Enam

4.2K 293 8
                                    

Sakit rasanya jika aku harus sendiri. Aku mengharapkan mereka untuk datang menemuiku. Tetapi apa? Aku tetap sendiri.

***

"Makan dulu ya Sat, dari tadi kamu belum makan," bujuk Dhifa.

"Mulut gue pahit Dhif," balas Satya.

"Iya gue tahu. Tapi tolonglah jangan kaya gini, biar lo cepat sembuh," kata Dhifa.

Sakit atau enggak pun gue tetap diperlakukan sama, sama mereka, batin Satya.

"Ayolah Sat, sedikit aja, yang penting perut kamu terisi," ucap Dhifa lagi.

"Iyaudah, tapi sikit aja," ucap Satya.

Dengan cepat Dhifa langsung menyuapi Satya dengan telaten.

Kemarin malam, setelah mengantar baju, ayah Satya langsung pulang karena permintaan Wara. Sementara Dhifa datang dari pagi hari karena ingin menjenguk Satya.

Ini hari minggu, jadi Dhifa bisa menjenguk Satya dari pagi hari.

"Orang tua lo mana?" tanya Dhifa saat Satya sudah meminum obatnya.

"Gak tahu gue, mungkin gak peduli lagi," jawab Satya.

"Jangan gitu dong Sat, mungkin orang tua lo lagi ada urusan," kata Dhifa.

"Iya, mungkin ada urusan, tapi gue anaknya. Apa salahnya sih ke sini jagain gue. Gak ada gunanya gue di sini, sama aja gak bisa narik perhatian mereka," kata Satya.

"Gue tahu lo orang yang kuat. Dan gue mohon lo harus tetap jadi Satya yang kuat. Gue mau kok jadi tempat curhat ataupun pelampiasan kemarahan lo," kata Dhifa.

Satya menatap Dhifa lama. Sampai akhirnya dia yang sedang duduk menyandar menangis.

Dhifa yang melihat Satya menangis, langsung memeluk Satya.

"Keluarin aja Sat. Keluarin semua yang lo rasa kalau emang itu buat semuanya berkurang," kata Dhifa memeluk Satya sambil mengelus punggung Satya.

"Gue iri Dhif, gue iri! Gue juga mau kaya Wara. Dari kecil selalu dia yang di sayang sama bunda dan ayah. Gue ini anak mereka juga, butuh kasih sayang juga, tapi kenapa sikap mereka beda sama gue Dhif? Kenapa?

"Gue mau berusaha di posisi Wara. Gue rela kadang gak makan berhari-hari biar gue sakit. Tapi bunda sama ayah kaya anggap sakit gue biasa.

"Gue tahu Wara punya sakit jantung. Tapi gak seharusnya mereka belain gue sama dia Dhif. Gue selalu nahan sabar selama ini karena gue juga sayang sama mereka. Gue gak bisa marah sama mereka. Kemarahan gue cuma dilampiaskan di sekolah," ujar Satya.

"Keluari semua. Gue siap mendengarkan. Mungkin ini udah yang terbaik. Gue tahu ini sulit buat lo. Tapi gue yakin akan ada kebahagiaan setelah masalah lo ini," ucap Dhifa menenangkan.

Tangisan Satya mereda. Dia sudah kehabisan tenaga untuk menangis. Dhifa yang merasakan tubuh Satya melemas langsung melepaskan pelukannya.

"Yaampun muka lo pucat kali Sat. Yaudah lo istirahat aja ya biar tenaga lo balik lagi," kata Dhifa membantu Satya untuk berbaring.

"Lo di sini aja," kata Satya pelan sambil menggenggam tangan Dhifa.

"Iya, gue di sini," balas Dhifa.

Setelah itu Satya tidur. Dia mengistirahatkan tubuhnya yang lemas.

Sungguh, Dhifa merasa sedih ketika mendengar cerita Satya. Dia tidak tahu jika hidup Satya lebih berantakan. Dhifa merasa bersalah ketika dia berkata ketus saat itu. Mungkin Satya melampiaskan semua masalahnya dengan menjadi nakal dan cuek.

***
Nih aku paksain update karena gurunya belum datang wkwk. Di saat yang lain belajar, akunya ngetik dong.

VOTE N COMMENT

Difference ✔ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang