☄Sebuah Permulaan di Angkot Tua

20 5 2
                                    

Aroma nasi goreng menguar ketika Tara turun dan duduk di meja makan. menyendok secukupnya dengan satu telur mata sapi yang terlihat lezat dan mulai makan dalam diam.

Dihadapannya sang mama sudah rapi dan sibuk dengan ponselnya, bukan hal yang mengejutkan bagi Tara suasana seperti ini sudah rutin terjadi sejak dua tahun lalu saat ayahnya meninggal dalam kecelakaan yang membuat mamanya harus bekerja dan sibuk dengan semua kegiatannya.

Tara tidak protes karena sadar semua yang dilakukan mamanya adalah untuk kelangsungan hidup mereka berdua, walaupun terkadang dia rindu dengan usapan yang dilakukan mamanya saat dia akan tidur, ucapan manis saat dia pulang sekolah, ataupun menemaninya belajar di kamarnya, tapi sejak kejadian itu semuanya berubah, yang ada kini adalah atmosfer dingin yang melingkupi udara rumah itu.

Suasana masih tenang, Tara dengan sarapannya dan mama dengan ponselnya yang sesekali melirik Tara

“Maaf kemarin mama pulang malam, kamu pasti takut semalam hujan petir dan kamu sendirian.”

Tara mengangkat wajah, menatap wajah sang mama yang ternyata kini sudah semakin berumur, garis keriput mulai kelihatan di wajah cantik itu

“Nggak apa-apa, lagian aku bukan anak kecil lagi.” sepintas Tara melihat ekspresi kecewa di raut wajah mamanya itu, membuatnya langsung menyelesaikan sarapannya, mengambil tas dan beranjak untuk berangkat sekolah setelah mencium tangan mamanya, bagaimanapun Tara tetap menghormati sang mama.

“Aku berangkat sekolah dulu.”

“Biar mama antar.” Sang mama beranjak dari duduknya dan mengambil tas

Tara menoleh “Nggak usah, nanti mama telat ke kantornya, aku naik angkot aja kayak biasanya.”

Usai mengucapkan itu Tara langsung keluar dan pergi ke sekolah diiringi perasaan bersalah mamanya. Untuk naik angkot Tara harus berjalan dulu sampai jalan raya, jarak dari rumahnya ke jalan pun tidak terlalu jauh hanya butuh waktu lima menit jalan kaki.

Sesampainya di tepi jalan Tara harus menunggu dengan pengguna angkot lain.

“Hai.”

Tara menoleh dan terkejut setelahnya mengetahui seseorang yang tadi menyapanya dan kini berdiri di sampingnya.

“Elang?” Tara menahan dirinya agar tidak menjerit senang, pertama karena seorang Elang menyapanya terlebih dulu dengan menampilkan senyum terlebar yang pernah Tara lihat selama ini walaupun mereka satu kelas, oke mungkin itu terdengar lebay tapi memang kenyataannya seperti itu, kedua karena kini Elang berdiri tepat disampingnya.

“Lo nunggu angkot?” Tara bertanya berusaha senormal mungkin, mungkin jika saat ini Erik melihatnya mungkin dia akan langsung mencibir Tara setengah mati.

Elang menoleh “Iya.” jawabnya singkat

“Gue gak pernah lihat lo naik angkot sebelumnya.”

“Karena gue emang gak pernah naik angkot.”

“Terus sekarang lo kok naik angkot, mana motor lo?” tanya Tara

“Dari kemarin sore gak mau nyala, terus gue bawa ke bengkel.” Elang berkata sembari menatap Tara

“Kalo lo tiap hari naik angkot?”

“Gak setiap hari juga sih, kadang gue naik ojek online.”

Tara berkata sambil menoleh melihat angkot yang mulai terlihat.

“Ra, lo gak naik?” Elang menoleh pada Tara yang masih berdiri di tempatnya sedangkan dia sudah naik dan angkot hampir penuh. Tara mengerjap kemudian langsung mengangguk dan segera naik sebelum angkot itu penuh.

That Should be MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang