14. Tidak Berjodoh

104 4 0
                                    

"Ini tempat kita latihan Basket dulu." Ujar Lufi.

Iya, mereka tengah berjalan. Dan sekarang, dihadapan mereka sudah ada pintu besar yang akan membawa mereka ke gedung yang Lufi masuk.

"Aku pernah main basket?" Tanya Vena.

"Basket itu kesukaan Lo. Bahkan saat kecil, kita main itu. Tapi dulu Lo gampang sakit, makanya bokap Lo marah kalau Lo main Basket." Jimmy cepat menjawab.

Pelangi mengangguk. Ia setuju dengan apa yang ucapkan Jimmy. Sedangkan Vena masih berdiri kebingungan. Rasanya, kembali ke tempat yang banyak kenangannya itu bagian dari ujian. Syukur-syukur sih kalau kita main ke masa lalu nggak akan kebawa lagi dukanya.

"Raina."

Panggilan itu menggema dari arah belakang. Vena dengan segera membalikkan badannya. Ia tahu betul siapa pemilik suara itu. Iya, dia adalah Ethan. Laki-laki yang menjaganya beberapa waktu lalu. Dan entah untuk apa ia datang lagi. Parahnya ia datang ke sekolah ini untuk apa?

"Lo ngapain hah?" Tanya Jimmy menghalangi langkah Ethan.

"Gue harus bawa Raina pulang."

"Kak Vena kesini sama Aku. Kakak siapa? Kenapa kakak harus bawa Kak Vena pulang?" Ucap Pelangi.

"Oh. Jadi ini anak pungut yang waktu itu masih lucu?"

"Jaga bicara Lo!" Bela Jimmy yang mulai emosi.

Ya beginilah jika Jimmy bertemu dengan Ethan. Pastilah urat-urat di wajahnya terlihat jelas. Belum lagi nada bicara tinggi yang mereka gunakan selalu.

"Gue bener kan? Dia cuma anak pungut. Dan urusan gue itu cuma bawa Raina pulang. Kalau kalian masih ngalangin gue, Om Alan bakalan bikin kalian gak bakalan ketemu Raina lagi."

Ethan melangkahi Jimmy. Ia mulai menggandeng lengan Vena dengan sedikit kasar. Disaat seperti ini, Vena merasa kehilangan dirinya lagi. Untuk kesekian kalinya ia merasa bukan menjadi dirinya.

"Oke, kita duluan. Sampein sama temen Lo di dalem kalau dia gak usah mimpi buat dapetin Raina."

Ethan membawa Vena menuju parkiran. Dengan tergesa-gesa. Pasal Lufi, Jimmy dan Pelangi mereka mengejar Vena. Mereka bertiga masih mengikuti langkah Ethan yang makin mempercepat langkahnya.

"Setan! Berhenti Lo!" Teriak Jimmy di kolidor.

"Cowok itu siapa sih Kak?" Tanya Pelangi.

"Angi, dia itu suruhan bokap Lo." Ucap Lufi.

"Kalau gitu, berarti Papi ada disini juga." Ucap Pelangi.

Mereka masih berjalan mengikuti Ethan dan Vena. "Kak Jimmy, gak penting kita ngikutin Kak Vena. Lebih baik kita samperin Kak Athlas."

"Lufi, lo sama Angi balik ke tempat Athlas. Biar gue yang ikutin Dua orang itu."

****

Athlas masih kebingungan. Ia masih mendrible bola basket itu. Sesekali melakukan shoot dan tidak pernah masuk. Mungkin itu karena moodnya sedang tidak bisa diatur.

Prok... Prok... Prokk...

Suara tepukan tangan dari arah pintu itu membuat Athalas terkejut. Ia menatap lekat pada siapa yang datang. Seringainya masih sama saat dulu di bandara. Athalas mati kutu saat ini. Ia jelas tak ada teman untuk melawan orang tua ini.

"Bagus ya. Kamu mau nostalgia sama anak saya."

Athalas masih diam. Ia menatap lekat pada wajah orang tua ini. Suara yang entah mengapa selalu membuat Athlas diam berkutik ini malah hadir disaat yang tidak sama sekali ia harapkan.

"Saya sudah bilang. Jauhi anak saya."

"Saya sudah menuruti permintaan anda. Dan saya sudah tidak bisa menurutinya lagi." Jawab Athalas dengan nada datarnya.

"Kenapa? Kamu sayang sama anak saya? Kalau kamu sayang sama anak saya jauhi dia."

"Papi!" Teriak Pelangi dari arah pintu masuk.

Nafasnya masih tersegal-segal. Berlarinya ternyata membuatnya datang lada waktu yang tepat.

"Papi, aku yang bawa Kak Vena kesini. Papi gak perlu marah sama Kak Athlas."

"Kamu ikut dalam rencana dia?" Tunjukknya pada Athlas. "Pelangi. Sadar, kamu musti nurut sama saya. Saya orang tua yang sudah memungut kamu. Patuhi saya, pulang ke rumah. Jadi gadis yang penurut."

"Om gak seharusnya bilang itu. Ini murni keinginan saya. Pelangi hanya memberi jalan." Bela Athlas.

"Menarik, kamu anak pungut ternyata sudah dipihak orang lain. Kalau kamu sudah tidak betah di rumah kenapa tidak kembali ke Panti?"

Tepat saat itu, Pelangi meneteskan airmatanya. Pelangi sudah tidak tahan, ia berlari keluar gedung. Kecewa melanda Pelangi sekarang. Seorang panutan yang ia idolakan ternyata tidak senang dengan kehadiran dirinya. Dan saat itu pula, Jimmy datang dengan Lucky.

"Om Alan." Ucap Lucky dengan wajah terkejut.

"Haii. Makasih. GPS dari HP kamu berguna juga."

Lucky membuka ponselnya. Ada sesuatu yang aneh mengenai lampu notifikasi yang menyala berkedip dalam waktu yang teratur.

"Jim, kejar Angi." Ucap Lufi. Tanpa banyak kata lagi keduanya sudah hilang dari area ini. Tinggal lah tiga orang yang sedang saling pandang dengan tatapan tajam.

Athlas, wajahnya penuh tanya kearah Lucky. Ia hanya tak mengerti bagaimana Lucky masih bisa dimanfaatkan seperti ini.

"Gimana? Jauhi anak saya. Untuk selamanya. Kalau tidak, kamu sudah tahu resikonya."

Alan. Orang tua itu meninggalkan tempatnya setelah berbicara demikian. Tinggal lah Lucky dan Athlas yang masih saling tatap.

"Hah!!!!" Teriak Lucky membantingkan ponselnya.

Hancur, ponselnya berakhir dilantai. Kacanya remuk. Seperti hati Athlas saat ini.

"Tha, gue gak tahu kalau ponsel gue diretas."

"Gue udah menduga. Kenapa Lo banting ponsel Lo?"

"Gue gak mau ponsel itu. Sekarang Lo gimana? Masih mau lanjut?"

"Gue pernah bilangkan? Misi ditutup!"

"Lo yakin?"

"Gue udah yakin. Sekarang kita cari yang lain. Gue khawatir Pelangi kabur."

Vena & Athlas -vol2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang