09 { Kehidupan Remaja }

6 1 0
                                    

Pagi ini suasana sekolah cukup sibuk. Sudah memasuki bulan-bulan ujian semester. Guru-guru mulai sibuk memberi nilai.

Sekolah kami bukan seperti sekolah biasa. Yang menomor satukan ujian semester sebagai standar kepintaran seseorang. Ujian semester hanya sekedar formalitas bagi kami. Nilai-nilai yang ada pun bukan berdasarkan hasil ujian semester, melainkan hasil pengamatan para guru di setiap hari kami. Untuk itu tenaga pengajar kami bukanlah tenaga pengajar biasa. Mereka istimewa, bagiku.

Sekolah kamipun tidak menerapkan peringkat kelas. Karena mereka mengerti, bahwa peringkat kelas membuat kami menjadi manusia egois. Manusia yang hanya memikirkan diri sendiri tanpa memperdulikan cara yang akan kami pergunakan.

Aku sangat senang berada di sini. Sekolah impian. Itu yang selalu terlintas di pikiranku setiap kali ditanya tentang sekolah.

Sekolah ini benar-benar ibarat rumah kedua bagiku dan teman-teman. Banyak hal yang terjadi di sini dan semua memberikan kenangan yang begitu membekas.

"Shaka" ucapku saat melihat Shaka yang melintas di depan kelas. Ia menoleh.

"Tadi bu Anna chat, nyuruh kamu ke majelis ambil lks untuk belajar besok" ucapku yang hanya dibalas anggukan oleh Shaka.

Aku kembali fokus pada pekerjaanku. Rekap absen. Sampai tiba-tiba,

"NAY NAY" teriak Caca dari luar. Aku melihatnya sedikit kesal karena terkaget.

"Apa?" Tanyaku saat ia tiba di mejaku dengan napas yang cukup terburu.

"Dito Nay Dito" ucapnya cepat-cepat.

"Dito kenapa?" Tanyaku sedikit tidak peduli. Aku bukan tipe anak yang selalu peduli sama semua orang. Meskipun aku kenal atau dekat. Termasuk Dito. Meski aku cukup dekat sama dia, aku tidak begitu peduli padanya. Entah karena apa.

"Dito berkelahi di belakang" ucap Caca masih histeris. Sepertinya dia melihat secara langsung bagaimana perkelahian itu.

"Ya trus? Kan emang biasanya Dito berkelahi" ucapku masih tidak peduli.

"Iya emang. Tapi berkelahinya itu sama.. sama" ucapan Caca sedikit sulit dikeluarkan. Mungkin karena napasnya masih belum teratur.

"Siapa?" Tanyaku menatap Caca yang mukanya sedikit memerah.

"Ni.. Ni.. Nino" ucapnya cukup keras. Aku terkejut. Benar-benar terkejut. Kali ini bukan karena suara lengkingan Caca, melainkan nama yang disebut oleh lengkingan itu.

-
-

"DITO BERHENTI!!!" teriak Shaka dari pinggir lapangan basket. Aku melihat cucuran keringat di wajahnya. Sepertinya dia sudah berputar mencari jalan masuk ke lapangan itu. Iya, lapangan basket sekolah kami memang di pasang jaring dan ditutup dengan pintu. Alasannya agar bolanya nggak kena orang yang lewat.

Aku mendekati Shaka yang masih berusaha berteriak menenangkan Dito yang memang terlihat sangat marah.

"Kamu nggak nyimpan kunci cadangan?" Tanyaku panik yang hanya dibalas gelengan oleh Shaka.

Shaka kembali mencoba mendorong pintu lapangan. Beberapa anak cowok lainnya pun ikut membantu. Namun masih juga gagal. Tanpa pikir panjang aku segera lari ke rumah penjaga sekolah.

"Paaak Paaak" ucapku menggedor pintu.

Tak butuh waktu lama, pak Beno langsung keluar dan membukakan pintu.

"Ada apa?" Tanyanya diikuti nguapan yang cukup panjang.

"Maaf Pak. Saya bisa pinjam kunci lapangan?" Tanyaku meminta izin.

"Loh tadi udah di pinjam sama Dito" ucapnya mengucek mata pelan.

Aku melebarkan mataku. Apa Dito sengaja meminjam kunci untuk berkelahi dengan Nino?

"Ohh okelah Pak. Makasih. Maaf mengganggu ya Pak" ucapku yang langsung berlari meninggalkan pak Beno.

-
-

"Kalian kenapa? Ada masalah apa sampai kayak gini?" Tanya Shaka yang sekarang berdiri diantara Dito dan Nino.

Dito masih terlihat marah. Dadanya kembang kempis. Emosi masih memuncak di dirinya. Berbeda dengan Nino yang kini cuma tersenyum remeh membuat Dito semakin ingin memukulnya.

"DITO" tegas Shaka menghalangi pukulan yang akan ditujukan Dito pada Nino. Mau tidak mau, Shakalah yang terkena pukulan itu.

Aku segera memasuki kerumunan mereka dan menarik Nino tanpa ada yang menyadari. Kecuali Shaka, ia mengangguk setuju saat tepat melihat tindakanku.

-
-

"Sini aku obatin" ucapku yang kini berada di UKS bersama Nino. Wajahnya cukup babak belur. Bagaimana tidak, Dito benar-benar mengeluarkan emosinya. Entah karena apa.

"Nggak usah. Saya bisa sendiri" balasnya menjauhkan wajahnya dari hadapanku.

"Yaudah nggak usah" ujarku menarik tanganku kembali.

Hening terjadi untuk beberapa saat. "Kenapa bisa sampai kayak gitu?" Tanyaku membuka percakapan.

"Tanyain sama pelakunya aja" jawab Nino tidak peduli.

Aku menatapnya kesal, "Gimana mau nanyain Dito. Orang dia lagi emosi gitu, yang ada ntar aku kena juga" ucapku mengingat tatapan mematikan Dito tadi pada Nino.

"Kalau gitu nggak usah nanya" ujarnya membuatku memajukan bibirku, cemberut.

Hening lagi-lagi mendatangi kami. Kali ini aku tidak lagi duduk di sampingnya. Aku berjalan mencari kegiatan meskipun itu unfaedah.

"Nggak balik?" Tanya Nino tiba-tiba dan cukup membuatku sedikit terkejut.

Aku menatapnya sebentar dan mengangguk pelan.

"Lain kali jangan buat Dito emosi. Aku emang nggak tahu apa masalahnya dan siapa yang mulai. Tapi jujur aja Dito nggak pernah setega dan seberani itu untuk berantem. Dia emang cukup nakal, tapi aku yakin nakalnya nggak sampai buat dia berkelahi kayak tadi. Dan bukan karena aku memihak pada Dito, tapi aku cuma mau bilang jangan buat Dito emosi kayak tadi lagi. Dia benar-benar bukan seperti Dito" ujarku pada Nino di perjalanan kami.

Aku tak tahu alasan apa yang membuatku bicara seperti itu. Ucapan itu keluar tanpa sadar dan aku nggak tahu apa Nino akan mendengarkannya.

-
-

Kami melewati lorong sekolah dengan diam. Tanpa satupun yang ingin mencoba untuk membuka suara. Hingga suatu teriakan mengagetkanku dan juga Nino. Aku dengan cepat berlindung di badannya. Nino hanya melihat ke arahku dan berjalan mencoba menemui sumber suara.

"Terserah mau kau apa. Mulai sekarang jangan anggap aku ini teman kau" ucapan itu terdengar keras. Aku tahu itu siapa. Itu adalah Dito. Dan sepertinya akupun tahu dengan siapa ia berbicara.

"Oke kalau itu mau kau. Aku nggak akan peduli sama kau" balas seseorang cukup membentak. Shaka iya itu pasti Shaka.

Aku melihat Dito yang keluar dari salah satu pojok sekolah dengan emosi yang sepertinya tidak juga reda.

"DITO" panggilku.

Tepat saat itu Shaka keluar. Aku berlari menuju tempat mereka dan sepertinya Nino pun mengikutiku. Sampai di tempat mereka, mataku membuka lebar.

"Da.. da.. darah"

-
-

Pekanbaru, 3 Januari 2019

Selamat membaca semuaanyaaa😊😊

Kritik dan saran sangat dibutuhkan😊
Votenya juga dong😂😂


(Pekanbaru, 14 Maret 2020)

MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang