Setelah pesanku tak dibalas, aku langsung menghubungi beliau lewat telefon. Saat itu ibunda Rizki berkata, bahwa aku harus ikhlas menerima keputusan ini, aku harus menunggu Rizki menyelesaikan pesantrennya lagi selama 5 tahun. Beliau juga meminta maaf jika tindakan Rizki telah mengecewakan aku sekeluarga. Mendengar penjelasan beliau, aku semakin ingin berbicara langsung dengan Rizki.
Ketika aku meminta berbicara dengan Rizki, terdengar di telefon suara Rizki berkata, "Nggak mau mah, takut salah ngomong".
Mendengar kalimat itu, aku semakin yakin bahwa Rizki memang tidak menginginkan keberadaanku.
Hancur sudah harapanku untuk yang ke dua kalinya, walau aku tak begitu berharap kepada Rizki, tetap saja rasa sakit itu ada. Kuletakan kembali ponsel milik Mama yang kugunakan untuk menelepon ibunda Rizki dan beliau bertanya.
"Telefonan sama siapa?" tanya Mama.
"Mamahnya Rizki."
"Ada apa?"
Aku menjawab sembari berlalu dari hadapan Mama menuju kamar adikku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Mamanya bilang, katanya nggak jadi nerusin rencana pernikahan."
Wanita terhebat itu langsung menemui aku. Beliau duduk di hadapanku yang sedang berbaring menyembunyikan air mata.
Mama berkata, "Kenapa bisa kayak gini?"
Mama membangunkan aku dan memeluk erat tubuh ini.
Aku menangis sejadi-jadinya, aku berkata, "Mungkin aku memang ditakdirkan untuk selalu disakitin laki-laki, Ma."
Butiran bening itu terus mengalir dari kedua sudut mataku, tak bisa terbendung lagi.
"Nggak boleh ngomong kayak gitu," ujar Mama.
"Ma, dari awal aku kenal Rizki, sebenarnya hati ini nggak pernah tenang. Mana mungkin laki-laki sepertinya mau dengan aku yang seperti ini? Dia hafiz, penghafal Al-Qur'an, dari keluarga yang kental dengan agama, bapanya kiai, punya pesantren. Sedangkan aku? Siapa aku, Ma!! Resty emang nggak terlalu berharap sama Rizki, tapi tetap sakit. Kenapa dengan mudahnya mereka mengambil keputusan tanpa memikirkan bagaimana perasaan aku." Aku terus menangis dan tetap berada di pelukan Mama.
"Yang sabar... mungkin bukan jodohnya. Lagian, kalian juga belum ketemu berduaan, bahkan Rizki juga untungnya belum pernah melihat wajah kamu. Yang tenang, ya... udah, jangan nangis lagi. Berarti emang Rizki bukan yang terbaik."
Tiba-tiba saja selintas pikiranku teringat akan ucapan Restu.
"Mah, kemarin aku dapat kabar dari Bibi Lik, katanya Restu mau nikah. Tapi, dia mau nikah sama aku katanya. Aku penasaran, jadi nanya sama Restu langsung. Katanya iya, dia bilang mau nikahin aku. Aku takut kejadian ini ada campur tangan Restu, biar aku nggak jadi nikah sama Rizki," ungkapku.
"Astaghfirullah, kapan dia ngomong gitu?"
"Kemarin, Ma!" sahutku,
"Udah, sekarang kamu yang tenang aja, dulu. Insya Allah nggak akan terjadi apa-apa. Kalau benar ini ulah si Restu, biar Papa yang ngurusin!" ujar Mama.
Aku tak bisa berkata banyak, aku tetap menangis. Aku sedih, aku mengeluh.
"Mah, badan aku dingin semua dari tadi, semenjak dapat pesan dari Rizki sama mamanya. Aku pusing, Ma."
"Iya, Mama juga bisa ngerasain badan kamu dingin semua, udah sok istirahat. Jangan dipikirin ya." Mama berlalu keluar.
Namun, aku tak tenang berada di sini sendirian. Aku mencoba untuk keluar rumah dengan tujuan agar hati bisa sedikit terhibur. Tapi, setelah aku berada di teras rumah uwa, dinginnya angin semakin menyelimuti tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Insyaallah Berkah Selamanya - TELAH TERBIT
General FictionBanyak orang yang bertanya, "Bagaimana kisah pertemuan Resty dan suaminya di novel Cadarku BUKAN Teroris?" Novel ini jawaban dari segala pertanyaan teman-teman tentang. "Mengapa Resty bisa dinikahi pemuda istimewa itu?" Teman-teman sudah sering mend...