16. Fikra: Gatau deh pusing

24 3 0
                                    


Bima Sastranegara.

Laki-laki yang usianya satu tahun lebih tua dari gue, yang biasanya gue panggil dengan sebutan Bang Bima. Sebutan 'abang' buat Bima bukan sekedar dia lebih tua dari gue, dan kenyataan lainnya adalah dia kakak tingkat gue, bukan, bukan sekedar itu. Tapi, Bang Bima beneran sosok kakak gue yang kayanya sengaja Tuhan kirim saat gue pernah ada di salah satu titik terendah dalam hidup dan mau mati aja pada saat itu.

Kalau kalian pikir gue kenal Bang Bima sejak gue menginjak bangku kuliah, kalian salah besar. Nyatanya, gue kenal Bang Bima sejak masa terpuruk hidup gue beberapa tahun lalu. Lebih tepatnya saat gue duduk di bangku SMA kelas satu, Saat dimana hidup gue diterpa badai dan awal dimana kehancuran keluarga gue. Gue masih ingat saat itu. Saat dimana hujan turun dengan sangat deras, gue yang berteduh di halte sebrang sekolah, dan Bang Bima yang tiba-tiba datang ikut berteduh dan sebelumnya berlarian dibawah hujan dengan hoodie hitam kesayangannya.

Sebelum duduk dia sempat menyapa dan gue balas dengan senyuman tipis. Setelahnya, ia duduk persis samping gue dan mengeluarkan sebungkus rokok lengkap dengan pemantik apinya. Gue sempat terkesiap, pasalnya selama gue kenal beberapa bulan, lebih tepatnya saat gue dan dia ada di satu komunitas basket antar pelajar SMA, belum pernah gue lihat Bang Bima menghisap benda nikotin barang satu batang pun.

"Lo gak bawa motor?" Tanya Bang Bima, di sela jari-jemarinya, ia mulai membakar rokok tersebut dan mengepulkan asap kecil hasil isapannya.

"Enggak, Bim. Motor gue dijual bokap kemarin." Aku gue jujur. Oh ya, saat itu gue belum manggil Bima dengan sebutan abang.

Dan ya, setelah perdebatan panjang dengan ibu, setelah lemparan barang-barang yang bikin telinga gue sakit, bapak memilih untuk mengambil kunci motor gue, dan berakhir dengan ucapan, "Motor bapak jual. Berhenti aja kamu sekolah!"

Gue menghela nafas mengingatnya.

"Terus lo naik apa ke sekolah?"

"Nebeng temen, hehehe."

Hening. Hujan semakin deras. Gue lihat, Bang Bima makin cepat menghisap rokok-nya dan mengeluarkan asap-asap yang sebenarnya buat nafas gue sedikit terganggu.

Saat itu gue jadi penasaran, Bang Bima kenapa ada di sekitar sekolah gue? Di jam lima hampir setengah enam pula? Maksudnya, sekolah Bang Bima kan berjarak beberapa kilo meter dari sekolah gue, dan juga jam keluar sekolah udah dari jam tiga, dari dua jam yang lalu. Terus...? Apa Bang Bima ada gebetan dari sekolah gue dan gebetannya lagi jalanin ekskul? Kebetulan ada ekskul tari dan sains club yang belum selesai.

Tapi, gatau deh.

"Bim lo mau ngerokok lagi?" gue gak bisa menahan mulut gue untuk gak bertanya setelah gue lihat Bang Bima udah siap ambil satu batang rokok lagi dari dalam kemasanya. Laki-laki itu tak langsung menjawab dan hanya tersenyum menanggapinya.

"Gapapa kan kalo gue ngerokok?"

"Gapapa sih, tapi ini kan sekolah." gue ngeles. Bang Bima malah ketawa.

"Gue kan udah gak pake baju sekolah."

Setelah gue lihat-lihat iya juga. Celana abu-abunya udah berganti jadi ripped jeans bewarna hitam.

"Terus lo ngapain ada di sekolah gue?"

"Tadinya gue janjian sama Bang Arip buat ngomongin masalah tanding minggu depan, tapi pas lewat gue liat lo lagi di sini, sendirian, muka lo melas banget pula, yaudah gue kesini aja." Jawabnya. Gue mendecih.

Beatiful Healing [Doyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang