14. Savira: Bima Aneh

15 2 0
                                    


Setelah kejadian gue ngomel di mobil dua hari lalu, Bima gak bisa lagi gue hubungin. Kebiasaan. Setiap kali kita habis berdebat pasti dia hindari diri gue. Alasannya? Ya dia mau nenangin diri, Katanya, dia gak pernah mau nemuin gue pas dia lagi ngerasa emosi. Gak mau nyakitin diri gue. Padahal dia kan bukan monster yang makan orang kalau lagi marah atau lapar. Gue tau banget. Seorang Bima Sastranegara itu salah satu manusia yang berhasil nguasain dirinya semarah apapun diri dia. Ya walaupun, kalau marah dia lebih milih nutup mulutnya rapat-rapat, dan jadi jelek banget moodnya, setidaknya Bima gak pernah berteriak marah ataupun ngamuk-ngamuk, gak pernah lampiasin marahnya dengan main fisik, enggak, Bima gak pernah kaya gitu.

Kalau ke gue ya paling kaya gini kalau dia marah, pasti dia ngilang. Bisa satu hari, bisa dua hari, bisa seminggu, bahkan gue pernah gak berhubungan sama dia selama kurang lebih dua minggu. Pintar-pintarnya dia ngatur atau ngendaliin mood aja sih. Kadang, gue suka capek banget sama sikap dia yang kaya gini. Maksud gue, kadang gue mau banget Bima tuh kalau marah ya marah sekalian, emosi ya emosi sekalian, dengan kaya gitu besok-besoknya kelar, kita bisa lebih mudah jadi baik-baik aja tanpa harus diam-diaman kaya gini. Sumpah gak enak banget. Masalahnya kaya gini tuh gue yakin banget bakal jadi bom waktu.

Iya bom waktu buat Bima dan gue.

Kenapa?

Karena kalau kaya gini, gue sama Bima sebenarnya gak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan yang menurut kita salah. Kita selalu memaklumi kesalahan tersebut. Selalu memaafkan kesalahan masing-masing tanpa harus kita diskusiin terlebih dahulu. Dan itu gak baik.

Gue sadar banget itu gak baik.

Tapi gue juga gak bisa lakuin apa-apa.

Gue udah coba setiap kali ada masalah, gue pasti debatin sama Bima, tapi ujung-ujungnya dia selalu ngalah dan berakhir dengan diri gue yang pasti akan dianggurin lagi oleh dirinya.

Jadi, gue harus gimana?

Hari ini, harusnya gue pulang menuju Jakarta. Kereta jam dua belas siang. Harusnya gue semangat, karena gue mau ketemu om-om idola gue Super Junior. Tapi, kayanya itu harusnya deh, gue gak tau harus berangkat pulang atau enggak karena kenyataannya ya itu tadi, manusia bernama Bima Sastranegara belum bisa dihubungin. Padahal kereta berangkat empat jam lagi, perjalanan dari daerah kosan gue ke stasiun juga memakan waktu kurang lebih hampir satu jam.

Dan Bima belum bisa dihubungi.

Gue udah tanya Fikra, tapi ini manusia juga sama aja kaya Bima. Hari ini dia jadi slow respon banget. Parah. Mau tanya Bang Arip juga manusia satu itu lagi bergelut di lapangan untuk cari data skripsi. Bahkan gue udah menurunkan ego gue untuk tanya pada perempuan bernama Luna, dan katanya Bima gak ke kampus sejak kemarin.

Jadi, Bima kemana?

Gue gak tau?!

"Mbak Vira... Mbak Vira...."

Pintu kamar kos gue diketuk, itu suara Bu Odah. Masih dengan handuk yang melilit kepala karena habis keramas, gue segera turun dari kasur dan membuka pintu yang gue rasa akan lepas kalau gue telat buka barang tiga detik.

"Iya Bu Odah kena...."

"Aduh, Mbak... itu... Mbak Vira ke bawah ya sekarang."

"Hah? Kenapa emang bu?"

"Ke bawah aja ya Mbak..."

"Kenapa bu?"

"Itu... anu.... Mas Bima ada di bawah mbak,"

"Hah? Bima?"

"Iya.... tapi... serem mbak... mukanya Mas Bima...."

"Kenapa mukanya Bima?"

Bu Odah gak menjawab. Dia langsung menarik tangan gue dan dituntunnya untuk menghampiri Bima yang katanya sudah ada di bawah kosan gue.

"Mbak... Bu Odah sedih, Mas Bima gak ganteng lagi."

Bu Odah ini kenapasih?

****

Gue gak tahu harus marah atau nangis melihat manusia bernama Bima yang kini ada dihadapan gue. Benar apa yang Bu Odah bilang. Bima gak ganteng lagi. Mukanya udah berubah jadi monster. Sudut pelipis kanannya luka, begitu juga dengan sudut bibirnya, pipinya lebam bewarna keunguan, lengkap dengan punggung tangannya yang juga terlihat memerah dan ada garis luka yang cukup panjang. Pertanyaan gue, Bima tuh habis ngapain?

Tepat setelah gue keluar menemui dirinya, Bima cuma senyum. Gak kasih penjelasan apa-apa. saat tangan gue menelusuri wajahnya buat liat luka, dia gak respon apa-apa. Hal itu malah buat gue mau nangis banget. Akhirnya gue memutuskan untuk mengambil kotak p3k yang tersedia di ruang tamu dan berniat mengobati luka-lukanya.

"Vir..."

Bima berusaha membangun kontak mata dengan gue, tapi dengan cepat gue mengalihkan pandangan dan memilih fokus meneteskan obat merah pada luka-luka Bima.

"Savira." Pangilannya tegas, berhasil buat gue menghentikan aktifitas mengobati dirinya dan dengan ragu-ragu menatap mata Bima. Sayu. Ada guratan kesedihan di sorot matanya.

"Maafin aku ya,"

"Maaf pasti kamu kaget banget dengan kondisi aku yang kaya gini." Tangan Bima terulur mengacak rambut gue yang masih setengah basah.

"Tapi Vir, boleh gak aku pinjam pundak kamu sebentar?"

Gue gak menjawab, gue cuma bisa menatap Bima yang kini menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Senyum paksaan.

Tanpa ragu, gue memajukan diri gue, membiarkan Bima yang kini merengkuh gue ke dalam pelukannya. "Vir, kalo kamu mau marah, marahnya nanti aja ya. Energi aku udah abis dan belum siap buat nerima amukan dari kamu."

Gue tertawa kecil.

"Vir, I was hit someone. Kamu mau maafin aku dan gak akan ninggalin aku kan?" suara Bima lirih, lebih kaya bisikan, tapi walau begitu gue masih bisa dengar suaranya dengan jelas.

Sebenarnya gue mau banget nanya, 'siapa lo yang pukul? Kenapa lo pukul?', tapi itu gak mungkin kan? Jadi, gue memilih mengangguk dan menepuk-nepuk punggung Bima dengan pelan. "It's okay, Bim. Aku gak akan kemana-mana kok. Aku disini sama kamu."

"Vir.."

"hmm?"

"stay away from Satya"



Beatiful Healing [Doyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang