Hari ini aku bersama Papa pergi ke kampus untuk melihat dan membawa pulang jadwal kuliah serta kalender akademik selama satu semester ke depan. Aku melihat bahwa jadwal yang padat berada di bulan Agustus, Oktober, November sampai pertengahan Desember dan senggang di bulan Juli ini serta bulan September. Aku berpikir bahwa bulan Januari 2018 nanti mulai disibukan dengan KTI.
Rizki mengatakan bahwa ia akan menikahi aku bulan Januari, tapi aku khawatir di bulan tersebut akan ada sidang KTI. Aku pun memberitahu Rizki perihal jadwal kuliah ini lewat pesan singkat.
Resty:
Januari mulai sibuk-sibuk untuk sidang KTI, Mas, kayaknya mau ada acara seminar juga.
Lalu, Rizki pun bertanya kembali, saat membalas pesanku.
Rizki:
Berarti, cuma September?
Aku berpikir, bahwa pertanyaan tersebut menanyakan perihal waktu senggang kuliahku. Lalu, aku pun menjawab:
Resty:
Iya gitu, sih, jadwalnya, Mas. September tanggal 1- 3 libur, selebihnya kuliah.
Di sela-sela pembahasan kami tentang jadwal kuliah, Rizki tiba-tiba saja bertanya perihal mahar.
Rizki:
Kalau saya bertanya kepada Resty, Resty mau mahar apa?
Resty:
Mahar apa? Nggak tahu, Mas. Kenapa memangnya? Mas aja mampunya apa? Jangan dipaksakan. Kalau ditanyain maunya apa, banyaklah. Tapi, Resty juga mikir lagi, jangan mempersulit Mas Rizki.
Rizki:
Mahar, kan, harus yang disepakati kedua pihak.
Resty:
Ya iya, makanya Resty sepakat dengan apa yang mau Mas beri kepada saya, bukan?
Rizki:
Iya segitu, siapa tahu pengin lebih. Eh, tapi nggak usah. Bukan saya pelit, tapi nggak ada untuk lebih. Intinya, mahar itu tidak terlalu penting, semampuannya saja. Sayidina Ali hanya punya baju zirah, maka itu dijadikan mahar. Rasulullah punya harta banyak yang dinikahinya juga wanita terpandang. Jadi, pantas saja memberikan mahar yang waw.
Rizki menceritakan Sayidina Ali dan Rasulullah sebagai contoh. Tapi, aku merasa ada yang menggajal di sini dan ingin kembali bertanya padanya lewat pesan singkat.
Resty:
Lalu, apa Fathimah bukan wanita terpandang?
Rizki:
Saya sengaja meninggalkan celah untuk bertanya di sini. Sayidina Ali juga lelaki yang terpandang, tapi sangat miskin harta. Ia lebih memilih ilmu. Cukup sayidina Ali dan cintanya yang membuat Fatimah menerima pinangannya. Ketika sudah menikah, sayidina Ali berkata kepada istrinya, 'Apa sebelum menikah kamu pernah jatuh cinta?'. Lalu Fatimah dengan malu menjawab, 'Aku pernah jatuh cinta kepada seorang lelaki, dulu sebelum menikah'. Ali berkata, 'Siapakah dia?'. Fatimah menjawab, 'Pemuda itu adalah kamu.'
Rizki yang menjelaskan sedikit bagaimana kisah sayidina Ali dan Fatimah. Malam itu aku tersenyum sendirian membaca cerita yang telah Rizki kirimkan padaku.
'Astagfirullah, semoga senyum sendirianku ini tidak menyebabkan zina hati, ya Allah,' batinku.
Seromantis itukah mereka berdua? Sungguh, aku sangat mengidolakan Fatimah Az-Zahra, sedari dulu hingga sekarang. Tapi, aku tidak mampu setawadu beliau. Aku hanya akhwat daif yang tak mempunyai apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Insyaallah Berkah Selamanya - TELAH TERBIT
Fiction généraleBanyak orang yang bertanya, "Bagaimana kisah pertemuan Resty dan suaminya di novel Cadarku BUKAN Teroris?" Novel ini jawaban dari segala pertanyaan teman-teman tentang. "Mengapa Resty bisa dinikahi pemuda istimewa itu?" Teman-teman sudah sering mend...