Sembilan belas : Kemarahan

876 37 1
                                    

Orang yang kalian buat gila ini,
Adalah hasil dari bagaimana bentukan kalian memperlakukannya.

❇❇❇

"Saya tidak bisa lagi memperpanjang kontrak itu." ujar Grea santai, saat ini ia dan kakeknya sedang duduk di meja makan sedang menyatap makan malam.

Gahardi mendongak melihat wajah cucunya menghela napas. "Itu bukan kontrak Grea, itu ikatan keluarga kalian." ujar Gahardi meralat ucapan Grea.

"Ikatan apa? Ikatan keluarga. Saya rasa itu tidak ada di dalam keluarga saya kek." sanggah Grea memasukkan sayur brokoli ke dalam mulutnya.

Gahardi menghela napas lelah, tidak bisa menyalahkan cucunya. Galang, sang putra yang memang salah dalam hal ini kenapa anaknya yang satu itu tidak bisa bersikap baik kepada putrinya sendiri.

"Kek, saya ingin mengambil barang-barang saya dari rumah itu." ujar Grea yang sudah menyelesaikan makannya.

Gahardi mengernyit bingung. "Kau ingin ke mana Grea?"

"Ke mana saja asal tidak di rumah itu." jawab Grea santai.

"Tapi Grea... " Gahardi tak dapat menyelesaikan ucapannya karena Grea langsung memotongnya.

"Saya sudah diusir. Jangan halangi saya." potong Grea bangkit dari duduknya.

Grea sudah bersiap untuk pergi ke rumahnya sekarang juga, cewek itu sudah menggunakan jaket bomber maroonya dan celana training panjang. Ia tidak ingin menunda-nunda lagi karena semakin lama ia berurusan dengan keluarganya sendiri membuatnya semakin muak saja.

Cewek itu sudah berdiri di halte bus sambil menunggu bus ia mendengarkan lagu lewat earphonenya. Gahardi sudah menawarkan diri untuk mengantarkannya tapi Grea dengan santai menolak bahwa ia bisa sendiri, toh hanya ke rumah itu bukan ke neraka.

Bus yang ia tunggu datang. Kurang lebih 20 menit akhirnya ia sampai, kembali memijakkan kaki di rumah ini setelah seminggu. Grea masuk tanpa permisi seperti biasa, cewek itu sedikit terkejut dengan kehadiran keluarganya yang sedang berkumpul.

Geraldi menatap anak gadisnya itu. "Kamu pulang?" ujarnya bertanya melihat Grea yang terus berjalan menaiki tangga tanpa mengidahkan mereka.

"Saya hanya mampir, mengambil barang-barang saya." jawab Grea masih melanjutkan langkahnya menaiki tangga.

"Sakit hati kamu papa bilang seperti itu." sinis Geraldi.

Grea berhenti lalu terkekeh. "Sakit hati? Saya sudah biasa jadi anda tidak usah khawatir dengan hati saya karena itu sudah rusak." balas Grea melanjutkan langkahnya sedangkan Reffina dan Geno tak mengerti apa yang sedang dibahas oleh keduanya.

Mendengar itu Geraldi naik pitam, pria itu berdiri berjalan menuju tangga menghampiri kamar si bungsu. "Kamu pikir, kamu bisa hidup tanpa bantuan saya?" tanya Geraldi yang sudah berdiri di depan kamar cewek itu. Grea tidak terpancing lebih memilih menyusun yang perlu ia bawa keluar dari rumah ini.

Geraldi yang tak mendapat respons semakin berang. "Kamu tidak bisa apa-apa tanpa saya!" ujarnya menggelegar.

Panas diteriaki, Grea menatap menantang ke arah sang papa. "Buktinya saya masih bernapas dan berpijak sampai sekarang di bumi ini, tepatnya di depan anda. Kalau anda tidak bisa melihatnya?" ujar Grea masih berusaha santai padahal dalam diri emosinya sudah meledak meletup.

"Kamu... "

Grea memotong cepat ucapan Geraldi. "Cukup." bentaknya naik pitam, orang ini lama-lama semakin membuatnya muak. "Jangan bertindak seolah-olah anda yang menjaga, menyayangi dan merawat saya selalu. Hentikan kemunafikan anda lama-kelamaan saya muak melihatnya. Jika anda berbicara finansial ke saya, saya akan menggantinya. Berapa pun yang anda mau?" tanya Grea mengeluarkan sebuah cek kosong yang ada di dalam laci nakasnya.

"Isi berapa pun yang harus saya ganti, isi nominal yang paling membuat anda puas." ujar Grea.

Plakkk

Harga diri Geraldi yang tinggi sangat terluka mendengar ucapan sang anak.

"Belum puaskan?" tanya Grea sinis padahal bibirnya sudah robek akibat tamparan Geraldi.

"Saya tidak pernah menerima uang anda kalau pun menerima itu untuk merawat rumah ini agar tetap kelihatan layak dihuni. Tanya kepada Gina ke mana uang itu, ke mana uang yang anda kirim untuk saya." ujar Grea terkekeh.

"Bukankah tempo hari saya juga mengatakan agar anda bertanya kepada adik anda tercinta itu tentang uang anda selama ini." ujar Grea melangkah pergi menggeret kopernya meninggalkan semuanya yang masih terdiam. Jika berlama-lama dia di sini mungkin pria yang mengaku diri sebagai papanya akan mati.

Emosi Grea juga belum turun padahal saat ia sampai ke apartemen barunya ia langsung mengguyur tubuhnya dengan air dingin agar panas di kepalanya hilang, bukannya hilang berefek pun tidak.

Segera mungkin ia harus mencari pelampiasan, jika tidak siswa WaLeS lah sebagai gantinya. Smart watch hitamnya berkedip saat ia sudah keluar dengan menggunakan bathrobe.

Grea menyeringai, malam ini emosinya akan terlampiasankan jadi ia tak perlu menahannya sampai bertemu preman. Grea mengganti bajunya dengan pakaian serba hitam miliknya yang memang sudah ada di apartemen ini.

Apartemen ini ia beli dengan jerih payahnya sendiri selama 4 tahun bekerja. Ia akan menduga kejadian ini akan terjadi maka dari itu ia sudah memikirkan rencana jangka panjang hidupnya agar hidupnya tidak terlihat menyedihkan dan menyusahkan orang lain.

✳✳✳

Gavian saat ini sedang ragu, ia terus saja membolak-balikan ponselnya. Sudah 3 hari ia sama sekali tidak mengobrol dengan Grea, jangankan mengobrol mengganggu Grea seperti biasanya saja tidak.

Saat ini, ia sedang duduk di balkon rumah yang memperlihatkan pemandangan kota malam yang indah. Suasananya tenang baru saja rusak saat seseorang melemparinya dengan bantal sofa, tidak melihat pun ia sudah tahu bahwa sang kakak lah pelakunya.

Gavian berdecak sebal. "Lo apaain sih ganggu banget tau gak." sebal Gavian melihat Gisya yang sudah duduk di sebelahnya.

"Lo bego, udah bengong di depan balkon kesambet tau rasa lo." ujar Gisya mengeplak Gavian. "Mikiri apa sih lo? Berasa punya pacar aja padahal jomblo." sarkas Gisya.

"Gue punya."

"Siapa? Grea? Bukannya elo cuma pura-pura atau elo beneran suka."

"Kayaknya ya gue beneran suka." aku Gavian.

"Eh gak salah lo?" tanya Gisya sedikit terkejut.

"Entalah gue bingung." balas Gavian bangkit dari duduknya berjalan menuju kamar.

"Kalo lo emang beneran suka sama dia, ungkapin jangan sampe lo buat dia ngerasa kalau hubungan kalian itu hanya sebatas pacar pura-pura, enggak lebih. Gue lihat Zidan gencar amat ya buat lo putus sama dia, siap banget jadi pengganti." ujar Gisya yang berhasil menghentikan langkah sang adik.

"Inget ucapan gue kalau enggak mau sakit hati untuk kedua kali, Vian." tambah Gisya yang sudah berdiri di samping Gavian lalu menepuk pundak cowok itu.

Gavian hanya bisa terdiam saat Gisya memanggilnya dengan nama 'Vian' ingatannya terlempar kembali saat satu tahun yang lalu, saat Gavian masih baik-baik saja dan saat semuanya masih baik-baik saja tapi setelah itu hancur sudah tidak tersisa.

Ia memilih mengambil ponselnya mencari kontak Grea berniat menghubungi cewek itu tapi setelah semenit melihat kontak itu ia kembali mengurungkan niatnya.

✴✴✴

See you next post 👋

GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang