Chapter 8

86 5 0
                                    

Sudah satu bulan Nail menjalankan permintaan April. Kini, dia semakin dekat dengan Marsha. Hampir setiap minggu, dia datang ke rumah Marsha untuk curhat tentang hubungannya dengan April, dan sekali-kali mereka suka jalan bersama.

Di saat Nail mendekati Marsha, April tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia selalu mengajak El untuk menemaninya berkeliling Bandung, tapi setiap hari Nail tidak pernah lupa dengan tugasnya untuk mengantar-jemput April di kampusnya. Hanya itulah yang bisa Nail lakukan agar bisa selalu berdekatan dengan April.

Sore ini, kampus sudah sepi. Mahasiswa sudah pulang, hanya beberapa saja yang masih diam di kampus hanya untuk mengerjakan tugas atau sekedar ngobrol di kafetaria.

April mencari El ke Fakultas Teknik, tapi tak dia temukan, lalu dia mencari ke perpustakaan, El tidak ada, kemudian dia mencari El ke kantin dan mushola, tetap tak dia temukan El di sana. Saat dia akan berbalik pulang, dia melihat El dan Marsha sedang duduk di taman kampus yang sepi. April berjalan ke arah mereka yang sedang bercanda. Saat hanya lima langkah jarak antara dirinya dan mereka, dia melihat El mencium kening Marsha. Dapat April lihat ada cinta yang begitu besar dari El pada Marsha. Jantung April berdetak cepat, matanya perih, dadanya panas, dan hatinya terasa sakit. Dia membalikkan badannya dan berlari. Dia tidak tahan melihat itu semua.

"Nail, tolong jemput gue sekarang juga," lirih April di telepon.

"Lo kenapa nangis Pril?" Nail cemas karena April terdengar menangis saat meneleponnya.

"Jemput gue sekarang!" Telepon pun terputus.

Beberapa menit kemudian, Nail sudah sampai di pelataran parkir kampus April. Dia mengedarkan pandangannya mencari gadis itu. Setelah menemukan April yang sedang memeluk lututnya di bangku panjang di bawah pohon, Nail mengambil payung di kursi belakang mobil, lalu turun.

"Lo kenapa Pril?"

April mendongak, matanya sembab dengan air mata yang berlinang, dan tanpa Nail sangka, April langsung menghambur ke pelukkannya, menangis di dada bidang Nail. Lelaki itu sempat terpaku untuk beberapa saat sebelum dia membalas pelukan itu. Nail memberanikan diri mengusap rambut April dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya dia pakai untuk memegang payung.

"Mereka jahat...!" masih memeluk Nail, akhirnya April berkata setelah beberapa menit hanya menangis. "Gue sakit hati... hiks... mereka udah nyakitin hati gue... hiks... gue ingin rebut El dari Marsha gimana pun caranya." April mengeratkan pelukannya pada Nail, yang dadanya terasa sakit mendengar pengakuan April. "Gue mohon... tolong gue."

Tubuh Nail membeku, tangan kanan yang mengelus rambut April kini terlepas, dan payung yang dipegangnya juga terjatuh. Tubuhnya melemas, hatinya sakit. Kenapa tak ada ruang di hati April untuk dirinya? Kenapa April hanya mencintai El, yang bahkan sudah menyakitinya? Kenapa? Kenapa? Dan kenapa yang ada di pikiran Nail sekarang.

"Kenapa lo gak jawab gue, Nail?" April memukul dada Nail, dan hanya dibiarkan saja olehnya. Semoga dengan April melampiaskan rasa sakit hati padanya, gadis itu bisa tenang. Setelah pukulan April melemah, Nail memeluknya kembali. Kini mereka terbuai dalam patah hati yang sama, dimana orang yang mereka cintai tak membalas cinta mereka.

"Ehem...!" suara deheman dari seorang lelaki membuat pelukan Nail dan April terlepas.

"Cieee... yang lagi pelukan di tengah gerimis, romantis banget sih," timpal Marsha yang datang bergandengan tangan dengan El.

April memutar badannya menatap El dan Marsha, hatinya kembali berdenyut sakit saat melihat genggaman tangan mereka.

"Kamu nangis Pril?" tanya Marsha yang melihat mata April bengkak.

El melepaskan genggaman tangannya pada tangan Marsha, dia berjalan ke arah April, dan langsung membenamkan kepala gadis itu di dadanya.

Dada Nail semakin panas dan napasnya memburu cepat melihat El memeluk April.

Antara London Dan ParisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang