9. Jawabannya

982 59 10
                                    

"Papa?!" teriak Adis dengan terkejut.

Segera ia berlari menuju Papanya. Memeluk dengan erat tubuh itu. Ia masih tidak percaya jika Papanya akan pulang ke rumah dengan kondisi yang terbilang baik-baik saja.

"Papa sudah dibolehkan dokter pulang?" tanya Adis.

"Iya. Kata dokter kesehatan Papa juga semakin baik," jawab Adis.

"Semua berkat kamu juga, Dis." Adis menoleh ke arah Yayahnya.

"Berkat Adis?" Tunjukkanya pada diri sendiri.

"Iya, tadi siang Bubun kamu telpon Yayah. Katanya kamu dilamar sama pacar kamu yang kemarin," ucap Yayah.

"Kabar bahagia itu Yayah sampaikan ke Papa kamu. Saat mendengar berita itu. Dia jadi semangat. Terlebih lagi saat Yayah bilang, Adis akan memberikan jawabannya besok."

"Papa mau melihat kamu mengucapkan kata 'iya' besok." Papa Adis membelai wajah anaknya. "Akhirnya saat itu telah tiba. Gadis kecil Papa sudah menjadi wanita dewasa dan dia akan menikah. Papa sangat senang mendengar kabar ini," ucap Papanya.

Adis tertunduk lemas. Hatinya kembali dilema. Kenapa dia harus terjebak dalam situasi yang ia buat sendiri.

***

Hari ini menjadi hari yang bersejarah bagi hubungan Adis dan Bram. Lihatlah mereka sekarang, duduk berhadapan dan dikelilingi oleh keluarga besar.

"Jadi, apa jawaban atas pertanyaan yang kemarin?" tanya Mami.

"Sebelumnya Adis mau tanya, kenapa Mami mau Adis menjadi menantu Mami? Kalau hanya karena kejadian yang kemarin, yang temen-temen Mami ngatain pacarnya anak Mami ini hanya seorang pelayan restoran. Kayaknya Adis enggak bisa jawab iya untuk sekarang," ucap Adis.

"Enggak, Mami enggak memilih kamu karena kejadian kemarin. Kan Mami pernah bilang, dari awal Mami ngeliat kamu, Mami emang udah suka. Sifat kamu, tutur sapa kamu, dan kamu juga sopan. Memenuhi kandidat menjadi keluar besar kita. Dan untuk masalah kemarin, itu cuma alasan Mami aja. Supaya anak ini ... " Mami menepuk pundak Bram. "Cepet menikah, usia sudah tua tapi enggak bisa ambil keputusan buat nikahi kamu," sambung Mami.

Adis mengangguk, ia juga melirik Bram yang meliriknya.

"Kalau Om Papi sendiri, apa mau punya menantu kayak saya yang cupu begini?" tanya Adis.

"Penampilan kan bisa dirubah. Kalau anak saya suka, istri saya suka, semua keluarga suka. Ya saya enggak ada masalah, asalkan anak saya bahagia sama kamu ya semuanya pasti bahagia," jawab Papi.

"Keluarga kita enggak mandang status sosial, Dis. Kita melihat dari tutur kata, sopan satun, tata krama, dan bebet bobotnya harus jelas. Dan seperti yang Mami bilang tadi, kamu sudah masuk kedalam kriteria kami," ucap Kak Tia.

"Dan semua ini sudah kita rundingkan tadi malam. Ini semua bukti keseriusan kami yang ingin menjadikan kamu bagian dari keluarga kami. Ya siapa tahu saja, anak itu tidak pindah-pindah tempat tinggal terus," sindir Jo, Kakak Ipar Bram.

Adis menimbang semua kata-kata dari pihak lelaki. Kemudian ia juga melihat wajah Papanya yang tak henti memberikan senyuman. Dia bingung sekarang, pihak dari Bram menerima dia apa adanya dan dipihak dia sendiri, ada Papanya yang mulai kembali sehat karena kabar gembira ini.

"Jadi apa jawabannya, Dis?" tanya Bram.

"Wuw." Semua orang memberikan sorakan kepada Bram.

"Ada yang enggak sabar sama jawaban Adis rupanya!" sindir Kak Tia.

"Jadi gini, Adiskan masih kuliah, jadi enggak mungkin kalau --- "

"Yang menikah saat kuliah kan udah banyak, Dis," ucap Kak Jo.

"Ha, betul itu. Temen Mami juga ada yang kayak gitu."

"Bubun sama Yayah dulu juga nikah waktu masih kuliah." Tambah Bubun.

Semuanya sangat antusias dan bahkan sangat berisik. Adis memejamkan matanya untuk memikirkan sesuatu dan pada akhirnya ia menemukan jawabannya lewat suara hatinya sendiri.

"Ya udah Adis terima!" ucapnya dengan suara lantang.

Semuanya terdiam mendengar ucapan Adis. Semua mata tertuju kepada Adis yang tertunduk.

"Apa, Dis?" tanya Papa Adis.

"Adis terima lamarannya. Adis mau nikah sama Mas Bram!" ucapnya menatap mata Bram.

"Alhamdulillah."

Ucapan rasa syukur bergema dalam ruangan ini. Semuanya berbahagia dengan jawaban yang diberikan Adis tadi. Bram kembali menatap Adis, ia merasa tak percaya dengan apa yang Adis ucapkan tadi.

Pada hari itu juga mereka melakukan pertunangan. Semuanya bahagia kecuali dua insan ini. Mereka berdua sudah terjebak dalam permainan mereka sendiri.

"Semuanya, saya dan Adis permisi sebentar ya," pamit Bram.

"Mau kemana?" tanya Mami.

"Ke halaman belakang," jawabnya.

"Ya udah, silahkan," ucap Bubun.

Bram menarik tangan Adis menuju halaman belakang. Sesampainya disana, Bram tidak henti-hentinya menatap wajah Adis. Adis merasa dilihat oleh Bram malah membuang muka kesana dan kemari. Ia telah menduga bahwa dosennya ini akan bertanya kenapa dia setuju menikah dengan Bram.

"Sejak kapan kamu suka sama saya?" tanya Bram kemudian.

"Enggak pernah."

"Kalau enggak pernah kenapa nerima?" tanya Bram lagi.

"Memangnya penting pertanyaan itu?" tanya balik Adis.

"Ya pentinglah, Adis. Kalau enggak penting kenapa saya nanya pertanyaan itu ke kamu."

"Oke kalau itu penting. Jadi jawabannya cuma dua. Pertama karena kebohongan yang Bapak buat enggak mau di bongkar dan yang kedua karena Papa saya bisa sembuh dan memiliki semangat hidup kembali. Bapak lihat kan Papa saya tadi, dia bisa berada disamping saya karena mendengar kabar bahagia ini. Enggak mungkin saya mengecewakan dia. Apalagi keluarga Pak Bram baik semua," tutur Adis dengan segala kejujurannya.

"Tapi kamu tahu kan, pernikahan itu bukan main-main dan bukan suatu kebohongan. Memangnya kamu siap hidup sama saya?" tanya Bram.

Adis memasang wajah kecutnya. Matanya juga melirik kesana dan kemari. Dari kemarin ia selalu ditimpa oleh pertanyaan terus. Bram menunduk menatap Adis dengan jarak yang begitu dekat. Matanya mengisyaratkan agar Adis segara menjawab pertanyaannya.

"Ya udah kalau enggak mau. Pak Bram bisa bongkar rahasianya. Paling-paling Bapak dijodohin sama mantan pacar Pak Bram," ucap Adis.

"Kamu ngancem saya?" tanya Bram.

"Terserah Bapak mau anggep apa. Pokoknya saya mengikuti apa yang menurut saya benar."

Adis melenggang masuk melewati Bram yang berdiri di depan pintu belakang. Selang beberapa detik, Bram juga masuk ke dalam rumah kembali.

"Nah, karena semuanya sudah berkumpul. Jadi bisa kita tentuin tanggal nikahnya kapan," ucap Mami Bram.

"Memangnya mau kapan?" tanya Adis pasrah.

"Kalau dari kesepakatan kita semua, pernikahannya akan diadakan saat libur kuliah kamu nanti aja, Dis," ucap Bubun.

"Libur kuliah?!" tanya Adis.

"Iya," jawab semuanya.

"Kenapa cepet banget?" tanya Adis.

"Papa ingin menjadi wali nikah kamu, Nak. Papa rasa bulan depan adalah waktu yang tepat," ucap Papanya.

Adis melihat Papanya yang berwajah pucat. Ah, harusnya dia tahu jika perundingan itu disetujui karena permintaan dari sang Papa.

"Kalau, Nak Bram sendiri bagaimana, setuju?" tanya Yayah.

"Ya kalau saya nurut bagaimana baiknya saja. Lagipula tidak baik juga kan kalau ada hajat yang baik malah ditunda-tunda," jawabnya dengan menatap Adis.

'Lagi kondisi kayak gini masih bisa berakting dia.' Nyinyir Adis dalam hati.

BBM (Bohong Berujung Menikah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang