Satu

7K 365 16
                                    

Ini kisahnya. Kisah tentang seorang yang menahan luka. Menahan rasa sakit. Hingga mungkin dia tidak sanggup lagi.

Kisahnya dimulai.

***

Semilir angin di rooftop membuat seorang remaja laki-laki dengan santai memejamkan matanya di sebuah sofa yang sudah rusak.

Bel masuk sudah berbunyi dari dua puluh menit yang lalu. Namun, remaja itu masih bertahan dengan posisinya.

"Satya!!! Di sini kamu rupanya! Capek Bapak cari kamu kemana-mana dan ternyata kamu di sini!" teriak seorang guru.

"Gak usah teriak juga kali Pak. Saya gak budek," jawab Satya santai.

Yah remaja yang ada di rooftop adalah Satya. Satya Reynan Wijaya. Seorang pria yang suka membuat guru geleng-geleng kepala. Membuat guru tidak heran dengan sikapnya yang nakal.

"Kamu ya udah salah bukannya minta maaf. Sekarang kamu lari keliling lapangan dua puluh kali, sekarang!" sentak Yahya--guru yang menegur Satya.

"Iya Pak iya," jawab Satya santai lalu meninggalkan Pak Yahya.

Dia akan menjalankan hukumannya. Bagi Satya, dihukum adalah hal yang paling dia sukai. Mungkin mendapat hukuman adalah kesenangan tersendiri baginya.

Satya menjalankan hukumannya dengan santai. Sampai matanya tidak sengaja melihat saudara kembarnya keluar dari kelas menuju lapangan dengan seragam olahraga. Sungguh, Satya sayang dengan saudara kembarnya. Tetapi kasih sayang yang berlebihan pada Wara membuat Satya iri.

Dia terkadang ingin menahan semua rasa irinya. Namun dia tidak bisa. Bukankah dia juga seorang anak yang membutuhkan kasih sayang? Dia memang seorang kakak. Tapi tidak bisakah bagi sedikit saja kasih sayang untuknya? Hanya sedikit, dia sudah bahagia.

Wara mulai men-dribel bola. Memang saat ini jadwal kelas Wara adalah olahraga. Satya selalu melarang Wara ketika bermain basket. Namun Wara tidak menuruti dan berakhir Wara akan sakit. Dan akhirnya Satya akan diintrogasi oleh kedua orang tuanya kenapa Wara bisa sakit. Oh sungguh dunianya tidak adil.

"Wara!" panggil Satya lalu melangkah ke tempat adiknya.

"Apaan sih lo. Biasa aja kali manggilnya," ucap Wara santai.

"Lo jangan main basket dong. Nanti kalau lo sakit, gue yang disalahin Ayah dan Bunda. Lo senang ya lihat gue dimarahin?" ucap Satya kesal.

"Suka-suka gue lah. Yang main basket juga gue. Yang sakit gue, kok lo pula yang repot. Mending sana lo masuk kelas, daripada nanti kena hukum lagi yakan. Buat malu orang tua aja lo!" sarkas Wara berlalu dari hadapan Satya.

Kapan kita bisa seperti saudara yang sebenarnya? tanya Satya dalam hati.

Satya lalu meninggalkan lapangan menuju kelasnya. Entahlah dia bingung harus ke mana saat ini. Dia lagi malas jika harus dihukum lagi.

"Satya," panggil seseorang membuatnya menoleh.

"Kenapa?" tanya Satya pada seorang cewek yang merupakan teman sekelas Wara.

"Gue tadi lihat Wara marah-marah sama lo. Gue tahu lo pasti sedih. Lo yang sabar ya, gue yakin kok nanti Wara juga akan baik sama lo," jawab Gadis itu.

"Lo siapa sih. Tiba-tiba bicara kaya gini sama gue? Emangnya gue kenal sama lo?" tanya Satya asal.

Dan iya, Satya memang tidak ramah. Dia hanya akan baik pada sahabat-sahabatnya.

"Oh maaf. Gue Dhifa kalau lo gak kenal. Maaf udah ganggu ketenangan lo. Gue cuma mau kasih masukan aja sih. Yaudah gue permisi," kata Dhifa cuek lalu meninggalkan Satya yang terdiam.

Entahlah perasaannya tidak enak ketika melihat wajah Dhifa tadi.

Satya berusaha tidak memikirkannya lalu kembali melangkah ke kelasnya.

***

Update nih.

Aku seneng banget baru nulis cerita udah ada yang komen suka. Jadi semangat deh nulis lanjutannya.

VOTE N COMMENT

Difference ✔ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang