15. Savira : Shock Jakarta!

18 2 0
                                    


Suara pecahan barang yang berbenturan dengan dinding, dan juga pekikan amarah yang buat sakit gendang telinga. Dua hal itu telah menyambut kedatangan gue yang kini mematung di halaman sebuah rumah. Jantung gue berdegup berkali-kali lipat lebih biasanya, langkah kaki gue mendadak kaku, tertahan, dan membuat gue gak bisa melakukan apa-apa. Pandangan gue fokus menatap dua sosok yang kini terlibat dalam suasana yang menurut gue mengerikan itu. Sang perempuan terlihat begitu emosi dengan terus berteriak dan melemparkan barang disekitarnya, sedang seorang laki-laki yang ada dihadapannya hanya terpaku dengan kepala tegap dan sorot mata menatap lurus sang perempuan. Tubuhnya sedikit terlihat bergetar, dengan kedua tangannya yang terkepal, memerah menahan emosi.

"Mau apa lagi kamu datang ke sini? Mau bunuh saya? Gak puas kamu udah bunuh adik dan bapak kamu?!"

"Atau, kamu mau harta warisan dari bapak mu ya? Kamu datang untuk itu kan? Dasar anak nggak tau malu! Kemarin bapak mu meninggal dan mau dikubur kamu kemana?! Kirim ucapan bela sungkawa aja nggak!!"

Prang.....

Gue memejamkan mata rapat-rapat, gue takut, terlebih figura foto yang berhasil menimpa dinding itu, hanya berjarak beberapa senti melewati tubuh jangkung yang kini masih diam.

Hati gue mencelos. Sosok yang selalu kuat, yang selalu melindungi gue, yang selalu tertawa, yang anti banget menangis, kini ada di depan sana. Bukan menjadi seorang Bima yang biasanya selalu mendebat para dosen saat hasil penelitian dipaparkan ada yang salah, bukan menjadi seorang Bima yang dikagumi banyak orang karena kepiawaiannya dalam mempresentasikan hasil penelitian. Bukan. Bukan menjadi sosok Bima Sastranegara itu. Tapi, diri gue dipaksa tertarik mundur dan dihadapkan pada realita beberapa tahun lalu.

Kenyataan seorang Bima Sastranegara yang berumur dua belas tahun, seorang anak laki-laki yang hidupnya selalu di penuhi dengan cacian amarah oleh ibunya sendiri.

"Saya hanya ingin mengambil barang yang bapak berikan untuk saya sebelum bapak meninggal. Tolong berikan pada saya, setelah itu saya bisa pergi dari sini."

"Suami saya tidak meninggalkan apapun untuk kamu. Silahkan tinggalkan rumah ini sekarang juga!"

"Bapak menitipkan sesuatu untuk saya. Tante Ria mengatakan itu. Barangnya ada di kamar bapak. Tolong. Saya hanya ingin mengambil barang itu."

"Tidak! Pergi sekarang juga!"

"Ibu.."

"Tidak sudi saya dipanggil ibu oleh pembunuh anak dan suami saya! Saya tidak pernah melahirkan penjahat!!"

"Pergi kamu!!!!"

Ini adalah pemandangan yang paling menyakitkan untuk diri gue. Hati gue nyeri banget. Air mata gue lolos dengan kurang ajarnya. Detik itu, gue merutuki diri gue sendiri yang gak mematuhi ucapan Bima yang nyuruh gue untuk tetap nunggu di mobil yang terparkir depan gerbang. Apapun yang terjadi, seberapa lama Bima belum balik ke mobil, laki-laki itu nyuruh gue untuk tetap dalam mobil dan menikmati alunan musik yang sudah Bima putar di mobilnya, diam, dan menikmati seporsi batagor yang sudah Bima siapkan.

Tapi, gue gak mau dimobil. Dengan jiwa sok ingin tahunya gue turun dan melangkahkan kaki untuk masuk ke rumah yang gue tahu ini rumah Bima.

Dan ya...

Karena enggak patuh, gue berakhir dengan kaya gini.

Mematung depan rumah, menyaksikan drama ibu dan anak, dan menangis sesegukan tanpa melakukan sesuatu yang bisa gue lakuin untuk Bima di dalam sana.

Gue paling gak bisa melihat orang marah-marah ataupun membentak, dan kali ini parahnya gue melihat itu semua diikuti dengan aksi lempar barang yang suaranya bikin hati gue ciut setengah mati.

Beatiful Healing [Doyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang