(3)

7 3 1
                                    

Sepulang dari sekolah Alwiah menghabiskan waktunya berdiam diri didalam kamar miliknya, dia duduk menghadap kearah cermin besar yang ada dihadapannya.

Dia sibuk berfikir bagaimana nanti jika Saga tahu semuanya apa dia masih akan terus mengejarnya, harusnya dari awal dia berterus terang karena sejatinya saat Saga mengindarinya itu adalah keinginannya sejak lama.

Dia menghembuskan nafasnya dengan keras memilih bangkit dan pergi keluar dari kamar menuju keruangan seseorang.

Dia mengetuk pintu saat mendengar sahutan yang menyuruhnya masuk dia memutar knop pintu dengan pelan dan masuk, matanya jelas menangkap seseorang yang tampak gagah dengan kacamatan yang menghiasi wajahnya,laptop yang menyala didepan pria itu tampak lebih mencuri perhatiannya dibanding anaknya yang saat ini sudah berdiri tepat didepan meja kerjanya.

"Yah"Dia memanggil.

Pria itu mendongak "Kenapa Al?"Tanyanya.

"Alwiah pengen ngomong"

"Jika masih menyangkut penolakanmu,maka pergi itu sama sekali tidak akan merubah keinginan Ayah"Katanya memahami maksud sang anak.

"Tapi yah..."

"Pikirkan baik-baik Ayah merawatmu dari kecil apa itu sebanding dengan penolakanmu yang begitu terang-terangan?"Potongnya yang terdengar begitu menyakitkan.

"Alwiah nggak suka cara Ayah"

"Tidak ada cara lain, kau begitu keras kepala, temui dia lalu kau bisa dengan leluasa menilai, Ayah tidak mungkin memberikanmu sesuatu yang tidak layak saat masih banyak yang layak"Katanya panjang lebar.

"Aku mengenalnya dengan baik"Jujur gadis itu.

"Bagus, jadi tidak ada alasan untukmu menolak, sekarang keluar dan jangan mengadu pada ibumu dia sama sekali tidak bisa ikut membantumu"Katanya lalu kembali fokus pada leptop miliknya.

Alwiah keluar dia sibuk menyeka air matanya,Ayahnya terlalu egois dia sama sekali tidak ingin mendengar.

Gadis itu menatap kearah tangga saat dia baru saja menutup pintu ruang kerja sang Ayah, disana Ibunya tampak menatap dengan pandangan kasihan, ibu mana yang rela melihat anaknya menangis.

Alwiah semakin terisak saat melihat ibunya menggeleng bertanda bahwa dia sama sekali tidak bisa membantu.

Gadis itu rasa semua orang meninggalkannya tidak ada satupun dari mereka yang mau mendengarnya, dari setiap penolakan yang dia lakukan tidak ada satupun yang berhasil membuat sang Ayah luluh.

****

Dilain sisi seseorang masih setia memandangi layar ponselnya yang menghitam tidak ada tanda-tanda sebuah pesan akan masuk, dia masih terus menaruh harapan jika saja gadis itu akan mengirim pesan padanya jika dia bersedia ikut.

Saga mendengus selama apa dia menunggu pesan yang dia nanti tidak juga masuk, dia melangkah kedalam rumah memilih menaiki tangga dan masuk kekamar miliknya, dia melempar jaket yang sedari tadi membungkus tubuhnya lalu menjatuhkan badannya ketempat tidur.

Dia hanya berusaha yakin jika saja gadis itu sedang sibuk, tapi apa tidak bisa mengabarinya untuk sekedar memberitahu jika dia tidak bisa, atau jika dia sedang sibuk.


Dia memilih memutar musik dari ponselnya,berusaha agar segera terlelap dan melupakan segalanya.

"Andai lo tahu Al, gue nunggu"Lirih cowok itu.

Pengecut ini benar-benar jatuh pada pesona seseorang yang bahkan tidak bisa sadar akan rasa yang sejak lama menunggu, ada berapa luka yang dia terima, harusnya dari awal dia bisa bermasa bodoh dan tidak memilih mencintai gadis itu.

Saga mengerang frustasi dia tidak bisa tidur pikirannya mengangkasa tentang bagaimana ucapan Raka yang terus menghantuinya dan tentang gadis itu yang sama sekali tidak menghubunginya.

Saat matahari telah tenggelampun dia tidak juga memberi kepastian, Saga memilih keluar dari kamar,menuruni tangga dan pergi keluar rumah tujuannya hanya satu rumah disebrang jalan.

Saga masuk tanpa mengetuk dia bisa melihat Vano yang sedang makan sambil menonton diruang tengah, tidak mau ambil pusing cowok itu dengan santai menaiki tangga dan masuk kekamar milik Vano.

Vano yang melihat itu hanya mengangkat bahunya acuh, Saga sudah biasa melakukan itu.

Saga duduk dibalkon kamar memangku sebuah gitar yang dulunya mereka beli berdua dari hasil menabung, Mama Saga sangat melarang Saga membawa gitar pulang kerumah karena menurutnya Saga tidak bisa bermain gitar dan nada yang akan muncul hanya akan memekikkan telinga, itu kenapa gitar itu tetap berada dibalkon kamar Vano.

Vano mendekat duduk dikursi dan memandangi wajah Saga yang tampak lusuh.

"Jangan natap gue kayak gitu, gue masih normal"Celetuk Saga.

"Lo kenapa sih Ga?"Vano memilih bertanya dan mengabaikan ucapan Saga.

"Lo liatnya gimana?"Saga balik bertanya.

"Lo ancur"

"Iya gue ancur"

"Kenapa sih?"

"Menurut lo apa nggak seharusnya gue nyerah aja?"

"Nyerah?"Vano kurang paham.

"Alwiah"Hanya kata itu dan Vano sudah mengangguk mengerti.

"Gue nggak bisa ngasih masukan, yang lo rasain gimana?"Vano hanya takut jika dia memberi masukan dan Saga salah mengartikan, dia bisa saja berfikir jika Vano masih menginginkan gadis itu.

"Gue nggak kuat, ini udah terlalu lama dan respon dia masih sama"Keluhnya.

"Jalanin aja dulu"Vano berusaha memberi pencerahan. Ah, apa itu bisa dikatakan pencerahan, lebih tepatnya Vano hanya tidak tahu harus berkata apa.

Saga baru saja akan membelas namun di urunkan saat Azan berbunyi,dia bangkit.

"Gue Shalat dulu"Katanya.

Vano mendengus Saga sangat senang membuatnya kesal, Vano yang notabelnya jarang Shalat sering kali merasa tersinggung saat Saga malah rajin Shalat saat berada di rumah seorang Revano.

Saga memandangi punggu Vano yang menghilang saat dia baru saja keluar dari kamar mandi, ada senyum geli yang tercetak dibibir cowok itu, dia tentu bisa menebak jika Vano kesal padanya.

Dia melangkah membuka sebuah lemari yang sengaja diletakkan dipemilik kamar dibagian pojok, mengambil sajadah dan peci lalu masuk kesebuah ruangan. Ruangan yang memang di khususkan untuk Shalat.

Saga memandangi sekeliling entah kapan dia terakhir masuk keruangan ini,Saga berdecak saat dia sedang susah dia baru mengingat sang pencipta kemana perginya dia saat beberapa hari terakhir atau mungkin beberapa bulan terakhir.

Tidak ada bedanya dengan Saga Vano juga seperti itu sejak Bundanya meninggal Vano jarang memasuki ruangan itu untuk sekedar bercerita kepada sang pencipta, Vano akan sangat tersiksa karena sang Bunda yang mengusulkan agar ruangan itu dibuat khusus untuknya, dia hanya tidak ingin teringat itu saja.

Saga mengangkat tangannya berusaha bercerita pada sang pencipta,bagaimana dia yang lelah, bagaimana jalannya yang terasa kabur, dia bercerita segalanya.

Dia keluar dari ruangan memilih tetap berada dibalkon kamar yang pemiliknya entah sedang dimana, Saga melihat kearah bawah,dia berdecak saat melihat motor yang tadinya terparkir dibawah kini hilang entah kemana.

Saga mamandang kearah langit,dia harus bisa tegas pada perasaanya sendiri, dia merongoh ponselnya membuka room chat dengan seseorang.

Saga:Bagi nomer Cintia dong!

Sent!

............

Next?
Tebak-tebak akan kayak gimana.

Jangan lupa vota, dan nggak usah vote kalau nggak baca, cuman sekedar vote demi ngehargain saya, itu basi menurut saya!

See you!

Orinary Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang