十 : 𝒟𝑜𝓃𝑔𝑒𝓃𝑔𝓃𝓎𝒶 𝒯𝑒𝓁𝒶𝒽 𝒰𝓈𝒶𝒾

255 53 33
                                    

[ 𝒫𝑒𝓉𝒶 𝒜𝓃𝑔𝓀𝒶𝓈𝒶 ]


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Menghindar dan selalu menghindar itu yang aku lakukan. Entah apa yang akan ia pikirkan tentangku. Tak apa. Iya, tak apa. Itu yang terbaik.

"Luna!" panggilan seseorang dengan suara beratnya yang khas—siapa lagi kalau bukan Sang Tuan Mentari.

Aku tak menghiraukannya dan terus saja mempercepat langkahku, berjalan di koridor.

Langkahku terhenti ketika ia menghalangi jalanku dengan tubuhnya dan merentangkan tangannya.

"Kamu kenapa?" tanyanya yang langsung ku jawab dengan gelengan kepala tanpa berani menatapnya.

"Bohong, pasti ada apanya!" aku hanya diam tak berkenan menjawab.

"Yang berbicara ada di depan bukan di bawah. Yang berbicara aku bukan lantai," ucapnya, samar-samar aku melihat tangannya ia turunkan.

"Lun-"

"Aku tidak apa! Aku hanya ingin pulang!" potongku sambil berlari meninggalkannya.




"KAMU MENGUTUK DIRIMU SENDIRI!" Teriaknya membuatku menghentikan langkahku.

"KAMU SENDIRI YANG MEMBUAT DIRIMU SEPERTI INI!"

Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku. Aku mendengar langkah seseorang berlari ke arahku.

Aku memutar balik tubuhku, "Apa yang kamu tahu? KAMU TAHU APA, HAH?!"

"Sang Mentari untukku dan Sang Bulan untukmu."

"Bukan Mentari dan Bulan yang tidak layak bersama namun hanya kamu yang membuat sekat diantaranya. Dengan embel mentari dan bulan itu memiliki kasta yang berbeda."

"Apa salahnya Sang Mentari dan Sang Bulan berteman? Takut kalau Mentari akan kehilangan cahayanya? Bukankah egois kalau selalu meminta Sang Mentari supaya selalu mancarkan cahayanya, kamu harus ingat kalau hujan dan badai itu juga ada."

"Kalau kamu selalu menilai dirimu seperti ini, bagaimana kamu bisa tahu tentang perasaan orang lain bahkan dengan dirimu saja kamu tidak mengenalnya."

"Aku-" tanganku semakin mengapal kuat.

"Kamu selalu melihat setengah pandangan orang dan cepat minyimpupkannya, lalu bagaimana dengan pandangan yang lain? Kalau seperti ini bukankah kamu hanya menilai satu komet padahal ada berjuta-juta komet di angkasa sana."

"Kamu juga bilang tidak akan ada yang terluka karena hanya ada satu pihak di dalamnya. Kamu yakin? Bukankah kamu menyakiti dirimu sendiri. Kamu tidak sadar kalau kamu yang akan terluka."

Kini kepala tangan mulai melemah. Apa aku seegois itu?

Radit tertawa meninggalkan garis lengkung yang sempurna di sana,"Mungkin kamu muak mendengar celotehku sedari tadi. Tapi aku ingin membantumu menjawab pertanyaanmu," ucapnya sambil menarik pergelangan tanganku mengajakku berlari di belakangnya.


Entah dimana dia mengajakku yang kutahu disini merupakan tanah yang sangat lapang. Angin berhembus sangat kencang.

"Coba lihat ke langit!" ucapnya sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah akibat berlari.

Langit biru terang terlihat membentang di sana dengan awan tipis tak  mengumpal.

"Itu matahari dan itu bulan," ucapnya sambil menunjuk benda angkasa itu. "kamu pernah bertanya, apa bulan dan mentari dapat bersanding kan?"







Pada jam lima lewat lima belas petang
Aku menyaksikan bulan dan mentari bersanding
Bersamanya di tanah lapang
Sebagai akhir dari sebuah dongeng














Pada jam lima lewat lima belas petangAku menyaksikan bulan dan mentari bersandingBersamanya di tanah lapangSebagai akhir dari sebuah dongeng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Usai bukan berarti berakhir
Selasai bukan berarti rampung
Hanya disudahi saja








[ 𝐬 𝐞 𝐥 𝐞 𝐬 𝐚 𝐢 ]

Bulan Pada Mentari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang