7. Pulang

31 4 0
                                    


Poros kehidupan dunia Bima itu bertumpu pada bapaknya. Menurut Bima, alasan kenapa dia bisa bertahan sampai detik ini ya karena bapaknya. Sosok pria yang kini berumur hampir lima puluh tahun yang penuh akan canda tawa dan segudang kehangatan yang ada pada dirinya. Sosok pria itu kini sudah tenang di pangkuan Tuhan, tapi meninggalkan Bima dengan dekapan kehilangan.

Selama ini, bapak selalu menjadi sosok yang dihormati Bima. Bapak adalah seorang panutan yang harus Bima bahagiakan selama hidupnya. Jangan pernah tanya kemana ibunya, karena Bima gak menyukainya. Bagi Bima, keluarga adalah tentang dirinya dengan bapak. Tidak ada ibu ataupun adik sebagai saudara.

Kalau kalian kira Bima berasal dari keluarga yang harmonis, kalian salah. Seratus persen salah. Bima adalah Bima, seorang laki-laki yang keluarganya pecah terbelah saat usianya masih berada diusia remaja. Ibunya adalah seorang perempuan yang selalu ingin didengar tanpa mau mengalah, sedangkan bapaknya adalah laki-laki yang selalu ingin dimengerti tanpa mau untuk mendengar. Pertengkaran tak bisa dihindari, pernikahan tak bisa lagi dihargai.

Lontaran cacian, amarah, ibunda selalu dicurahkan melalui Bima, termasuk saat kematian adiknya yang tak pernah lagi Bima mau bicarakan. Bima selalu ingin ikut dengan bapak setelah perceraian terjadi, tapi sayangnya ibunya selalu menghalangi. Bima memberontak, sejak saat itulah ia memutuskan kontak. Ia tak lagi berhubungan dengan ibunya, bahkan ia menganggap tak memilikinya.

Bapak berulang kali selalu menasehatinya, tapi Bima tak bisa menerimanya.

Mungkin kelihatannya suatu permasalahan yang sepele, tapi nyatanya sangat pelik saat tenggelam dalam realitanya.

Gue Savira, gue gak berhak untuk menceritakan semua kejadian yang berusaha gue pahami dari apa yang gue liat dan Bima ceritakan.

Gak usah heran, karena sebenarnya gue adalah tetangga Bima saat keluarganya berada pada titik kehancuran.

Gue menyaksikan semuanya.

Gue menyaksikan penderitaan Bima.

Tapi, gue gak tahu apa yang terjadi setelah Bima dan adiknya sempat dibawa ibunya untuk pulang ke kampung halaman.

Gue gak pernah tau. Saat itu gue Bima seolah hilang dimakan bumi dan kembali saat ternyata Tuhan mempertemukan kembali dengan gue di masa kuliah. Di tanah perantauan.

Sejak bertemu, Bima juga seolah menutup diri perihal keluarga. Termasuk masalah adiknya, gue gak tahu. Bima gak pernah mau kasih tau, dan gue mencoba mengguhargai itu untuk tidak mencari tahu.

Ada luka yang belum bisa diajak berdamai. Gue hargai itu.

Tapi, ada satu hal pasti yang gue tau,

Satya ada hubungannya dengan adik Bima.

****

"Bim, makan dulu yuk?"

Gue menaruh semangkuk bubur di atas meja belajar. Duduk di tepian ranjang dan mengguncang tubuh Bima dengan pelan. Berusaha membangunkannya.

Setelah berita kematian itu datang, pulang bukan tujuan Bima. Tujuannya adalah lapangan lokasi penelitian. Bima menyibukkan dirinya di sana. Berhari-hari, sepuluh hari lamanya. Gue, Bang Arip, dan Fikra mau melarangnya. Tapi, mengingat apa yang terakhir Bima bilang di kafe pada hari itu, membuat kita akhirnya merasa baik-baik aja dengan keputusan dia untuk segera balik ke lapangan, penelitian.

Tapi, akhirnya apa?

Ya ini.

Udah seharian demam dan sama sekali gamau diajak untuk pergi berobat ke dokter. Akhirnya, gue minta tolong sama Bang Arip dan Fikra buat pindahin Bima ke rumah Bang Arip biar gue bisa leluasa jagain dirinya.

Diantara kita berempat, Bang Arip emang tinggal di rumah yang disediakan oleh orang tuanya.

"Bima, bangun yuk," gue mencoba mengguncangkan tubuhnya lagi. Tangan gue mengecek dahinya, mengukur suhu, syukur deh kalau kenyataannya suhu tubuhnya udah gak terlalu panas.

"Bim, bangun, makan dulu yu," gue menepuk-nepuk pipinya pelan, dan dia akhirnya membuka kedua mata dengan perlahan.

"Vir?"

"Bangun dulu yu, makan." Gue bersiap bangkit mau mengambil bubur di meja makan, tapi baru aja gue mau bangun, tangan gue ditahan sama Bima seolah menyuruh gue untuk tetap duduk aja di pinggir ranjang.

"Kenapa Bim? Kamu mau apa? Badan kamu gak enak ya? Ke dokter yuk?" tanya gue khawatir. Bima malah ketawa pelan.

"Kok ketawa sih?" Protes gue.

"Kamu diem aja duduk gini. Aku kangen liat kamu,"

Udah sering dibilang kangen, tapi gue masih deg-degan. Ih sumpah. Bima sakit, masih kurang ajar banget bikin jantung gue loncat-loncatan.

"Ih apaan sih," Jawab gue sekenanya. Gue mencoba mengalihkan pandangan gue, menghindari tatapan Bima.

"Vir,"

"Iya? Apa Bim?"

Hening.

"Bim, kamu kenapa?"

"Boleh peluk dulu gak? Tapi kalo gak boleh juga gak apa-apa sih,"

Bima merajuk, tapi sorot matanya sendu banget. Gue menyeringai kecil, mau mengerjai dirinya, tapi gue gak tega. Ujung-ujungnya gue mencodongkan tubuh gue dan memeluknya yang masih berbaring.

"Aku mau pulang, temenin ya?"

Ya Tuhan! Ada perasaan senang menyelusup di hati gue. Sumpah. Demi apapun. Gue senang banget dengarnya. Gue mau melepaskan pelukan gue. Gue mau natap mata Bima, memastikan kalau ucapannya benar. Ucapannya gak bohong. Tapi Bima menahan gue dan melanjutkan ucapannya,

"Tapi Vir,"

"Kenapa Bim?"

"Aku takut ketemu Ibu." Katanya dengan suara lirih. 

Beatiful Healing [Doyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang