Heartbeat.9 |Ayana

20 5 0
                                    

.

.

Aku gak peduli seberapa besar penolakan yang dia beri, karena ibu mengajarkan ku untuk terus berlari jika ingin memiliki.

—Ayana

🌷

Mona baru saja selesai memotong sayuran untuk di masak, kedua anak lelaki nya sudah tertidur di siang Minggu ini. Sementara Danang sibuk mengurus bisnis makanan nya yang di landa order banyak.

Anak perempuan satu-satunya masih berkutat dengan soal-soal olimpiade yang berserakan di kamarnya. Ravina mengerutkan keningnya mengingat rumus yang di pelajari nya semasa dulu. Sesekali mengetuk pulpen nya di pipi apabila dia lupa, dan saat kembali ingat akan tersenyum bahagia dan mulai mencoret-coret deretan angka di kertas yang entah sudah berapa lapis.

Dering ponsel lagi-lagi mengganggu konsentrasi nya, dia mengecek siapa dan entah mengapa rasa kesalnya berubah ketika melihat nama Luhan berada di urutan paling atas. Menanyakan kabar dan juga menanyakan olimpiade IPA yang ia ceritakan sebelumnya.

"Lancar kok! Ini aku lagi belajar."

Ravina menjawab satu kalimat, berharap dia mengerti bahwa saat ini bukan waktu nya untuk bermesraan dalam status teman. Dia menggeleng untuk mengusir pikiran nya yang entah berkelana sejauh apa.

Di matikan nya data seluler dan ia kembali pada tumpukan kertas yang begitu ingin di coret-coret. Tentu saja itu sebuah tantangan bagi Ravina. Makanan untuk otak!

🌷

Radit bolak-balik dari kamar menuju halaman depan atau dari halaman depan menuju kamar. Ponsel nya saat ini sedang di isi baterai tetapi patung nya juga masih belum kering, dia harus mengulang patung yang di buatnya beberapa hari yang lalu karena ternodai oleh kotoran burung.

Kali ini dia membuat dengan penuh hati-hati. Tidak mau usaha nya terbuang sia-sia. Di sisi lain dia juga ingin terus menatap ponsel untuk menghubungi seseorang yang di inginkan nya.

Radit sendiri heran mengapa gadis itu lambat membalas pesan? Apa sibuk? Dan jawaban nya sudah terjawab beberapa menit setelah dia mengirimkan pesan keduanya.

"Orang pinter mah beda ya." Gumam Radit sambil duduk di bawah pohon depan rumahnya. Tepatnya menjaga patung angsa putihnya dari serangan yang tiba-tiba.

Setelah menerima jawaban sosok Minju, dia mengirimkan sebuah pesan perjanjian untuk online di malam hari, tentu saja di sepakati oleh Minju karena itu adalah jam santainya. Kini dia mengerti batasan yang ada pada kehidupan cewe itu.

"Gue pengen ikut olimpiade juga.." ucapnya lirih.

Radit sadar akan ucapan nya, dia menutup mulut nya dengan tangan. "Ngomong apa sih gue, apa untung nya juga buat gue ikut begituan!" Celutuk nya.

"Eh tapi kalo misal gue lolos olimpiade terus lomba lagi lagi lagi di luar kota terus ketemu sama Minju kan lumayan juga gue bisa nembak dia langsung." Gumam Radit.

Dia mengjentikkan jarinya. "Nah! Gue kan pinter! Pokonya gue harus ikut woooy!" Radit melompat girang sambil mencabuti rumput di sekitar nya hingga membentuk sebuah gunung rumput..

"Heh bocah!" Teriakan super pecah itu kembali ia dengar di kala bahagianya.

Kakak perempuan nya memegang sapu sambil melotot menatap nya. "Itu rumput siapa yang bersihin?!" Tanya nya dari teras rumah.

Your Heartbeat | 🕊️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang