💞 PROLOG 💞

1.4K 69 34
                                    

Assalamu'alaikum temen-temen... terima kasih sudah mampir ke cerita baru aku, Insyaallah Berkah Selamanya.

Novel ini berkisah tentang Resty yang mencari dan berusaha menyusun cinta di jalan Allah. Namun karena ia baru memasuki dunia hijrah dan lahir bukan dari keluarga yang kental agama, jadi masih labil! Apalagi usia Resty yang baru menginjak 19 tahun!

Di cerita ini bakal ada gambaran bagaimana bertemu cinta yang salah, bingung memilih cinta, labil karena cinta... berlanjut ke tahap ta'aruf sesuai syariat Islam hingga menjalani rumah tangga bagi pasangan yang nikah muda tanpa pacaran!

Buat jomlo yang lagi merenung menunggu jodoh, wajib banget baca novel ini, ya!

_______________________

AWAL TAHUN 2017

"Bapak pikir lebih baik rencana pernikahan kamu dan Udin dibatalkan." Suara pria itu menguar di telingaku lewat sambungan telepon.

Meski itu mengejutkan, tetapi aku harus bisa bersikap biasa aja. "Memangnya kenapa, Pak?"

"Karena kakaknya Udin tidak setuju. Istilahnya, ngapain orang sakit-sakitan mau dipelihara!"

Dipelihara? Si tua bangka pikir seorang istri itu adalah hewan? Lagi pula aku sudah sembuh dari virus mematikan itu. Masa hanya karena aku dirawat di rumah sakit selama beberapa, kemudian ia membatalkan pernikahan begitu saja?

Setelah berita itu terdengar, aku langsung ingin menjauh dengan anaknya. Namun Udin melarang, ia tak mau menjauh.

Katanya, "Jangan Resty. Biarkan Bapak bicara seperti itu! Aku tidak peduli. Aku akan tetap menikah denganmu. Aku akan bicara pada papamu, rencana pernikahan tetap lanjut."

"Tapi kakak dan orangtuamu tidak mau kita menikah. Buat apa mempertahankan hubungan ini?"

"Enggak, Resty! Aku janji akan menikah denganmu. Aku mau kamu bertahan. Aku berharap kamu bisa menungguku satu atau dua tahun lagi untuk membuktikan bahwa aku mampu menikahi kamu tanpa harus dibiayai orangtua apa lagi kakakku."

Mendengar Udin memohon seperti itu, aku bisa apa? Meski awalnya tak cinta, tetapi setelah lamaran itu benih-benih asmara tumbuh begitu saja. Wajar bukan jika aku berharap dan mau menerima Udin kembali?

Berkat usaha kami yang berhasil menunjukkan mampu menikah, orangtua Udin kembali memberikan restu. Beliau ingin kami menikah setelah lebaran Idul Fitri. Jika dihitung, empat bulan lagi dari sekarang.

Sayangnya si Udin yang tak pernah melepaskan peci dari kepalanya itu tidak bisa dipegang omongannya! Ia justru berpacaran dengan salah satu santri di pondok pesantren yang sering aku kunjungi untuk menuntut ilmu.

Begitu tahu berita itu, aku datangi mereka di pondok pesantren. Kami berempat, aku, Nuari sepupuku, Udin dan gadis itu bersitegang di belakang bangunan asrama pesantren.

"Aku gak akan marah-marah sama kamu, tapi aku mohon jawab jujur semua pertanyaan aku," ucapku pada gadis itu.

Sang gadis hanya mengangguk.

"Kamu apa-apaan, sih?" tanya Udin.

"Kamu diam, aku mau nanya sama dia." Sesaat kemudian aku menatap gadis yang katanya pacar Udin. "Kamu udah berapa lama berhubungan dengan Udin?"

Gadis itu berbicara menggunakan Bahasa Sunda dengan suara sangat kecil. Aku benar-benar tak bisa mendengar dan mengerti apa yang diucapkannya.

"Tunggu dulu... aku mohon jangan bicara pakai Bahasa Sunda!" Aku menangkupkan kedua telapak tangan seraya memohon pada gadis itu.
Sayangnya ia justru bersuara, "Kumaha iue, teh, A? Abdi teh tos nyaah ka A Udin."

Kalimat itu benar-benar membuatku geram.
"Aku sudah bilang jangan bicara menggunakan Bahasa Sunda!" teriakku.

"Biasa aja ngomongnya gak usah keras-keras, bisa enggak?" ujar Udin.

"Kamu juga biasa aja, dong!" Nuari memprotes Udin.

"Ya udah gini aja... Udin, aku ini siapanya kamu?" Aku bertanya seperti itu agar gadis itu tahu bahwa aku adalah calon istri pemuda yang dicintainya.
Sayangnya Udin malah berkata, "Bukan siapa-siapa aku!"

Kalimat yang dilontarkan Udin membuat Nuari emosi. Pasalnya ia tahu bahwa aku sudah dilamar pemuda itu. Bahkan kami akan segera menikah dalam hitungan bulan.

Nuari emosi, menarik kera baju Udin, kemudian mendorong dengan keras ke sisi tembok.

"Lu gak malu sama peci, baju koko dan sarung yang dipakai ini? Hah! Lu itu calon suami kakak gua! Kenapa lu bisa berani bohong, anjir!" teriak Nuari.

Kejadian memanas itu diakhiri oleh aku yang pingsan. Aku syok dengan peristiwa menyedihkan yang menimpaku ini. Pasalnya paska sakit mematikan tubuhku jadi lebih rentan. Aku tidak bisa menerima berita buruk.

Akibat kejadian itu rencana pernikahan dengan Udin kandas! Meski lelaki itu sudah minta maaf, tetapi aku tak mau melanjutkan. Aku berharap Allah akan kirimkan pengganti yang lebih baik. Namun setelah orang yang diyakini sebagai pengganti itu telah datang, aku justru berada dalam kebimbangan.

Sejak tahu ada hafiz Qur'an yang bersedia menikahi, aku takut. Apakah benar orang saleh itu akan menikahi aku? Gadis biasa yang pernah penderita Radang Selaput Otak?

Entah kenapa pemuda yang katanya akan memberikan mahar hafalan Qur'an itu justru memberikan aku syarat untuk menghafal surah-surah pendek.

Katanya, "Hanya juz tiga puluh?"
Aku terkejut! Bukankah ia yang dengan senang hati ingin memberikan mahar itu tanpa pernah diminta. Namun kenapa sekarang justru ia yang mengajukan syarat sebelum kami menikah?

Aku yakin pemuda itu memang meragukan kemampuan hafalanku... atau ia yang sang hafiz Qur'an itu tak mau menikahi aku si akhwat dhoif yang selalu bermimpi memiliki imam saleh hingga bisa menuntun sampai ke surga?

Pikiranku benar-benar kacau. Aku ingat pemuda itu menanyakan ukuran cincinku! Aku ingat saat ia sekeluarga datang ke rumah. Aku ingat kami sekeluarga bersilaturahmi ke sana untuk menerima tawaran menikah... aku ingat! Aku ingat semuanya.

"Ya Allah... Buang semua ingatan itu!" Kalimat itu yang sedang diteriakkan oleh hatiku tanpa terdengar oleh siapa pun.

Aku menatap dedaunan yang terus menari akibat diterpa angin sore. Pandanganku semakin kosong persis seperti harapan yang baru saja hilang dari angan-angan. Perlahan kepalaku semakin pusing. Badanku berubah menjadi dingin.

Aku melihat Mama kembali ke dalam rumah untuk menerima telefon dari Papa. Aku sempat mendengar mereka sedang membicarakan aku dengan pemuda itu.

Sepupu yang sedang duduk tak jauh dariku berkata, "Teteh kenapa?"

Aku menggeleng. "Enggak kenapa-napa, kok."
Semakin aku sembunyikan kesedihan, butiran bening itu kian memaksa, menerobos hingga mengalir ke permukaan pipi. Karena air mata tak bisa membohonginya, sepupuku membujuk.

"Kita ke dalam aja, yuk, Teh."

Wanita itu membantu aku berdiri seraya merangkul sambil berjalan. Baru sampai di teras pandanganku sudah kabur. Badan ini lemas hingga tak mampu lagi berjalan apalagi melihat sekitar.

Sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri, aku mendengar sepupuku berteriak. "Mama... Mama... Teh Resty pingsan! Tolong... tolong."

***

_______________________

Gimana setelah baca prolog ini? Mau lanjut atau udahan aja?

Insyaallah Berkah Selamanya - TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang