17 { The Real Feeling }

10 0 0
                                    

" Nanti pulang sekolah kita jenguk Nino ya" ucap Ibu melalui sambungan telpon tersebut saat aku sedang jam istirahat.

" Iya Bu. Tapi Ibu pergi duluan aja. Entar Naya nyusul" balasku teringat akan seseorang yang entah kenapa selalu membuat detak jantungku lebih cepat dari biasanya.

"Oke. Tapi ingat ya, jangan sampai lupa" tegas Ibu lagi.

"Oke bu. Assalammualaikum" ucapku sebelum menutup telepon.

Setelah pertandingan waktu itu, Nino dirawat di rumah sakit biasa dia dirawat. Sudah empat hari sejak insiden pertandingan kemarin. Begitu juga dengan Shaka. Sudah tiga hari dia tidak masuk sekolah. Dan sekarang aku harus melihat keadaannya.

-
-

"Assalammualaikum" ucapku sambil mengetuk pintu rumah Shaka yang tertutup rapat.

"Waalaikumsalam, eh kak Naya. Ada apa ke sini?" Jawab Ryan, adik Shaka.

"Eh Ryan. Udah besar aja kamu. Bang Shakanya ada?" Tanyaku sambil mengacak rambutnya pelan.

"Ada di kamar. Langsung naik aja ya kak. Bunda sama Ayah sedang kerja" ucap Ryan yang memang sudah menganggapku seperti kakak kandungnya sendiri. Begitupun dengan aku.

"Oke" ucapku langsung masuk ke rumah dan meletakkan tasku di kursi depan televisi mereka.

"Oh iya Kak. Ryan mau keluar bentar. Jagain bang Shaka dulu ya kak" ucapnya sesaat sebelum menutup pintu dan meninggalkan aku yang tidak memberi jawaban apapun ke dia.

Aku segera ke dapur dan melihat makanan yang ada. Biasanya Bunda selalu menyiapkan cemilan di rumah. Karena ketiga laki-laki di rumah ini sangat suka dengan yang namanya makanan.

Setelah mengisi perutku yang kosong, aku segera naik ke atas dan mengecek kamar Shaka. Jantungku berdetak sedikit lebih kencang dari keadaan normal. Aku menenangkannya sebentar sebelum mengetuk pintu kamar Shaka.

"Shaka" panggilku pelan dengan ketukan di pintu kamarnya. Tidak ada jawaban. Aku mengulangi lagi kegiatan itu hingga 3 kali, masih tanpa jawaban. Tanpa pikir panjang aku segera membuka pintu kamarnya dan memasukinya tanpa izin.

"Loh tapi kamu sakit?" Tanyaku saat tepat mataku melihat Shaka yang sedang duduk di depan laptopnya.

"Ada tugas" jawabnya singkat kembali fokus pada laptopnya setelah sedikit terkejut tadi.

"Harus banget emang dikerjain? Nggak bisa ditunda dulu?" Tanyaku yang lebih mengarah ke protes.

"Nggak" jawab Shaka semakin singkat. Aku menatapnya kesal dan dengan segala kekesalan itu, aku menutup laptop Shaka dengan senyuman menang kepadanya. Shaka menatap tidak percaya pada tingkahku ini.

"Kamu masih sakit. Udah 3 hari nggak sekolah. Wajah kamu aja masih pucat itu. Mau maksain pula buat tugas. Makin drop ntar baru tahu kamu rasanya" omelku menyeretnya kembali ke tempat tidur. Shaka hanya menurut tanpa perlawanan. Mungkin karena memang kesehatannya masih belum pulih.

"Udah makan kamu?" Tanyaku saat Shaka sudah membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Dia hanya mengangguk dengan memijat keningnya pelan. Mungkin masih sakit. Aku hanya membalas jawabannya dengan anggukan kembali.

Keheningan menhampiri kami untuk waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya, "Nay" panggil Shaka yang membuat aku otomatis menoleh kepadanya.

"Iya?" Jawabku bertanya.

"Kemarin aku mimpi" ucapnya dengan mata terpejam.

"Mimpi? Mimpi apa?" Tanyaku menatap wajahnya. Bibirku mengembang tanpa alasan. Senyuman tipis terbentuk tanpa arahan. Lagi, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang