Si Tuan kentut, si Puan yang dituduh. Si Tuan merebut, si Puan yang menabuh.
Di semesta ini, tidak ada yang pasti. Apa yang kita jaga sepenuh hati, bisa menjadi penjahat tanpa hati.
Ibu selalu bilang, apa yang sedang kita genggam erat, belum tentu menjadi milik kita. Ibu juga pernah bilang, jangan terlalu menyelami hati jika tidak ingin tenggelam.
Aku kecil tidak memahami perkataan di kala senja mengucap perpisahan. Yang aku pikir saat itu adalah bagimana tatanan rambut baruku yang dibuat olehnya.
"Zela kalau sudah besar, jangan mudah percaya sama laki-laki. Walaupun senyaman apapun Zela dibuatnya, jangan mau ditipu daya. Mereka punya sihir buat muslihat Zela, mereka membawa nestapa dalam tutur manisnya."
Aku masih tersenyum manis melihat refleksi diriku disudut cermin, melihat begitu manisnya wajah mungilku dengan tatanan rambut pilinan ibu. Mengacuhkan perkataan ibu yang entah sudah berapa kali terucap. Aku melompat riang dan segera berlari menyusul teman-temanku yang sudah dulu mengejar kunang-kunang. Meninggalkan sang ibu yang mengawasiku dengan senyum kesyahduan.
Dewasa ini, aku baru memahami maksud dari perkataan ibu. Sungguh menyesal aku baru memahaminya setelah aku mengalami nestapa itu.
Jika aku bisa memutar waktu, aku pasti akan menanyakan tafsiran kata itu lebih awal. Agar aku tidak merasakan sakitnya patah hati, dan hancurnya masa depan setelah itu.
Tapi sayang beribu sayang, waktu tidak bisa diputar, dijilat, apalagi dicelupin. Aku hanya bisa menangisi masa depanku yang terancam hancur.
Nasi telah menjadi bubur, semuanya pun telah terenggut. Aku hancur bersama punah.
Kini aku hanya bisa terpaku ditempat. Menatap gemerlap langit kota metropolitan dari balkon apartemen lantai lima belasku. Membiarkan semilir angin malam ini meniup kasar surai lusuhku, membawa serta derai air mata yang tak kunjung mengering. Berharap kepedihan ini bisa tersampaikan kepada dirinya yang kini sedang berbahagia. Sangat kontras dengan apa yang aku rasakan.
Leherku melirik ke bawah, melihat kendaraan berlalu lalang dengan ramai walaupun kurasa ini sudah masuk tengah malam.
Aku mulai menerka, setinggi apa gedung apartemen ku hingga ke dasar trotoar. Sedahsyat apa jika aku terjun bebas mengayun di udara dan mencium dengan beringas kontur kasarnya.
Aku menggelengkan kepala membayangkan segala keburukan.
Sudah siapkah aku?Siap tidak siap, sepertinya otakku memberi respon yang berbeda. Sepertinya dia sudah membulatkan tekadnya sendiri ketika kakiku mulai berayun menaiki satu persatu anak balkon.
Bergetar kencang kaki ini. Aku takut ketinggian, tapi aku lebih takut lagi menjalani hidup yang sudah tidak terarah.
Sekali lagi aku memantapkan hati, jika ini memang jalan terbaik.
Sebentar kusempatkan menghidupkan handphone yang seharian ini aku matikan agar aku tidak melihat bagaimana ia bahagia. Mengabaikan segala notifikasi, aku langsung masuk ke akun media sosialku. Dengan kaki gemetar, aku melihat linimasa terbarunya.
Deg.
Deg.
Deg.
Dia tampak bahagia duduk di tempat akad dengan seseorang yang aku khayalkan selama ini adalah diriku. Tapi sayangnya itu bukan aku.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku seakan hilang tertelan. Semuanya sunyi, redam. Rongga hatiku begitu kosong. Ada yang memaksa keluar dari tenggorokan entah apa itu. Semua sakit hati menjadi beban air mataku. Mataku yang melihat, mataku juga yang harus mengeluarkan luka itu.
Tidak adil memang. Tapi sudahlah, mungkin memang aku yang harus pergi. Lagipula tidak ada alasan lagi untuk aku bertahan di alam ini. Ibu, ayah, dan dia telah meninggalkanku. Sepertinya semesta memang telah mengusirku secara perlahan.
Kupejamkan mata, menikmati sejuk dan indah ciptaan-Nya untuk terakhir kalinya.
Merapal doa, memohon ampun, dan memberanikan diri.
Satu permintaan terakhirku, ku harap ini tidak sakit sama sekali. Ku harap, aku bisa langsung merasa bebas tanpa beban lagi.
Condongan 45 derajatku sudah membuat tubuhku terasa melayang. Tinggal lepaskan pegangan erat tanganku, maka aku akan merasa bebas.
Bunyi klakson berseruan dibawah sana seakan memanggilku. Aku menajamkan telinga, menutup erat kelopak mataku.
Bibirku mengurva entah mengingat apa memoriku, tapi bibirku berucap. "Semoga SAMAWA, pacarku."
Setelah itu, gelap merenggut binar mataku.
***
Hello!!!!💃💃Ayo buat selebrasi atas kembalinya diriku di dunia orange ini!!🤗😂😂
Aku menantang diri dengan menggunakan POV 1, semoga kalian nyaman dengan bahasanya🤗
Silahkan vote jika kalian sudah membaca, dan comment jika kalian terhibur❤ Tidak ada unsur paksaan di lapak ini, asal jangan buat rusuh aja:v
Minggu, 5 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Azalea✔
ChickLitAku sedang menggenggam erat tanganmu, ketika kau hempaskan diriku ke langit lepas. Mendorongku beribu mill menjauhi dirimu, menolak untuk didekati kembali. Lalu aku menemukan bintang baru. Jauh lebih bersinar dari cahayamu. Jauh lebih menenangkan d...