Dua puluh delapan : Sehari dengannya

843 33 1
                                    

Grea sudah kembali bersekolah setelah 3 hari berada di rumah sakit, seharusnya ia tidak mendapatkan izin untuk keluar dari rumah sakit tapi karena hasil rengekan mautnya kepada Roger dan ketiga -partner in crime- ia berhasil keluar dari tempat laknat itu.

Saat sampai di sekolah Grea disambut dengan wajah tenang Gavian yang terkesan datar memilih mengabaikannya ia melihat ke arah seseorang yang sudah menurunkan kaca mobil. "Gue masuk ya." ujar Grea pamit kepada Agra yang memang bertugas mengantarnya.

"Iya, inget pesen gue ya kalau enggak mau balik ke tempat itu." ujar Agra tersenyum mematikan.

Grea yang mendengar hanya mengangguk lalu melambaikan tangan kepada Agra yang belum menaikan kaca mobilnya. Agra mengawasi gerak-gerik Grea berjalan sampai cewek itu hilang dari pandangannya termasuk memperhatikan Gavian yang terus memandangi Grea tanpa berkedip.

"Heh!" tegur Agra tidak suka.

Gavian yang merasa dirinya sedang ditegur melihat ke arah Agra. "Lo manggil gue?" tanya Gavian menaikkan sebelah alisnya.

"Bukan. Gue manggil monyet terus kenapa lo ngelirik?" tanya Agra. "Jaga mata lo sebelum gue congkel." tambah Agra menunjuk sebilah pisau lipat yang mengkilap sambil memasang smirknya setelah itu mobil honda civic itu pun melaju.

"Berasa ngeliat psikopat barusan gue." ujar Gavian sambil mengelus dada lalu berjalan menyusul Grea, hari ini ia berniat memperbaiki hubungannya dengan Grea yang sedikit retak seperti sekarang ini.

"Va... Neva... " panggil Gavian sambil berlari menyusul Grea yang belum berhenti.

Grea yang merasa mengenali suara yang memanggil salah satu kata yang ada di namanya berhenti melihat ke belakang yang sudah ada Gavian yang sedang berlari ke arahnya.

"Va... " Gavian mengatur napasnya terlebih dahulu. "Gue mau ngomong sama lo." ujar Gavian setelah menormalkan napasnya.

Grea yang mendengar itu mengangguk. "Oke, tapi gue mau anter nih tas dulu dan ngomongnya di taman belakang sekalian gue mau makan." ujarnya kembali berjalan. Gavian yang mendengar itu tersenyum lalu mengikuti Grea yang berjalan di depannya.

"Jadi mau ngomong apa Gav?" tanya Grea yang sedang mengeluarkan botol minum yang berisi susu dan kotak bekal yang berisi nasi yang Grea yakini sudah dicampuri sesuatu.

"Gue... Gue mau minta maaf Va." ujar Gavian menatap Grea yang masih sibuk sendiri di depannya.

"Minta maaf? Untuk apa?" tanya Grea bingung melihat Gavian, ia mulai menyendok nasi.

"Maaf untuk sikap gue." ujar Gavian pelan.

Grea yang mendengar itu terkekeh kecil lalu menghentikan kegiatannya menatap Gavian. "Santai kali. Itu artinya sikap waspada lo masih berfungsi dengan baik, mana ada yang mau temenan sama orang rusak kayak gue kecuali orang gila sih kayak Rafi sama Reno." ujarnya tertawa kecil.

Suara tawa itu membuat Gavian terdiam. Sebegitu mudahnya kah Grea memaafkan orang lain? batin Gavian berpikir. "Lo maafin gue?" tanya Gavian melihat Grea yang sudah mulai memakan bekalnya. Grea yang sedang mengunyah pun mengangguk.

"Semudah itu Va?" ujar Gavian pelan.

Grea yang selesai mengunyah mengangguk. "Kalo mudah kenapa harus dipersulit, lagi pula gak ada yang perlu dimaafkan juga." ujar Grea.

Gavian yang mendengar itu mengangguk. "Pulang nanti lo ada acara gak?" tanya Gavian mencari topik baru.

Grea berpikir sebentar. "Enggak sih. Emang kenapa?" tanyanya.

"Berhubungan pacar kontrak kita masih berlaku. Boleh kali kalu kita kencan." ujar Gavian tersenyum.

Grea yang mendengar itu kembali berpikir. "Emang mau ke mana kencannya?" tanyanya lagi menyuap nasi.

GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang