13 💞 Tanya Jawab

319 28 3
                                    

Setelah melalui pertemuan antar keluarga sebanyak dua kali, kami rasa sudah cukup untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, yaitu khitbah. Tapi, sejujurnya aku merasa tidak tenang. Karena setelah mengunjungi rumah Rizki, terlihat lingkungan keluarganya begitu kental dengan agama Islam.

Pesantrennya berdiri tepat di depan bukit, sangat indah untuk dipandang. Sedangkan aku? Lingkungan saja sangat jauh dari agama Islam, orang-orangnya pun masih awam, termasuk aku. Ditambah lagi, melihat diriku yang masih jauh dari kata sempurna. Fisik ini lemah, bahkan aku pernah pingsan di hadapan Rizki serta keluarganya.

Sungguh, siapa pun perempuan itu, jika melihat kehidupannya pasti akan merasakan hal yang sama, yaitu minder. Aku juga takut, kejadian buruk yang menimpaku saat bersama Udin terulang kembali.

Sore itu, beberapa hari setelah kami mengunjungi rumah Rizki. Aku menghubunginya dan bertanya lewat pesan singkat.

Resty:

Mas, sebelum terlalu jauh, saya mau nanya. Apa Mas mau dengan keadaan saya yang seperti ini? Fisik saya lemah.

Lalu, beberapa saat kemudian Rizki membalas.

Rizki:

Kalau nanyanya mau, siapa yang mau istrinya sakit? Tapi, kalau nanyanya sanggup, Insya Allah saya sanggup menemani, merawat, mengerti. Jika Allah memberikan istri kepada saya, maka dia adalah amanah. Saya sanggup, Resty. Bismillah! Eh, tapi, kalau lapar bilang, ya.

Saat membaca kalimat terkahir dalam pesan tersebut, seketika membuatku tertawa, karena Rizki mengingatkan aku dengan kejadian konyol di rumahnya.

Masih tergambar jelas bagaimana kejadian kemarin saat aku terbangun dari pingsan, hal pertanya yang Mama tanyakan adalah, "Resty kenapa?" Lalu dengan konyolnya aku menjawab, "Aku lapar, Ma." Serentak seisi majelis pesantren itu menertawakan aku. Sungguh itu hal yang memalukan!

Setelah cukup lama menertawakan diri sendiri, aku kembali membalas pesan tersebut.

Resty:

Selama chatting sama Mas, biasa aja, datar. Baru kali ini saya ketawa. Syukurlah, kalau memang Mas sanggup. Tapi, ya, penginnya jangan sampai sakit. Kalau seandainya di kemudian hari sebelum saya nikah dengan Mas, besok, lusa, atau kapan pun saya jatuh sakit lagi, gimana? Apa masih tetap mau melanjutkan niat baik menikahi saya?

Rizki:

Jawabannya IYA! Sekarang saya nanya balik, kalau saya sakit tifus misalkan, mau nggak nikah sama saya? Nah, masa cuma karena Resty sakit saya batalin niat baik saya, sih?

Resty:

Mas, Insya Allah saya mampu merawat suami saya yang kena tifoid (tifus). Itu disebabkan bakteri yang ada di usus, Mas. Masuknya, lewat makanan sama kebersihan tangan. Insya Allah bisa dicegah. Kalau saya, kan, pasien post meningitis (mantan penderita radang selaput otak), virus atau bakterinya di otak, bisa masuk lewat udara atau debu lewat sesuatu yang nggak nampak, mungkin napas misalnya. Kita nggak bisa minta, kapan dan di mana kita bernapas, bukan? Kita nggak pernah tahu, kan, kapan Allah ngasih sehat dan ngasih sakit ke kita? Saya takut sewaktu-waktu saya sakit lagi.

Rizki:

Kenapa Rizki tetap pilih Resty? Waktu itu, jujur... ada dua wanita yang mau sama Rizki. Lalu diistikharahkan sama ustaz. Beliau bilang, 'Dua-duanya sama baik. Tapi, kalau Rizki sama Resty, maka rezekinya akan mengalir deras seperti air hujan' Rizki istikharah lagi, tafakur, salat hajat, tidur, bangun, tahajud, istikharah lagi. Paginya memutuskan bilang ke Bapak. 'Pak, Rizki mau melanjutkan ke orang Cirebon saja.'

Insyaallah Berkah Selamanya - TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang