 hari lagi. Rasanya sudah tak sabar ingin segera pulang. Bertemu dengan Zahra, guru cantik yang berhasil aku lamar untuk kesekian kalinya. Meski dia terlihat shock di awal. Tapi dia tidak menolak saat aku memakaikan cincin itu kembali di jari manisnya.

Puji Syukur. Meski banyak rintangan dan godaan yang menghadang. Dari mulai kami yang saling mengecewakan satu sama lain di awal hubungan kita dulu, Zahra yang menyerah dan mengembalikan cincin pemberian ku, tugas negara yang sering membuat Zahra ngomel, sampai yang paling berat adalah kehadiran orang ketiga di antara kami.
Hingga akhirnya, alang rintang itu menemukan titik terang. Aku bersyukur, Ambar Ruma tak lagi menghubungi ku pun dokter marinir itu yang telah pulang dari Papua, bahkan sebulan sebelum Zahra kembali ke Jawa.

Berbicara soal Papua. Di akhir masa tugas ku sudah 2 kali terjadi kekacauan, yang mengharuskan aku ikut turun tangan. Hal itu secara tidak langsung membuat keluarga ku di Jawa bahkan Zahra ikut khawatir. Di detik-detik terakhir kepulangan ku, seharusnya kami—aku dan para anggota sudah melakukan prepare, bukan malah berkutat dengan senjata dan amunisi-amunisi ini.

"Udah dulu, dek. Besok mas kabari lagi. Kalau sudah mau berangkat."

Aku sedang menenangkan Zahra yang uring-uringan akibat kemakan berita di media massa. Yang kadang lebih banyak salahnya ketimbang benarnya. Heran dengan pers jaman sekarang, tidak seakurat dulu lagi. Tergantung kepentingan apa yang sedang ingin mereka capai.

"Janji besok pulang, mas? Perasaan Rara gak enak ini." Ucapnya dengan suara parau. Aku tahu dia habis nangis.

Orang mana yang tidak menangis, ketika mendengar kekasih hatinya ada dalam situasi berbahaya. Tapi apalah daya, itu resiko yang harus aku terima ketika memutuskan menjadi tentara.

Aku terkekeh pelan."Janji dek, besok mas pulang. Ketemu kamu, kita main ke Paralayang, main ke Selecta, main kemana lagi kata mu kemarin?"

"Ke Bromo, Rara mau muncak pokoknya."

"Iya iya, kita ke Bromo. Sesuka kamu aja lah. Do'akan mas selamat ya sayang." Ucap ku sambil berkacak pinggang, di bawah pohon besar. Menatap langit siang kota Papua yang seperti mengejek ku.

"Selalu. Rara selalu do'ain, mas. Tak hentinya Rara minta Tuhan semoga jaga mas Yudha, hiks. Rara takut." Ucapnya kembali menangis.

Amat berat ya dek mendampingi seorang tentara itu? Apa kalian juga merasakan hal yang sama, kala menanti kekasih hati kalian pulang?

"Insya Allah mas baik-baik saja. Udah dong nangisnya. Mas janji besok pulang." Hibur ku lagi.

"Rara tunggu di rumah."

"Oke. Monitor! "

"Mas tahu nggak. Tiap kali ada pesawat tentara melintas, Rara kira itu mas lho." Curahnya yang mulai tenang. Aku terkekeh. Sayang kami hanya telepon biasa, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya.

"Saking kangennya pasti." Gurau ku mengalihkan suasana yang mulai normal ini. Sambil sesekali mata ku melirik arah pegunungan yang sunyi sepi.

"Iya tau. Eh, mas. Bajunya kemarin udah Rara ambil di penjahit. Bagus ternyata, Rara udah coba. Kainnya adem."

Zahra memang menjahitkan baju  couple untuk lamaran resmi kami nanti. Batik asli Papua yang aku pilih waktu di pasar Skouw menjadi pilihan kami. Aku memasrahkan semuanya ke Zahra, dari mulai ukuran baju ku dia yang handel. Kasian sebenarnya, dia harus wira wiri sendiri, mengurus ini itu.

DEJANIRA (Terbit Ebook di Play Store) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang