Waktu sudah menunjuk pada jarum sepuluh lebih lima belas malam. Rafa berkata dia akan pulang cepat hari ini, namun sampai sekarang dia belum juga datang.
Kantuk yang sewajarnya dari tadi menderaku, sudah menyerah. Aku melirik tiga bungkus kopi di meja dan segelas kopi yang tak lagi hangat.Dia berkata ingin membicarakan sesuatu yang penting denganku... amat sangat penting, bahkan lebih penting daripada aku menemani Fairel tidur.
Dinginnya malam kali ini benar-benar membuatku resah, aku ketakutan, namun tidak mampu berbuat apa-apa. Sudah lebih dari lima hari berlalu saat semua itu berlalu, aku menganggap seolah yang dilakukan Rafa itu hanya sekedar salam sapa pada teman lama. Namun sikap yang ditunjukan Rafa selalu berbalik dari apa yang aku tanamkan mati-matian dalam otakku.
Ponselnya akhir-akhir ini selalu berbunyi dan dia akan menjauh sejauh jauhnya untuk menjawab panggilannya. Dia juga tidak pernah mengucapkan selamat malam padaku seperti biasa sebelum tidur. Dia pun jarang mengajak Fairel main, selepas pulang dia pasti akan kembali ke ruang kerjanya sampai larut bahkan melupakan makan malamnya.
Sebenarnya apa yang terjadi pada Rafa?
Mengapa sikapnya berubah sederastis ini?
Otakku tidak pernah diam menanggapi sikapnya. Dia tidak bisa terbaca dan begitu ambigu untuk dipahami.
Suara mobil berderuh di garasi, aku cepat-cepat berlari menuju pintu. Tersenyum kecil melihat Rafa yang akhirnya pulang setelah lewat beberapa jam dari yang dijanjikannya. Aku kembali berlari, menggapai pundaknya dan memeluknya, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanku setelah dia pulang kerja, menghirup pasokan oksigen hidupku yang berasal darinya.
"Selamat malam sayang" kata Rafa pelan sambil terkekeh, mengecup dahiku lambat membuat hatiku berdesir.
"Terlambat," bisikku, Rafa kembali terkekeh menciumi bahuku yang tidak tertutupi jubah tidukku kecil-kecil.
"Maaf, kak Radit tadi ada perlu" bisik Rafa membuatku kembali tersenyum.
Aku memainkan jariku di kemejanya, memilin-milin kera kemejanya kecil memilih untuk berdiam di teras rumah kami, hampir tengah malam dan berpelukan. Aku selalu menganggapnya begitu jauh untuk ku gapai meski dia sedang berpelukan denganku seperti ini, sisi jauh dirinya belum bisa ku sentuh.
Rafa membentengi dirinya begitu kokoh tanpa bisa kusentuh, namun selalu ku tekankan karena setiap manusia punya rahasia. Tidak mungkin aku terus memaksanya, pernikahan bukan hanya tentang cinta sama cinta, atau romansa dan hubungan seksual, namun pernikahan juga tentang keterbukaan, meski itu sulit bahkan untuk dijelaskan.
Biarlah waktu yang membawa kami, menuju satu persatu arti pernikahan yang sesungguhnya. Bukan sekarang tapi nanti, di suatu hari yang membahagiakan.
Mataku menatap nanar jari-jariku, dimana jari-jariku berada, kera kemejanya, lipstik merah maroon teercetak jelas disana. Membuatku ketakutan dan kembali kemasa awal pernikahan kami yang mengerikan.. apakah ini... maksudku.. ah tidak mungkin, mungkin ada seorang yang hampir jatuh di pundaknya dan tanpa sengaja mencetakan lipstiknya disana. Ya pasti seperti itu!!
"Ayo masuk" aku melepaskan pelukan dan menggapai tas kerjanya, membawanya bergandengan menuju ruang keluarga. Duduk berhadapan di sofa.
"Ngomong-ngomong Raf, sms kamu tadi, apa yang ingin kamu bicarain" kataku pelan, suara bergetarku hampir tak bisa ku kontrol.
Dia mendesah, menatapku dalam-dalam, mengintimidasi dan mendominasi. Untuk beberapa detik aku ketakutan, dia begitu dekat dengan dirinya yang lama. Seolah semua kembali terulang dan takdir benar-benar tidak menginginkanku tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
YS [1] // Maps (M)
Romance[ 𝐓𝐄𝐋𝐀𝐇 𝐃𝐈𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓𝐊𝐀𝐍 ] PENERBIT : COCONUTBOOK PUBLISHERS /// Beberapa part telah di hapus. Lihat versi cetak untuk full part • [18+] Bibirnya kasar melumat bibirku memaksaku menerima ciuman kasarnya, membuat aku merasakan rasa amis...