10. Merubah keputusan

208 24 6
                                    

Semenjak hari ditentukannya pernikahan Adis. Ia dan Bram menjalani hari-hari seperti biasanya. Menjadi seorang mahasiswi dan dosen disebuah kampus.

Tapi, tidak bisa dipungkiri jika setiap hari, Adis selalu merutuki tindakannya ini. Ia menyesal karena akan menikah dengan cara yang diawali kebohongan. Dan yang lebih buruknya lagi. Setiap hari ia pulang dan pergi bersama Bram.

Suara musik mengalun di dalam mobil kedua insan ini sedang sibuk dengan urusan sendiri. Menunjukkan sikap acuh tak acuh.

"Enggak nyangka, ya. Seminggu lagi kita nakal nikah."

Adis yang tengah membaca buku memandang kearah lain. Ia menarik napas dan memejamkan matanya sejenak.

"Kamu beneran mau nikah sama saya? Enggak menyesal dengan keputusan ini?" tanya Bram. Pertanyaan yang sangat-sangat sering ia tanyakan sebulan belakangan ini.

"Pak Bram sudah tahu jawaban saya kan. Semua terserah sama Bapak. Kalau Bapak mau batalkan ya silahkan. Saya enggak keberatan."

Srek! Bruk! Bram menghentikan mobilnya secara mendadak.

"Aw!" Ringis Adis.

"Kamu itu. Enteng banget ngomongnya. Mau menimpakan semuanya sama saya?!"

"Loh. Kok omongan Bapak seperti menyudutkan saya?!" Balas Adis tidak terima.

"Saya enggak menyudutkan kamu. Tapi saya minta sama kamu untuk saling terbuka. Selama sebulan ini saya memikirkan masalah ini," ucap Bram.

Adis diam mendengarkan itu. Ternyata Bram yang terlihat biasa saja selalu memikirkan masalah yang sama seperti dirinya. Adis menunduk dan menutup buku yang ia baca.

"Ya, sebenarnya saya juga selalu memikirkan masalah ini. Tapi saya enggak mau membuat Papa saya sedih dengan menyelesaikan masalah ini," jawab Adis.

"Terlebih lagi, saya juga belum siap menjadi ibu rumah tangga." Sambung Adis.

Bram menatap wajah Adis yang kebingungan. Ini memang salahnya. Salahnya yang tidak ingin dijodohkan dengan wanita pilihan Maminya.

"Baiklah. Ketika kita sampai di rumah nanti. Saya akan bicara kepada keluarga kamu. Saya akan membatalkan pernikahan ini."

Adis langsung menatap Bram yang pandangannya telah beralih ke jalanan. Mesin mobil itu dihidupkan kembali.

"Saya enggak mau merusak apa yang kamu cita-citakan. Maaf sudah membuat kamu terlibat dalam masalah ini," ucap Bram.

Adis kembali menundukkan pandangannya. Ia membenarkan kaca mata yang sebenarnya tidak bergerak dari posisi semula.

Baru saja Bram ingin menjalankan mobilnya. Ponsel milik Adis berbunyi. Sebuah panggilan dari Yayah.

"Hallo, kenapa, Yah?"

Bram menatap wajah Adis yang terkejut. Perlahan, tangan Adis menurunkan ponselnya. Ia menatap Bram dengan wajah pucat pasih.

"Ke rumah sakit sekarang," ucap Adis.

***

Adis dan Bram berlari mencari kamar tempat Papanya dirawat. Adis mendapatkan kabar jika Papanya jatuh pingsan saat di rumah tadi.

Sampai di depan kamar rawat Papanya. Adis melihat Bubun, Yayah dan Angga sedang duduk. Wajah dari ketiga orang itu begitu cemas dan penuh rasa khawatir.

"Bun, Yah, Papa gimana?" tanya Adis.

"Masih ditangani dokter," jawab Yayah.

BBM (Bohong Berujung Menikah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang