Kebiasaan burukku sejak sakit meningitis, aku tidak bisa menahan mata agar tetap terjaga di waktu orang-orang bangun. Pagi itu, aku tertidur setelah salat subuh. Namun, aku terbangun pukul tujuh pagi. Entah kenapa hatiku selalu gelisah menanti kabar serta keputusan dari Teh Vivi.
Setiap bangun dari tidur, benda pertama yang kucari adalah ponsel. Aku membuka pesan-pesan masuk dan mengecek notifikasi, tapi alat penglihatan ini benar-benar tidak biasa diajak kompromi. Rasa kantuk yang masih melekat di mata tak bisa terbendung lagi.
Rasanya aku ingin kembali menarik selimut dan meneruskan tidurku yang terjeda. Namun, ringtone pesan masuk tak mau berhenti. Ketika suara sudah dibisukan, getaran ponsel yang berganti menggangguku. Akhirnya, aku membaca pesan-pesan yang masuk seraya berusaha membuka mata sekuat tenaga. Dari sekian banyak chat WhatsApp, salah satu nama yang terpampang di daftar pengirim adalah Teh Vivi yang masuk sekitar pukul enam pagi.
Teh Vivi:
Dek, barusan dia bilang katanya setuju mau lanjut ta'aruf sama Resty. Tapi, dia mau ke tahap berikutnya yaitu tanya jawab langsung dengan Resty melalui grup. Jadi, nanti Teteh akan buatkan grup, anggotanya, Resty, Teteh, sama Rizki. Adanya Teteh sebagai pembatas agar tidak ada subhat dan percakapan yang tidak perlu. Setelahnya, jika ada kecocokan dan sama-sama mantap. Maka proses akan dilanjutkan silaturahmi pihak Rizki ke orangtua perempuan. Jika dirasa dari jawaban tidak berkenan, maka kalian bisa memutuskan untuk tidak berlanjut. Bagaimana, Dek?
Usai membaca pesan tersebut, seketika rasa ngantuk pun hilang. Dengan suka rela aku membuka mata selebar mungkin karena ingin memastikan dan membaca kembali pesan dari Teh Vivi.
Setelah aku benar-benar memahami secara jelas. Hatiku terasa terjun dari ketinggian 100 meter, Masyaa Allah rasanya deg-degan.
Akhirnya aku langsung menjawab pesan tersebut.
Resty:
Silakan, Teh.
Setelah menunaikan rasa penasaran dan kegelisahan, aku kembali tertidur. Penyakit insomnia yang tak pernah hilang senjak SMP membuatku tertidur di pagi hari jika tidak ada kegiatan, lalu terbangun untuk melalukan salat duha.
Usai melaksanakan ibadah istimewa pemancing rezeki, aku berbaring dan kembali bergelut dengan dunia maya. Tepat pukul 11:50 WIB, kedua bulat hitamku menatap balon notifikasi. Terlihat dengan jelas bahwa aku dimasukan ke dalan grup WhatsApp bernama -INSYA ALLAH BERKAH-. Setelah melihat siapa yang membawaku ke tempat tersebut, bibirku seketika merekah.
Sejujurnya hatiku bergetar dan ingin segera memastikan.
Resty:
Teh, Insya Allah Berkah itu grup yang Teteh buat, ya? Resty malu, di sana ada Rizki?
Teh Vivi:
Silakan sampaikan segala sesuatunya pada Rizki agar nanti tidak ada kesalahfahaman.
Resty:
Jujur takut banget... nggak tau kenapa takut chatting-an sama ikhwan ajnabi.
Aku melihat Teh Vivi mengirimkan emoji tertawa.
Teh Vivi:
Silakan... kalian sudah saling tersambung, rasanya Teteh tidak perlu untuk ikut campur.
Siang ini,15 Juni 2017 aku mulai mengenal siapa itu Rizki Hasbi Muktafi lewat grup WhatsApp, yang aku berharap, semoga tidak ada ke-mudzorot-an dalam grup ini. Aku juga mengharapkan, semoga ta'aruf ini mendapat keberkahan, seperti nama grupnya -INSYA ALLAH BERKAH-.
Rizki:
Asalamualaikum. Terima kasih sudah dibuatkan grup. Untuk peraturan grupnya.... Satu, chat hanya dimulai dari jam 07.00 hingga 21.00. Dua, no emoticon. Tiga, apa yang diungkapkan adalah kejujuran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Insyaallah Berkah Selamanya - TELAH TERBIT
Ficção GeralBanyak orang yang bertanya, "Bagaimana kisah pertemuan Resty dan suaminya di novel Cadarku BUKAN Teroris?" Novel ini jawaban dari segala pertanyaan teman-teman tentang. "Mengapa Resty bisa dinikahi pemuda istimewa itu?" Teman-teman sudah sering mend...