4. Siapa dia?

118 4 0
                                    

"Duh aku capek. Pusing juga ya kuliah. Kalau tahu begini Aku lebih baik jadi pemandu wisata saja."

Keluh kesah manusia selalu saja terucap. Manuisa memang susah sekali jika harus bersyukur. Nikmat kecil saja mereka selalu lupa. Seharusnya apapun yang tuhan kita berikan senantiasa harus kita syukuri.

Bagas kali ini sedang mengeluh pasal kelasnya selalu saja padat. Maklum sih, namanya juga mahasiswa semester satu. Jadwal sedang padat padatnya. Ditambah lagi, bagas selalu menjadi pemandu wisata jika sedang tidak ada kelas.

"Lo harusnya bersyukur,Gas. Gue aja pengen kerja sampingan kayak yang Lo lakuin."

"Kamu sudah enak. Tiap bulan Ayahmu kirim transferan. Lah Aku??? Cuma uang kuliah yang dibayar orang tuaku."

"Sebenernya gue ngiri sama Lo. Gue pengen kerja tapi Lo nggak bersyukur banget. Padahal langka banget anak seusia kita udah punya pekerjaan."

"Kamu mau bekerja?" Tanya Bagas serius.

"Ya maulah. Gue juga mau ada sampingan."

"Nanti kucarikan deh. Aku nggak tahu kamu mau kerjanya seperti apa."

"Gue siap kok meski cuma jaga Angkringan."

Mereka bedua tengah asik berbincang dibawah pohon rindang. Sejuk. Hanya angin yang bisa membuat keduanya merasa terganggu.

"Eh, itu perempuan siapa, Gas?" Tanya Athlas.

Athlas kurang fokus setiap kali perempuan itu duduk dibawah pohon seberangnya. Sudah beberapa kali ia memperhatikannya dan hari ini ia penasaran sekali.

"Mana Ku tahu. Dia itu anak fakultas kedokteran. Gak tahu,

Ehh, sebentar! Jangan- jangan kamu naksir sama dia?!"

Athalas menaikkan alisnya. Membuat Bagas semakin beraksi. Ia berdiri dan terus berisik.

"Mba... Heyyy Mba yang dibawah pohon, yang anak kedokteran. Iki koncoku pengen kenalan sama kamu."

"Eh enggak mbak. Dia yang mau kenalan."

"Loh tadi yang nanya namanya kan kamu! Kok jadi aku sih."

Tidak bisa diprediksi. Perempuan itu malah menghampiri Athlas dan Bagas.

Tangan mulus itu terjulur didepan Athlas. Ia tersenyum sangat manis. Permpuan manis ini dengan wajah yang sangat menarik untuk dilihat.

"Namaku Nara. Aku dari FKG."

"Saya Athlas. Dari sastra Indonesia."

"Wehhh, tadi tidak mau. Sekarang mau." Sindir Bagas. "Oh iya, Aku Bagas."

"Tidak apa-apa. Kalian sedang apa disini?" Tanya Nara.

"Ini, dia sedang gal,"

Athlas membekap mulut Bagas yang ceplas ceplos dengan cepat.

"Enak aja." Athlas nyengir salah tingkah. "Kami sedang istirahat, sebentar lagi ada kelas."

"Oh iya." Angguk Nara.

"Nara sendiri sedang apa disini?" Tanya Bagas.

"Aku sedang menunggu seseorang. Nah itu dia, Aku duluan ya."

Athlas dan Bagas melihatnya. Ternyata Nara sedang menunggu seorang laki-laki. Entah siapa mungkin itu senior di kampus ini.

"Jancukk! Dia sudah ada Monyetnya. Kamu jangan naksir yang sudah ada Monyetnya dong." Ucap Bagas.

"Gue mau temenan aja. Siapa tahu cocok kan." Jawab Athlas sambil berlalu menuju gedung kelas mereka.

Sisanya,Bagas hanya mengikuti langkah kaki Athlas menuju kelas mereka.

Athlas cukup menjadi pribadi yang baru disini. Dia sudah banyak berubah. Namun sejauh apapun perubahannya, ia adalah orang yang sama. Dia bisa kembali pada sikap dan sifatnya yang semula.

Athlas bisa saja menjadi biang onar di kampus jika ia mau. Tapi yang dipikiran Athlas kali ini tidak ada minat untuk menjadi perusuh lagi. Ia ingin menjadi manusia yang berpendidikan baik.

Lalu tentang perasaannya pada gadis itu masih sama. Tidak akan berubah dan mungkin bila gadis itu kembali, Athlas akan dengan senang hati menerimanya kembali.

Bagi Athlas lebih baik memperbaiki yang lalu dari pada harus mencari yang baru. Ia lebih memilih yang sudah lama membuatnya nyaman dari pada mencoba yang baru yang belum tentu bertahan lama.

****

"Oke, aku bakalan coba panggil kamu dengan sebutan Vena tapi kalau kita sedang ada didepan orangtua mu, Aku panggil Raina."

Vena mengangguk. Ia menyetujui hal ini demi kelanjutan misinya dengan Ethan.

Perkanalkan, Ethan sendiri adalah teman kecil Vena dan Lucky. Ia sudah pindah sejak sebelum kejadian malam tahun baru dan kejadian yang Vena alami dulu. Ethan harus pindah ke Malaysia dengan kedua orang tuanya. Dan itu yang membuat Ethan hilang selama ini.Belum lagi, umur Ethan itu satu tahun diatas Vena.

"Oke. Aku setuju." Anggku Vena mantap.

Belakangan ini keduanya sudah banyak bicara. Vena sendiri sudah mengingat beberapa nama yang pernah ada dihidupnya dulu.

Ponsel Vena belum ia nyalakan. Ia lebih memilih buku diarynya terlebih dahulu dari lada mencari tahu dari ponsel.

"Dibuku diary ini Aku nggak pernah nyebut nama aslinya. Disini Aku nulisnya Bumi Datar. Jadi jelas bukan kalau laki-laki ini sangat spesial dihidupku dulu." Jelas Vena sembari menunjukkan bukunya.

Ethan membaca tulisan itu. Bagaimana bisa Vena yang notabennya adalah manusia yang segala bisa disebut, tapi dalam buku ini ia menjadi lain. Ia bisa menggunakan beragam majas yang ia ketahui.

"Kamu sudah mencoba ponselmu?" Tanya Ethan.

"Belum. Aku berpikir kalau Aku akan lebih jujur dibuku itu. Lagipula Aku masih belum tahu bagaimana menghidupkan ponsel itu."

"Mana ponselmu?"

"Dikamar. Biar aku ambil kalau dulu."

Ethan mengangguk. Ia kembali membuka lembar demi lembar diary yang Vena itu. Vena kembali dengan ponsel digenggamannya.

Benda pipih itu sudah ada diatas meja tempat mereka berkumpul sekarang. Ethan mengambilnya dan langsung menyalakan ponsel itu.

"Kamu tidak memberi kode ponsel ini?" Tanya Ethan.

"Aku tidak ingat. Aku tidak tahu juga bagaimana caranya."

Yaampun, Vena menjadi gaptek gara-gara amnesia ringannya. Ethan sedikit tertawa. Lalu ia menunjukkan bagaimana cara membuka ponselnya. Untungnya, Vena dulu tidak memberi pasword pada ponselnya.

"Loh, itu foto siapa?." Tanya Vena saat menatap loockskreennya.

"Mungkin ini si Bumi Datar yang ada di bukumu itu."

*****

Tbc

Eh gaisskira-kira Vena berhasil gak ya menemukan Bumi Datarnya?

Atau justru Vena akan menyerah dan jatuh pada Ethan??...

Biar cepet tahu lakukan Voment dulu dong hehe. Jangan lupa ya Voment kalau bisa sih di share haha.

Udah ya bacotnya, see u

-AuthorImut💙

Vena & Athlas -vol2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang