Part 6 (3)

206K 5.1K 123
                                    

Sudah sejak tiga jam yang lalu namun aku sama sekali tidak bisa tertidur, sisi tempat tidur yang menjadi fokusku pun sejak tadi tidak berpenghuni.

Aku masih dalam pikiranku yang kosong, sesuatu dalam hatiku masih saja mengecamku, merutuk dan menyumpaiku atas sumpah yang telah ku minta.

Aku tidak bisa tenang setelah apa yang terjadi, aku masih merasa bahwa apa yang menimpa Raina adalah salahku.

Akan lebih baik jika ironi atas pernikahanku tidak pernah terjadi, atau cintaku dan kebodohanku tidak pernah kulakukan sehingga aku tidak perlu mengalami kegilaan ini.​

​Aku menggeram, menahan detak jantungku yang melemah kesakitan. Memaksa diriku sendiri untuk bangkit dan beranjak dari tempat tidur, menyaksikan sendiri akibat dari karmaku.

Mataku menatap lamban pada pintu berwarna pink didepanku, perlahan-lahan memutar knopnya.

Masih dengan suasana dingin khas pemiliknya yang tidak mampu tersentuh, mengajak kakiku melangkah mendekat pada Raina yang masih terbaring pucat.

Aku kehilangan semua kemampuan berbicaraku, suaraku tertahan dengan hipotesisku atas penyebab kejadian yang menimpa adik iparku.

Bibirku gemetaran, memaksa diriku sendiri untuk semakin mendekat, menggerakan jari-jariku pada dahinya. Mengusap kepalanya sayang, seolah aku sedang bersama adikku sendiri. Suaraku akhirnya berhasil keluar.​

​"Maaf."

​Aku masih merasa bersalah, tidak mampu berpikir untuk membuat kalimat lain agar mendeskripsikan rasa bersalahku yang teramat besar untukku tanggung sendiri terlepas bahwa kejadian yang menimpa Raina ini adalah karmaku atau bukan.

Fakta bahwa dia membenciku itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku tertampar bahwa dia masih belum merelakanku bersama dengan Rafa sampai kapanpun.

Raina begitu sulit untuk merelakan, dia pun sulit untuk digapai seperti seorang yang terbiasa dengan kesendirian dan kenyamanan yang diberikan oleh keluarganya.

​Dia terisolasi dari dunia luar atas keprotektifan kedua abangnya sehingga mau tidak mau dia tidak bisa melakukan semua hal yang dia mau, aku pernah merasakannya, apa yang dilakukan saudara-saudara pria ku saat berita bahwa Rafa bertunangan dengan Farah pun sama bentuknya.

Mereka mengawasiku terlalu ketat hingga aku tidak tahu harus mau melakukan apa, sampai akhirnya aku berfikir dalam ruangan sempit itu bahwa aku harus menyerah pada dunia karena sudah terlalu membebani semua orang karena alasan terbodoh, perasaan dan cinta.

Kadang kala hal itu bisa menjadi hal terkuat yang dimiliki wanita, namun dalam sisi kebanyakan hal itu mampu menjadi racun paling berbahaya di bumi.​

​Aku seperti bercermin pada diriku yang lalu, saat pria yang kucintai benar-benar menyatakan ketidak inginannya atasku, benar-benar tidak masuk akal, nyaris bunuh diri karena cinta itu irrasional.

Nahasnya memang itulah yang terjadi, mendengar Rafa berkata bahwa seseorang yang seharusnya menjadi tunangan Raina pergi keluar negeri bersama selingkuhannya yang tengah hamil besar, lebih menyedihkan dari seorang wanita yang mengobsesikan seorang pria bertahun-tahun kemudian mendengar kabar bahwa pria itu akan bertunangan.

Aku tidak seharusnya memaksakan diri, lagipula, siapa aku?

Saat itu menjadi kekasih Rafa saja rasanya tidak mungkin, malah meminta-minta karma.​

​"Harusnya kakak tidak memaksakan diri menjadi bagian keluarga ini kan?"

Aku tersenyum canggung, beranjak selangkah menjauhi ranjang, belum mampu melepaskan fokusku pada Raina.​

YS [1] // Maps (M)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang