"Radit, ayo balik." Mendengar namaku terlantun pecah memuai pada udara bebas, langsung saja atensi diri teralih dari setiap ulur senar ke arah beberapa kawan yang kini sudah bebenah rapi.
Aku menggangguk lalu meletakkan bass kebanggaanku dengan hati-hati di ujung bilik ruang yang tersusun homogen dengan alat musik lainnya.
"Kalian duluan saja, tasku masih tertinggal di kelas," titahku yang langsung diangguki paham oleh keempat kawanku yang merajut langkah sembari menotarkan gurauan jenaka mereka.
"Jangan lama-lama." Tungkai yang kini telah mengikis jarak diantara mereka dengan kecepatan yang tak dapat kuperkecil membuat diri tak dapat merait ucap, namun diri sempatkan untuk mengganggukkan kepala sebagai jawabannya.
Hari ini sore tidak menghadirkan semburat jingga kiaskan semu merah pada ufuk barat. Si angin hadir laksana membawa kabar gembira sebuah rintikan kecil berupa air bening yang turun tiada kira. Langit tak begitu kelabu, ia bentangkan warna putih dengan sedikit intensitas kuning, membuat pucuk tumbuhan paling atas kala dilihat seakan berkilau.
Narasiku untuk menerjemahkan isi lamun puan yang berdiri diam di depan jendela. Matanya menatap sembari memancar terang menghiasi pupil legamnya, bagai rembulan kala berkilau di hamparan padang hitam kepunyaan sang malam.
Aku mencoba mengingat nama si puan ini, namun entah terselip di bagian otak mana nama si puan ini tersimpan atau mungkin diri memang belum mengetahui namanya. Katakan saja aku ini teman yang begis, teruntuk nama teman sekalas saja aku belum menghafal sepenuhnya.
Melihatnya begitu terperana oleh rinai si pembawa kenangan yang menari-nari kala mendarat pada bumi. Membuatku mengikuti arah pandangnya, mengikut sertakan diri pada objek pandangannya.
"Sore ini berbeda walaupun sedang menangis mataharinya masih tertawa," gurauku yang ia hadiahi gemap, kedua matanya kini membulat sempurna laksana purnama yang berada dalam fase penuhnya.
Kucoba bentangkan kurva parabola bernilai positif padanya. Bukannya, menjawab ulasan senyumku ia malah gelagapan bagai diri seorang hantu yang sedang menyengir amat mengerikan.
Si puan dengan cepat mengambil tasnya lalu berlalu begitu saja meninggalkanku yang masih berdiri dalam nuansa diri penuh tanya. Lantas mataku kini memotret kilas sebuah buku di atas mejanya.
Aku ingin meneriakkan namanya, namun teringat diri tak tahu nama si puan, dengan cepat aku berlari menuju ambang pintu. Namun, sayang dirinya tidak telihat lagi bahkan untuk sekadar siluet bayangnya.
Aku menatap buku tersebut, buku yang berwarna cokelat lengkap dengan gantungan bergambar matahari dan bulan di bagian ujungnya. Entah setan senja apa yang mampir dipikiranku saat ini, menyuruh diri membuka buku tersebut.
Gemerlap milik Sang Mentari Redup milik Sang Bulan Terpancar dikala bumantara yang sama
Aku mengeryitkan kening bingung kala mendapati deret kalimat pembuka pada laman awalnya.
Aku melirik ambang pintu, mengecek barangkali si puan kembali kala dirinya sadar tengah meninggalkan sebuah buku. Namun, keadaan begitu sunyi, tidak ada suara deru langkah yang terdengar.
Aku melanjutkan menggulir lembar demi lembar, terpukau kala melihat ukir tulisannya yang begitu rapi nan elok.
"Kenapa dia tidak mencalonkan diri sebagai sekretaris saja, tidak prihatin kah dengan sekretaris sekarang yang tulisannya macam ceker ayam?" gumamku.
Larik yang ia ukir begitu indah, namun sayang otak ini tak sampai untuk memaknai setiap katanya, mungkin diri butuhkan seperangkat KBBI agar dapat tahu makna jelas dari penggunaan kata arkais yang ia gunakan.
"Oalah namanya Bulan," mataku kini membulat kala mendapati nama diri tertera di buku tersebut.
Aku coba mengeja namanya barang kali diri ini yang salah baca. "Ah, mungkin namanya serupa denganku. Nama Radit kan bukan aku seorang saja di muka bumi ini, kartun yang sering aku tonton saja namanya Radit." Kucoba menampik segalanya tidak ingin diri terlampau maju diri berakhir malu sediri, namun si benang pikir berpikir sebaliknya.
"Tetapi nama panjangnya juga Ra-dith-ya Ra-ka As-ka-ra." Kembali ku eja nama yang tertulis di lembar tersebut lalu membandingkannya dengan papam nama yang tertera di sudut kanan atas seragamku. Tidak ada perbedaan dikeduanya.
"Ini ta namaku," ucapku antusias kala tahu diri ini yang dijadikan oleh si puan sebagai objek tulisnya.
Niat awal diri hanya ingin membacanya setengahnya namun diri terlampau semangat kala tahu diri ini yang dijadikan sebagai objek tulis. Banyak hal yang tidak pernah diri sadari kala membaca setiap baris lariknya. Seperti senyumku kala itu bisa memiliki makna seindah itu.
Larik yang ia tulis begitu elok namun tak seiras dengan isinya yang terlalu banyak merendahkan diri. Diri sedikit geram saat tahu dirinya terlalu banyak percaya akan stigma yang mengutuk dirinya sendiri.
Baru diri ingin menutup buku tersebut, suara bagai gemuruh halilintar menyapa diri.
"RADITHYA ANAKNYA PAK ANTO AYOK PULANG!!!"
Cepat-cepat diri memasukkan buku tersebut dilaci milik si puan. Lalu, meraih tasku dengan cepat.
"Pak Anto kan bapakmu, malih."
"Lah iya, ah-lupain, ayok balik keburu malam."
Aku menapakkan kaki menyengajakan diri menginjak genangan air yang mengiaskan semu warna pelagi. Berjalan menundukkan diri guna menyembunyikan setengah lingkaranku yang kini merekah lebar laksana bunga yang mekar di musim semi.
Kepalaku kini menengadah menatap bagaskara yang kini mulai menggelap, menerbitkan benda-benda angkasa milik sang malam. Semesta izinkan diri ini menitip pesan melalui benda-benda angkasa malam ini untuk puan yang merajut sua denganku tadi.
Teruntuk bulan tolong katakan padanya, dia elok, penenang kala malam sunyi. Bulan tidak buruk rupa buktinya tadi aku baru saja bertemu bulan yang amat rupawan. Katakan pula padanya aku akan tersenyum lagi padanya besok, besoknya lagi dan hari besok-besok lainnya. Jadi, marilah beteman dengan mentarinya.
Teruntuk bintang, jadilah saksi atas cerita bulan pada bulan ya!
Dan terakhir untuk langit malam, tolong buat rekanya sebaik mungkin. Jadikan malam ini sebagai malam cemerlang si Puan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bila Luna punya Radit sebagai Mentarinya Kalau saya punya kalian sebagai semangat