Chapter 10

90 11 0
                                    

Sudah sebulan ini, El selalu menemani April, dan sudah selama itu juga Nail menjauh dari April. Gadis itu sangat senang karena rencananya untuk mendapatkan El, sedikit lagi akan berhasil.

Siang ini selesai mata kuliah berakhir, El dan April lunch di kafetaria kampus, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Nail.

"Hai....," sapa Nail yang langsung duduk di sebelah El.

"Gue mau pulang sama El, jadi lo mendingan pulang aja Nail, lagian gue gak telpon lo tuh buat jemput gue."

Nail mengernyitkan alis menatap April. "Sapa yang mau jemput lo?"

"Terus ngapain lo ke sini?" ketus April yang tak suka dengan kedatangan Nail. Dia takut kalau lelaki itu akan mengganggu kedekatannya dengan El.

Nail tak menjawab. Lelaki itu fokus pada ponselnya. Dia sibuk mengetik dan tak memedulikan pertanyaan April, dan itu membuat gadis itu kesal dengan sikap Nail yang mendiamkannya.

"Lanjutin makannya Pril." El meminta April untuk kembali makan, tapi bukannya melanjutkan makan, gadis itu menjauhkan piring berisi siomay dan menyilangkan tangan di dada dengan wajah cemberut.

"Sori... gue telat," sesal Marsha, yang baru saja datang dan bergabung dengan mereka.

"Lo janjian sama Marsha?" selidik April pada El dengan suara pelan. El menggeleng. "Terus?"

"Lo udah nunggu lama Nail?" tanya Marsha pada Nail.

Nail menggeleng. "Nggak, gue baru nyampe. Ya udah, yuk!" Nail bangkit berjalan ke arah Marsha lalu menggenggam tangan gadis itu.

"Kita duluan, ya. Bye...," pamit Marsha melambai pada El dan April.

"Lo gak marah El, Marsha jalan sama Nail?"

"Ngapain marah? Mending gue nemenin lo daripada jalan sama Marsha."

April tersenyum senang rencana mendekatkan Nail dengan Marsha berhasil, dan selangkah lagi dia akan mendapatkan El, tapi entah kenapa ada rasa tak rela yang tiba-tiba muncul melihat kedekatan Nail dan Marsha.

--- ALDP ---

Semakin hari Nail semakin dekat dengan Marsha. Lelaki itu kini selalu mengantar jemput Marsha ke kampus, dan itu membuat dada April terasa panas. Entah kenapa April selalu murung jika sudah melihat Nail bersama Marsha. April merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya; ada perasaan kehilangan dan sebagian relung hatinya terasa hampa sejak tak pernah bertengkar dengan Nail. Jangankan adu mulut seperti dulu, bercakap-cakap saja sekarang tak pernah mereka lakukan. Hanya saling menyapa, itu pun jika mereka bertemu tak sengaja di kampus.

"Bye," pamit Marsha pada El dan April saat mereka tak sengaja bertemu di parkiran saat akan pulang dari kampus.

"Tunggu...!!!" teriak April, yang membuat Marsha dan Nail menghentikan langkahnya, dan memutar tubuhnya ke arah April dan El.

"Ada apa Pril?" tanya Marsha.

"Kenapa lo selalu pulang sama Nail nggak sama El?" tanya April pada Marsha.

Tak ada yang menjawab pertanyaan April.

"Dan kenapa kamu ngebiarin Marsha jalan sama Nail, bukannya dia pacar kamu?" kini April bertanya pada El.

"Udah nggak lagi." El berjalan menuju mobilnya.

April yang sangat penasaran mengikuti El meninggalkan Nail dan Marsha, dan sesekali April melihat ke belakang, ke arah Nail yang walaupun sedang ditatap April, lelaki itu tak balas menatapnya, dia sibuk bercengkrama dengan Marsha, membukakan pintu untuk gadis itu, lalu melajukan mobilnya meninggalkan pelataran kampus. Hati April terasa sakit melihat itu semua.

"Maksud kamu apa, El?" tanya April setelah duduk di mobil.

El menatap sedih April. "Gue udah putus sama Marsha, dan sekarang Marsha udah jadian sama Nail. Kalo nggak salah sebulan setelah kamu sakit."

Bagai disambar petir di siang bolong, April sangat terkejut mengetahui itu. Sakit di hati yang sejak tadi dia rasakan kini bertambah perih mendengar fakta itu. Bukankah seharusnya dia bahagia, Nail telah mendapatkan Marsha demi menghancurkan hubungannya dengan El, tapi kenapa justru sebaliknya yang dirasakan April; nyeri di ulu hatinya, jantungnya seakan diremas, dadanya terasa dicabik-cabik, dan tak terasa air matanya keluar. Pantas saja Nail hanya seminggu menemaninya saat dia sakit, selanjutnya lelaki itu tak pernah datang lagi ke rumahnya sampai dirinya sembuh.

"Kamu kenapa Pril?"

April menyeka air matanya. "Aku kelilipan El," bohongnya menutupi perih di hati.

"Sini." El mendekatkan badannya ke arah April, memegang pipinya lalu meniup matanya. Bukannya berhenti menangis, tangis April semakin deras.

"Aku mau pulang El."

"Oke." El menjauhkan badannya, memutar kunci, dan melajukan mobilnya membelah jalanan kota Bandung yang siang ini macet.

--- ALDP ---

Antara London Dan ParisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang