Bab 9

6K 531 1
                                    

Sudah satu bulan lebih semenjak kejadian itu, aku lebih suka mengurung diriku di kamar. Papa dan Mama mulai khawatir dan menanyakan apa yang terjadi. Mereka tahu, pasti ada sesuatu yang terjadi pada diriku di malam pesta perpisahan itu, karena aku tidak pulang malam itu. Tapi Papa dan Mama bersikap biasa, menunggu aku siap menceritakannya. Aku mulai khawatir dengan siklus bulananku, harusnya seminggu yang lalu aku sudah menstruasi. Tenang Nadine, mungkin karena kamu stress, batinku menenangkan. Tapi setelah satu minggu berlalu dan aku belum menstruasi juga aku jadi benar-benar khawatir.

Kuberanikan diri membeli test pack di apotek, aku berlari ke rumah dengan tak sabar. Aku ke kamar mandi dan mengeceknya. Seperti petir di siang bolong saat aku melihat hasilnya. Aku melihat ada dua garis merah yang menandakan aku positif hamil. Bajingan kau Kevin, kau menanam benih di rahimku. Aku mencengkeram wastafel saking marahnya. Tubuhku langsung lemas, aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa hidupku sudah berakhir, tanpa masa depan, tanpa tujuan. Inilah waktunya aku menceritakan semuanya pada Papa dan Mama.

Saat makan malam aku turun untuk makan bersama Papa dan Mama, nafsu makanku berkurang drastis. Aku tahu itu dan berat badanku juga berkurang drastis. Kami makan dengan suasana sunyi, padahal biasanya kita selalu makan dengan penuh tawa. Setelah selesai, Papa bertanya dengan hati-hati,"apakah ada yang ingin kamu bicarakan Nadine?". Dengan tangan gemetar aku mengeluarkan test pack dari kantong celanaku dan menaruhnya di meja. Papa dan Mama melihatnya dan sontak terkejut. Wajah Papa langsung merah sedangkan Mama langsung berdiri dari tempat duduknya, ngitari meja untuk memelukku. Dengan nada tertahan karena menahan marah Papaku bertanya, "Jelaskan apa yang terjadi Nadine". Air mataku mulai menyeruak keluar, mengaburkan pandanganku dan mulai menceritan apa yang terjadi di malam pesta perpisahan itu. Saking marahnya Papa menggebrak meja, "itu namanya pemerkosaan Nadine, kenapa kamu tidak cerita ke kita dari awal?" teriak Papaku. "Dimana pria itu tinggal?," lanjut Papa. "Nadine ga tahu Papa, Nadine terlalu fokus untuk menghindarinya jadi Nadine ga pernah mencari tahu seluk beluknya. Tapi banyak teman-teman Nadine yang bilang kalau dia kaya raya. "Memang kalau pria itu kaya raya, dia bisa seenaknya saja memperlakukan wanita. Lagian apakah dia lebih kaya dari kita, orang jaman sekarang baru dapat uang beberapa juta saja sudah berlaku seenaknya," Papaku marah-marah. Aku semakin terisak melihat raut muka Papa, sepertinya Papa menua dalam beberapa detik. "Maafin Nadine Pa, Nadine sudah kecewain Papa. Nadine ga bisa jaga diri," isakku disela tangis. Papa langsung memelukku dan berkata, "Papa yang harusnya minta maaf ke kamu, tidak bisa menjaga putri Papa satu-satunya. Kamu jadi harus merasakan semua ini dan menderita sendirian selama sebulan penuh, maafin Papa." Akhirnya kami habiskan sisa malam itu dengan menangis bersama.

Malam itu Mama menemaniku tidur, katanya kangen tidur bersama aku. Aku tahu Mama ingin menghiburku itulah alasan dia tidur bersamaku. Bebanku terasa sedikit terangkat setelah bercerita kepada Papa dan Mama, dan aku tertidur pulas dalam dekapan Mama.

Paginya aku memohon kepada orang tuaku untuk tinggal di rumah terpisah. Aku tidak mau membebani Mama dan Papa dengan keadaanku sekarang. Awalnya mereka tidak memperbolehkan apalagi dengan keadaanku sekarang ini. Tetapi dengan alasan ingin mandiri dan beberapa alasan lain, akhirnya mereka mengijinkanku tinggal di rumah terpisah dengan catatan aku harus di temani Mbok Iyem yaitu pembantu kepercayaan Mama yang sudah bekerja lama di rumah orang tuaku. Papa dan Mama takut kalau aku nanti ada apa-apa, tapi aku meyakinkan mereka kalau aku tidak akan pernah melakukan hal bodoh yang bisa membahayakan diriku dan bayi yang aku kandung. Meski semua ini berawal dari sebuah kesalahan tapi bayi yang aku kandung tidak bersalah dia adalah anakku terlepas siapa Papanya.

Memasuki Triwulan pertama masa kehamilanku, aku sering muntah. Apa yang masuk ke mulut, tak berapa lama akan aku keluarkan lagi. Berat badanku menurun drastis, akhirnya dokter memberiku beberapa vitamin dan asupan gizi. Dokter bilang, aku harus tetap makan untuk menjaga kesehatan bayiku. Entah kenapa aku begitu sayang dengan bayi ini, dia bagaikan malaikat kecil yang membuatku kuat menghadapi ini semua. Mungkin karena rasa keibuanku mulai tumbuh jadi aku mulai sensitive terhadap kesehatan si bayi.

Ditengah malam sering kali aku terbangun. Kadang terbangun dengan mimpi indah karena bermimpi Kevin sedang mengelus dan mencium perutku tetapi lebih sering bermimpi buruk yaitu melihat Kevin mentertawakanku dan meninggalkanku sendiri dengan memeluk mesra seorang wanita cantik. Dan ketika terbangun, aku mendapati diriku selalu menangis sendiri di atas tempat tidur. Andai Mama ada disini dan memelukku, tapi aku tak mau membebani mereka dengan masalahku.

Perutku semakin lama semakin besar, kadang aku merasa ada yang menendang-nendang di perutku. Hal ini membuat aku semakin melupakan kesedihanku. Ada malaikat kecil yang sedang tumbuh dirahimku, aku akan melindunginya dari siapapun juga yang ingin menyakitinya. Aku akan memberikan yang terbaik untuk anakku.

Sampai pada suatu malam, perutku mulas sekali. Aku berteriak memanggil-manggil Mbok Iyem, Mbok Iyem yang selalu siaga menjagaku langsung masuk ke kamar. Air ketubanku sepertinya sudah pecah, baju dan kasurku sudah basah semua. Mbok Iyem yang sudah banyak pengalaman tidak panik melihat keadaanku, dia langsung memanggil ambulan. Tak berapa lama aku sudah di ruang bersalin, rasanya badanku sakit semua. Aku terus menangis, Mama dan Papa sudah ada di sampingku. "Tenang sayang, semua baik-baik saja," bisik Mama sambil mengelus kepalaku lembut. Aku merasakan sakit yang luar biasa, keringatku keluar begitu banyak, pandanganku mulai kabur, Papa dan Mama serasa menjauh. Samar-samar aku mendengar suster berkata, "Jangan sampai pasien kehilangan kesadaran."

~~~~~~~~~~~~~

Di tempat lain, Kevin sedang berkutat dengan buku bisnisnya. Nilainya jauh berbeda dengan nilai yang dia peroleh waktu di kampusnya dulu. Setiap waktu yang ada dia isi dengan belajar. Dan anehnya semenjak pesta perpisahan itu, Kevin tak pernah terlihat pergi dengan wanita manapun. Di sini, dia merasa sendirian tidak ada keluarga yang menemani, rasa rindunya terhadap Nadine membuat Kevin ingin menyelesaikan sekolahnya secepatnya. Entah kenapa tiba-tiba perasaan Kevin tidak enak, jantungnya berdetak kencang dan terlintas bayangan Nadine sedang menangis. Kevin mondar-mandir di ruangannya, bingung mau melakukan apa. Bagaimana kabar Nadine? Sekarang dia sedang melakukan apa? Hati Kevin semakin tidak karuan. Dia hanya bisa berdoa agar Nadine baik-baik saja. Tunggu aku Nadine, aku akan datang kepadamu sebagai seorang pria dewasa, bukan sebagai pria brengsek yang kamu kenal dulu.


_____________________________________

(Penasaran dengan novel Dera yang lain? baca juga di Novelme, Fizzo dan NovelAku ketik Dera Tresna di pencarian. Untuk Novel cetak bisa di order di Shopee dengan link shopee.co.id/dera.tresna Follow juga IG Dera @dera.tresna dan @deratresna.books)

Belahan Jiwa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang