8. Savira

34 2 0
                                    


Bima-

Rasa kehilangan itu obatnya cuma satu, yaitu merelakan. Tapi, biar begitu, dilakukannya gak mudah. Mau jungkir balik kaya apa, mau marah-marah sama manusia satu dunia, mau nuntut Tuhan sekalipun kalau diri emang belum bisa merelakan ya rasa kehilangan itu bakalan ada dan mungkin akan tetap ada. Semuanya butuh waktu, gak kaya masak mie instan yang lima sampai sepuluh menit proses memasaknya kelar. Enggak, enggak kaya gitu. Perihal kehilangan itu sulit dan itu juga lumayan sakit.

Gue gak mungkin menangis meraung-raung walaupun rasanya gue mau gila karena kehilangan bapak. Gue gak mungkin dengan cepat pulang ke rumah menemui bapak pada hari terakhir sebelum ia dikebumikan. Gue gak mungkin nunjukkin gue terluka di depan orang-orang yang setidaknya cuma mereka yang saat ini gue punya (Savira, Fikra, Bang Arip). Enggak, gue gak mungkin menunjukkan sisi lemah gue dihadapan mereka semua. Satu, karena gue gengsi alias gue merasa ini bukanlah suatu hal yang harus dibagikan dengan orang lain. Kedua, karena sejujurnya gue lupa gimana caranya nangis. Gue lupa gimana caranya merespon sebuah rasa sakit dalam diri. Iya gue lupa, padahal kehilangan bapak sakitnya bukan main. Lebih-lebih daripada hari itu. Hari dimana gue harus kehilangan adik perempuan tersayang gue untuk selama-lamanya.

Dunia gua rasanya runtuh, tapi gue gak bisa melakukan apa-apa. Kehilangan yang gue tau, semua adalah tentang kesalahan, semua akan berujung pada teriakan amarah. Gue salah dan gue gak boleh marah. Itu kan peraturan yang berlaku buat diri gue?

Hari ini, niatnya gue mau pulang. Dengan terpaksa. Ada peninggalan bapak yang katanya ditinggal dirumah buat gue sebelum bapak menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi, kayanya gue harus menunda niat gue itu karena nyatanya ada dunia lain yang sedang dijungkir balikan.

Iya, dunia Savira.

Semalem gue dapet laporan dari Fikra kalau Savira tiba-tiba ngajakin pulang pas mereka lagi nugas bareng. Gak ada angin gak ada apa, nangis pula sepanjang perjalanan. Savira gak cerita apa-apa, tapi berhasil buat Fikra bersumpah puluhan kali dihadapan gue karena dia gatau apa-apa dan bukan dia yang buat Savira nangis. Kalo inget, gue jadi mau ketawa sendiri. Sumpah, lucu banget ekspresi tuh anak, persis kaya abis ketauan nyolong mangga punya bapak kos gue. hehehe.

Gue coba buat chat Savira, tapi dia gak bales. Gue telpon juga gak angkat. Fix banget nih anak pasti matiin hp. Kebiasaan kalo lagi dihadapin sama suatu permasalahan. Gak ada yang bisa gue lakuin kalo udah kaya gitu. Kasih ruang dan waktu buat Savira sendiri adalah pilihan terbaik. Akhirnya gue memilih untuk tidur dan mendapatkan satu pesan dari Ibu Savira di pagi harinya.

Mamah Savira.

"Bim, Savira gak jadi berangkat ke Korea. Ayahnya gak kasih izin untuk berangkat."

****


"Bima? Kok udah dateng?"

Savira terkejut melihat gue kini lagi duduk di teras depan kosan. Ditemani segelas teh hangat yang baru aja Bu Odah antar buat gue. Gue cuma senyum, menarik tangan Savira buat duduk di kursi samping gue.

Savira lucu banget. Pasti dia baru bangun tidur. Kelihatan dari dia yang masih memakai celana panjang tidurnya, kaos oversize milik gue yang pernah dia pakai sewaktu acara inisiasi jurusan tahun lalu, juga rambut panjangnya yang dicepol dengan asal-asalan. Kantung matanya makin jadi, gue yakin pasti abis nangis semalaman.

"Mau kemana sih?" tanya gue akhirnya.

"Mau beli bubur ayam Mas Jo. Aku laper banget Bim," keluhnya. Savira mempoutkan bibirnya kaya anak bebek. Buat gue gemes sendiri dan ketawa pada akhirnya.

"Kok malah diketawain?"

"Kamu lucu,"

"Ih malesin," Savira berniat bangkit. Tapi tangannya gue tahan buat dia akhirnya duduk lagi.

"Mau kemana sih?"

"Kan aku bilang mau beli bubur ayam Mas Jo,"

Akhirnya, gue mengeluarkan bungkusan plastik hitam yang tadi gue bawa dan gue taruh dibawah kursi. Gue mengeluarkan sebungkus bubur ayam yang dikemas dalam styrofoam dan menaruhnya diatas meja.

"Ambil sendok gih,"

Savira kesenengan. Dia langsung mengambili kerupuk satu detik setelah gue buka kemasan styrofoamnya. "Yeay, Bima emang terbaik. Makasih ya Bima."

Gue freeze. Tiga detik. Iya. Tepat setelah Savira mengecup pipi gue dan berlalu masuk ke dalam untuk mengambil sendok.

Astaga. Savira ya. Ada aja tingkahnya kalo udah kaya gini.

Iya, biasanya Savira bisa jadi hyperaktif kalo lagi sedih.

Tapi kalo tingkahnya kaya gini kan gak sehat buat jantung gue.

Iya kan?


***


"Bim,"

"Iya?"

"Ini kan bukan jalan mau balik ke Jakarta?"

Savira sadar. Gue kira Vira tenggelam dalam cerita wattpad yang sedari dia baca dan gak sadar dengan lingkungan jalan sekitar yang memang benar bukan ke arah Jakarta. Gue sempat nengok ke arahnya, dan Vira masih menatap gue dengan tatapan bingung dan menuntut jawaban.

"Siapa emang yang mau ke Jakarta?"

"Loh? Kita mau ke Jakarta kan?"

Gue ketawa. Memilih untuk mencubit pipi kanannya yang gembul kaya bapau di sepanjang pinggiran pecinan. "Ih sakit, tau Bim." Keluhnya. Tapi lagi-lagi itu malah terlihat lucu buat diri gue.

"Kita ke Jogja dulu ya?"

"Ngapain?"

"Aku harus ketemu Ucok."

Padahal mah gue bohong. Gak ada tuh hari ini jadwal gue ketemu ucok. Anak satu jurusan dari kampus yang terkenal di Jogjakarta. Biasanya gue ketemu karena memang ada keperluan riset. Tapi, kali ini gak ada kok. Gue bohongin Savira aja biar dia percaya dan gak curiga kenapa tiba-tiba gue berubah haluan dari yang mau ke Jakarta jadinya ke Jogja.

"Bukannya project penelitian yang di Klaten udah kelar? Kok ketemu Ucok lagi?"

Nah loh.

"Project baru, Pak Syaeful baru kasih kabar dua hari yang lalu."

"Loh kan project kamu yang ini aja belum kelar, kok udah ada project baru lagi?"

Hmm. Savira kok jadi banyak nanya sih? Gak sesuai prediksi.

"Iya sebenernya ini project Bu Anna, minta dibantu asistensi dulu selama beberapa hari."

"Oh,"

Gue akhirnya bernafas dengan lega. Gak biasanya gue ngeles menghadapi jalan yang berliku.

"Oh ya Bim..."

"Kenapa Vir?"

Lampu lalu lintas berganti menjadi merah. Ada waktu selama tiga puluh detik untuk gue menoleh dan memperhatikan Savira yang kini tampak ragu dengan memainkan jari-jarinya dalam pangkuan. Savira gak mau natap gue, berulang kali dia mengalihkan pandangannya tersebut. Savira pasti lagi mau cerita perihal penyebab yang buat dia nangis semalaman. Pasti itu. Ayo taruhan sama gue.

"Bim, aku..."

Savira menoleh. Tatapannya sedih. Buat gue menghela nafas karena merasa gak tega.

Waktu lampu merah tinggal sepuluh detik lagi. Gue serius menatap dirinya. Gue memutuskan untuk mengambil tangannya. Mengelus punggung tangannya. Dan terakhir tersenyum pada dirinya.

"Aku tau. Gak apa-apa. Aku gak mau kamu nangis lagi. Udah ya?"

Gue mau peluk, tapi lampu udah berganti hijau dan klakson sudah membabi buta. Akhirnya, gue cuma bisa terus genggam tangannya. Tersenyum, dan kembali melajukan mobil menuju Jogja.

Pulang ke rumah bisa ditunda, tapi Savira gak bisa dijadikan nomor dua. 

Beatiful Healing [Doyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang