Prolog

876K 14.5K 496
                                    

Februari, 11

"Siapa nama cowok itu?"​

"Yang mana?"

"Itu yang sama Tikah"

"Ah, kalau tidak salah itu namanya Rafa, Rafa Azka Putra Abyantara, dia teman satu sekolahku saat SMP. Ada apa?"

"Tidak apa-apa."

***

"Saya terima, nikah dan kawinnya Farensa Kyntia dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai." ​

Aku terdiam membisu seakan kemampuan berucapku hilang entah kemana.

Ini terlalu mendadak untuk ku pahami, ini terlalu tidak mungkin untuk ku mimpikan, dan ini terlalu fiksi untuk ku anggap kenyataannya.

Aku tidak bisa mengelak apapun, bayangkan saja keinginan ku tiba-tiba tergapai—meski aku sendiri masih tidak mengerti mengapa aku bisa bersanding di tahta penguasa sehari bersama pria ini.

Dunia seakan berputar meruntuhkan kekokohanku saat suaranya mengalun gugup ditengah kesenyapan di ruang keluarga rumahku, mengungkapkan sepatah dua patah janji suci pernikahan kami di depan penghulu, saksi, Ayah dan seluruh keluarga.

​"Bagaimana para saksi? Sah?"​

​"SAH!!"

Aku tidak bisa menemukan suaraku ketika kenangan lima tahun lalu berputar menghantami isi kepalaku.

Air mataku begitu saja terjatuh—masih belum sanggup mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi padaku sekarang.

Aku masih berada di dalam isi kepalaku hingga sapuan tangan milik pria itu menyentuh pipi ku, mengusap kelopak bawah mataku membawaku kembali menuju kesadaran, memanipulasi keadaan seakan-akan aku tengah menitihkan air mata bahagia yang membuat keluarga dan tamu dalam akad nikah ini bersorak iri melihat perlakuan manisnya padaku.​

​Dia menggenggam pipiku hingga sapuan bibirnya terasa membelai dahiku, memberiku bertubi-tubi tumbukan di jantung.

Aku terkesiap, tanpa perintah, mataku menutup mengantisipasi jantungku yang semakin kehilangan kewarasan. Aku masih merasakan darahku memujanya.​

​ Dia berdesis, "Selamat datang pada takdirmu."

Aku langsung membuka mata, menjauhkan wajahku dan mendongak menatap wajahnya yang hanya berjarak setengah senti dariku.​

Aku tidak mungkin salah mengerti apa perkataannya karena mataku sudah melihat, telingaku sudah mendengar dan jantungku sudah merasakannya.

Senyuman licik itu—yang akan menjadi petunjuk awal penjelasan semua ini, mengapa di hadapan semua orang dia ingin mengikatku dan mengesahkanku menjadi miliknya dan menjadi salah satu wanita yang sah mendampingi perjalanan hidupnya. ​

​Aku mengalihkan tatapanku darinya secepat yang aku mampu, memperkecil konsekuensi aku akan pingsan setelah semua kejadian itu menghantami jantungku yang memberontak untuk memaksaku menatap dan menghadapinya.​

​Empat jam berlalu begitu saja dan aku masih di sini setelah akad nikah kami dilangsungkan.

Berdiri, tersenyum, berucap terima kasih pada tamu undangan dan keluarga di ballroom hotel untuk resepsi pernikahan kami seolah-olah aku bahagia dengan ini semua yang bahkan membuatku tidak memiliki niat sedikitpun untuk makan atau setidaknya mengisi tenaga ku yang sejak semalam tidak ku isi.​

​Aku tidak menyetujui semua ini tentu saja, aku kehilangan selera makanku berhari-hari atas segala ketakutanku pada mimpi yang belum berani ku anggap akan tercapai ini.

Tetapi entah seperti apa jalannya, hari ini akhirnya tiba menjemputku untuk kembali mengoyak dengan sadis luka lamaku yang belum sembuh.

Aku ingin bertanya pada siapapun, apakah pernikahan ini sungguh terjadi?​

​Tanpa ku sadari tiba-tiba tangannya telah merambat dipinggangku, menyentakku—seolah-olah memelukku dan sekali lagi memangkas jarak kami hingga membuatku begitu menempel dengannya. ​

​"Jangan memaksakan diri, makanlah. Aku malas mengangkat tubuhmu." ​

Dia berkata dengan dingin seperti seharusnya, memaksaku mengakhiri penenggelamanku dalam pikiran dan menatap padanya setelah empat jam berlalu.

Aku terkejut dan hampir tidak menyangka dia akhirnya mengenakan setelan yang sewarna dengan gaunku—stelan silver dan celana berwarna senada membalut tubuhnya yang sekarang menjadi jauh lebih tinggi, tegap dan menawan dari terakhir aku melihatnya di perpisahan sekolah.

Ditambah dia menjadi lebih mempesona dan berkarisma dengan wajah yang kokoh dan tatanan rambut acak-acakan khas miliknya yang tidak berubah. ​

Aku berani bersumpah, semua memori itu seakan-akan ingin memborgol tubuh dan otakku hingga aku tak bisa memalingkan wajahku darinya ke arah manapun sekarang.​

​"Hei, kamu kenapa?"​

Aku diam, dan tidak akan pernah mampu untuk tidak diam jika dia sangat dekat dengan ku dan benar-benar menatapku.

Sisi ku tertawa, ya Tuhan, aku selalu membenci tubuhku yang tidak bisa di fungsikan jika berdekatan dengannya seperti ini.

​Kembali tiba-tiba, nafasku berhenti ketika dia mendekati wajahku dan menimpahkan bibirnya pada bibirku tanpa peringatan lantas membuat pikiranku sepenuhnya menjadi kosong.

Jantungku kembali membabi-buta, membunuhku dalam detakkan yang menggila.

Nafasnya terasa memburu diwajahku yang merona saat ciuman singkatnya berakhir, tepat pada saat kelopak mata sayunya terbuka, menatapku jenaka hampir seperti mengejek sambil menumpukan dahinya pada dahiku, membuatku tidak bisa merasakan kehidupan yang benar.

Seluruh tubuhku kaku, bibirnya bahkan masih terasa hangat menekan bibirku. Aku kalah, aku tidak bisa mengantisipasi diriku sendiri.​

​"Menginginkan ciuman huh?"​

​Pipiku merona mendengarkan perkataannya barusan, terlintas pun tidak dalam otakku kalau kami akan berciuman di sini. ​

Aku nyaris tidak bisa menggerakan tubuhku untuk memberikan jarak diantara kami saat dia lagi-lagi tanpa memberi tahu menyelipkan kedua lengannya di lutut dan bahuku lalu menggendongku menuruni tangga panggung dengan cepat, meninggalkan riuh-piuh tamu undangan yang iri menyadari tindakannya.

Jantungku tanpa ku inginkan bertalu-talu kembali.​

​Wajahku semakin memanas, terekam jelas di otakku adengan demi adegan novel romansa yang paling ku sukai saat sang pria menggendong sang wanita kemudian berciuman dan berakhir dengan malam yang menyenangkan di antara mereka, astaga, sisiku semakin tergelak, ya Tuhan!​

Jadi?— Tidak!​

​"A-apa yang kamu lakukan?" aku akhirnya menemukan suara.​

​Dia tertawa kecil, tanpa peduli tetap membawaku ke dalam ruangan yang kupakai sebelumnya untuk berganti pakaian dan membuat mbak-mbak yang meriasku tadi keluar ruangan tanpa diperintah.

Aku semakin ketakutan saat dia dengan cekatan mengunci ruangan dan menurunkanku lalu mengunciku di antara dinding dan dekapannya.

Dia menatapku dalam, tanpa kata-kata membuat jantungku mulai menggila seakan-akan ingin keluar dari rongga dadaku di setiap detiknya.​

Nafasnya mengembun di wajahku seakan ingin mengulitiku, matanya menatapku terlalu dalam seakan ingin menusukku, setiap pergerakan wajahnya seakan membuatku terlupa dan melupakan kalau aku sedang kelaparan, kelelahan dan membencinya.

Wajahnya mendekatiku, dia tersenyum kecil penuh maksud memaksaku semakin mendesakan tubuh pada dinding berusaha keras menjauhinya.

Tanpa bisa ku cegah, tubuhku gemetaran.​

​"....atau kamu menginginkan yang lain?"

•••

Regards,
y o u s h i m

YS [1] // Maps (M)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang