Bab 6

6.4K 503 1
                                    

Aku terkejut melihat Nadine memasuki ruangan bersama Tasya, wajahnya begitu polos, sederhana dan membuat hatiku nyaman. Disaat wanita-wanita disini berlomba untuk berdandan habis-habisan, Nadine tampil apa adanya. Kecantikannya tak bisa ditutupi oleh apapun juga, bahkan kacamatanya tidak bisa mengurangi kecantikannya. Dia malah terlihat anggun dan berwibawa. Saat matanya menatapku, awalnya aku melihat kekaguman tapi tiba-tiba raut mukanya menjadi dingin seolah membenciku serta jijik melihat diriku. Aku yang tadinya mau menjaga jarak dengannya terlalu marah dengan tatapannya itu, bahkan saat dia membuang muka dari ku, emosiku memuncak. Seumur hidup belum pernah aku diperlakukan seperti itu oleh seorang wanita. Semua wanita yang aku temui pasti bertekuk lutut. Merasa terhina dengan sikapnya, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa malam ini Nadine harus menjadi milikku. Tapi pertama-tama aku harus memisahkan dia dari sahabatnya itu.

Tiba-tiba Aldi muncul di depanku. Meski badannya ga bagus-bagus amat, tapi wajahnya lumayan tampan. Aku memanggilnya, "Aldi, mau duit ga?". Aku yang tahu karakter Aldi tahu betul bahwa matanya langsung berubah jadi hijau kalau melihat duit. Dia berhenti dan tersenyum padaku, "apa yang harus aku lakukan?". Dia langsung mengerti apa yang aku maksud. "Kamu ajak Tasya berdansa dan pisahkan dia dari wanita di sampingnya. Bawa pergi jauh-jauh dari wanita itu, itu bonus buat kamu kalau kamu bisa mengambil hatinya malam ini." Pikiran jahatku mulai berjalan. "Itu orangnya yang lagi makan dekat tiang bunga," aku menunjuk tanganku ke arah Tasya. "Lumayan cantik juga, Ok deal...." Kata Aldi menyetujui. Aku menyerahkan uang padanya dan dengan secepat kilat Aldi sudah menggandeng Tasya.

Aku menunggu Nadine agak lama, mengamati wajahnya yang mulai bingung, karena sahabatnya pergi entah kemana. Aku ingin berlama-lama menikmati kecantikannya jadi aku hanya berdiri disini dan terus menatapnya, Aku yakin Nadine tak menyadarinya karena dia terlalu sibuk dengan makanannya. Kasihan dia, apa di rumah ga ada makanan seperti itu. Bagaimana sebenarnya keluarga dia? Apakah dia anak orang miskin yang pintar sehingga mendapat beasiswa? Jika dia mau jadi pacarku, aku akan mengajaknya makan apa saja yang dia mau.

Kalau aku terus disini, bisa-bisa ada pria lain yang akan mendekatinya. Dengan langkah cepat aku menghampirinya. Dengan sopan aku menawarkan minuman kepadanya, tapi cara dia menolak minumanku serta raut muka yang begitu dingin membuat emosi yang aku tahan kembali menyala. Tanpa aku sadar aku mengatakan sesuatu yang mungkin melukai harga dirinya. "Sial... aku memang tidak bisa memperlakukan wanita dengan baik," kutukku dalam hati. Tapi saat Nadine tiba-tiba pergi padahal kita masih mengobrol, harga diriku serasa diinjak-injak. Apa istimewanya gadis ini, sehingga aku harus menghargainya. Dia tak menghargaiku, akupun tak akan pernah menghargainya. Awas saja kau, malam ini kamu akan berlutut memohon agar aku menjadikan kamu pacarku.

Awalnya aku menarik tangannya agar dia tidak pergi dariku, tapi tak kusangka tarikanku yang kuat membuat tubuhnya menabrak tubuhku. Akupun tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan langsung memeluknya. Tubuh Nadine langsung bereaksi terhadap tubuhku, aku merasakan payudaranya mengeras dan tubuhnya menegang. Aku sengaja memasukkan kakiku di sela kakinya agar dia merasa tersiksa. Karena Nadine telah menolak minuman yang aku tawarkan dengan tidak sopan, maka aku akan menghukumnya dengan menyuruhnya meminum 2 gelas. Tapi Nadine malah menatapku dengan jijik, tatapannya membuat naik darahku. Aku tak pernah berfikir akan menciumnya, tapi disinilah aku sekarang, melumat bibir manisnya. Merasakan nafas segarnya dan erangnya yang tertahan di mulutnya. Aku tahu Nadine menyukai ciumanku seolah-olah tubuhnya tidak mau diatur oleh pikirannya sendiri. Ia menikmati setiap sentuhanku, tetapi karena pelukanku begitu erat, takut Nadine akan mencoba kabur lagi, membuat Nadine kehabisan nafas dan terbatuk. Akhirnya aku melepaskan ciumanku. Aku menakutinya dengan mengatakan akan menciumnya lebih ganas lagi jika tak meminum minuman yang aku tawarkan. Sepertinya Nadine mulai takut dengan ancamanku. Dan sekarang aku tahu kelemahannya yaitu ciuman mautku.

Tiba-tiba dia merebut minuman itu dan menenggak langsung. Melihatnya minum, membuatku takut dia akan tersedak, aku benar-benar terkejut saat dia menghabiskannya tanpa bernafas sedikitpun. Kadar alkohol di minuman itu terlalu tinggi. Dengan lembut aku melepaskan pelukanku, tetapi belum sempat aku merenggangkan jarak, tubuh Nadine telah jatuh tepat sebelum menyentuh lantai, tanganku telah menopang tubuhnya.

_____________________________________
(Penasaran dengan novel Dera yang lain? baca juga di Novelme, Fizzo dan NovelAku ketik Dera Tresna di pencarian. Untuk Novel cetak bisa di order di Shopee dengan link shopee.co.id/dera.tresna Follow juga IG Dera @dera.tresna dan @deratresna.books)

Belahan Jiwa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang