6. ngaku pacar

739 29 6
                                    

Adis menuruni anak tangga itu dengan langkah yang begitu cepat. Dia merasa khawatir dengan keadaan Papanya. Ia pun tidak memperdulikan bahwa banyak mahasiswa yang melihatnya berlarian. Tak jarang pula ia menabrak seseorang yang sedang berlalu lalang didepannya, namun kali ini ia terjatuh keatas lantai yang putih bersih itu.

"Aduh." keluhnya yang terjatuh keatas lantai.

Matanya menatap sepatu orang yang ia tabrak, terus naik hingga keatas sampau melihat wajah orang yang ia tabrak.  Hanya sekilas, setelah itu ia menunduk. Itu Bram, dosen galaknya. Adis menghapus air mata yang berada dibalik kacamata itu.

"Kamu kalau jalan lihat-lihat dong. Masa enggak lihat badan sebesar ini." protes Bram.

"Maaf pak saya buru-buru." Ucap Adis langsung berdiri, "Permisi." ucapnya  beranjak pergi namun tangannya ditahan oleh Bram.

"Eh, tunggu dulu."

Tangan Adis ditariknya, membuat tubuh itu berada dihadapannya sekarang. Perlahan tubuh Bram menunduk menatap wajah Adis, "Ya ampun. Kamu nangis?” tanyanya dengan ledekan.

"Hahaha. Adis, Adis. Saya cuma ngeluarin kamu dari kelas dan menambahkan tugas kuliah untuk kamu. Hal yang biasa bukan. Jadi, enggak usah nangis." ledek Bram menjadi-jadi.

Adis mendongak menatap mata dosennya. " Pak, saya nangis bukan karena itu. Tapi karena hal yang lain. Udahlah, saya mau pergi." Ucap Adis Namun, cengkraman Bram menahannya lagi.

"Ck, apalagi sih?" tanya Adis mulai kesal.

"Jangan bohong."

Adis melepaskan tangan Bram yang ada dipergelangan tangannya. "Pak, saya lagi enggak mau bercanda ya. Saya mau kerumah sakit. Papa saya lagi kritis sekarang. Tolong, jangan buang-buang waktu satu. Permisi," ucapnya.

Kali ini Adis benar-benar beranjak dari tempat ia berdiri. Bram mematung, ia merasa bersalah setelah Adis mengucapkan kalimat itu. Setelah berada dialam sadarnya ia menatap Adis yang mulai menjauh.

"Sial!! Kenapa enggak nyala sih." protes Adis pada motornya. Saat ini ia telah berada diparkiran yang sepi.

Dengan sangat emosi ia mencoba menghidupkan motornya. Berkali-kali ia mencoba namun motornya tak hidup-hidup juga.

"Huh, Papa ... "Rintihnya dengan tangisan.

Tin ... Tin ...

Adis menoleh kearah sumber suara. Ia tahu itu mobil siapa. Kaca mobil itu terbuka memperlihatkan wajah sang pengendara.

"Ayo ikut, biar saya antarkan."

Adis menimang-nimang ajakan yang Bram berikan. Rasa kesalnya kepada dosen galak itu belum hilang. Terbukti dari wajahnya yang masam.

"Enggak usah, makasih." tolaknya.

"Udahlah, anggap saja sebagai permintaan maaf saya ke kamu karena tadi sudah menahan-nahan kamu. Ayo, kita kerumah sakit. Inget, Papa kamu butuh kamu sekarang!." Ucap Bram penuh penegasan diakhir kalimat.

"Motor saya gimana tapinya?" tanya Adis.

"Lebih khawatir sama Motor apa sama keadaan Papa kamu?" tanya balik Bram.

Adis berfikir sejenak. Ia menatap Bram yang berada didalam mobil itu, matanya mengalihkan pandangannya. Menatap motornya kesayangannha sebentar.

"Maaf sobat. Kali ini aku meninggalkanmu. Papa lebih penting dari pada kamu." Ucapnya kepada motor itu.

Bram geleng kepala. Aneh-aneh aja mahasiswinya itu. Masa motor diajak bicara. Setelah mengucapkan kalimat perpisahan kepada sang motor. Adis turun dari motornya dan mendekat kearah mobil Bram.

BBM (Bohong Berujung Menikah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang