Chapter 6

2.6K 351 12
                                    

Aku membuka mata dan melihat kalau aku telah berada di kamar, tidak kupedulikan sakit di kepalaku karena yang aku inginkan saat ini hanya bangun dan mencari Carver. Pria itu terluka karena aku jadi aku harus melihat apa dia baik-baik saja?

Segera kubuka selimut dan turun dari ranjang. Membuka pintu kamar aku bergegas ke arah lantai tiga di mana kamar Carver berada. Menaiki anak tangga aku terhenti di anak tangga kedua. Suara familian tertangkap indera dengarku dan segera membuat aku mengurungkan niat untuk berjalan mencari kamar Carver. Aku malah berbelok ke arah ruangan lain yang aku tahu milik Caleb. Pria itu biasanya berada di sana dan setidaknya mungkin aku bisa bertanya padanya apa yang terjadi pada Carver.

"Perih?"

"Tidak terlalu ... hanya luka kecil."

"Berhenti meremehkan luka seperti ini, Caleb. Kau tahu kalau aku merasa sakit dengan melihatmu terluka seperti ini?"

Aku berhenti di ambang pintu. Memegang dadaku saat kudengar kalau di ruangan itu tidak hanya ada Caleb saja. Ada seorang gadis yang juga bersamanya dan sepintas kulihat dia duduk di atas pangkuan Caleb. Di atas pangkuannya? Jantungku bertalu ngeri.

"Aku tahu, tapi ini bukan sesuatu yang harus—"

"Berhenti mengatakan kalau aku tidak boleh khawatir. Kau tahu kalau aku sangat mencintaimu bukan? Jika saja aku bisa melakukan sesuatu yang lebih berguna dan bukan hanya memberikan informasi tidak penting."

"Talla, dengar ... aku baik-baik saja dan tanpa kamu maka sekarang aku sudah mati. Jadi jangan bicara kau tidak berguna. Itu sama sekali tidak benar."

Cara Caleb bicara pada gadis itu membuat aku ingin sekali masuk ke dalam sana dan menamparnya. Berani sekali dia berselingkuh di belakangku. Bajingan terkutuk.

Alih-alih bisa melakukan apa yang ingin dilakukan otakku, aku malah berjalan pergi. Aku tidak kuasa menahan perasaan sakit atas apa yang dilakukan Caleb padaku. Tapi pada akhirnya aku sadar, kalau aku hanyalah gadis yang ingin dia lindungi bukan? Tidak lebih dari itu. Hal yang sama berlaku pada Carver. Harusnya aku tidak terlalu menilai tinggi diriku dengan bersenang-senang sebagai kekasih gadis gadis lain.

Aku tidak lupa dengan alasan apa yang membuat aku berada di tempat ini jadi aku berjalan naik ke tangga untuk mencari Carver. Setidaknya karena mereka melindungiku maka aku harus berterimakasih. Itulah yang harusnya aku lakukan juga pada Caleb. Bukannya meminta lebih.

Aku melihat Zeco berada di depan pintu. Terlihat sedang berjaga dan dia juga melihatku.

"Nona—"

"Di mana Carver?"

"Di dalam Nona. Sedang istirahat."

"Apa aku bisa bertemu dengannya?"

"Biarkan dia masuk, Zeco."

Suara dari dalam sana membuat Zeco segera beranjak membukakan aku pintu dan aku masuk. Pintu di belakangku tertutup. Aku mengedarkan pandanganku pada ruangan Carver dan semuanya seperti dirinya. Kelam dan unik. Kupikir kamar ini memang sejak awal adalah miliknya karena dia mendesain kamarnya seperti dirinya.

"Sudah puas melihat?"

Aku mengarahkan pandangan pada Carver. Dia sedang tertidur di sana dengan infusnya dan juga masih sama, buku di tangannya. Buku yang sama dengan foto entah siapa yang ada di sana.

Aku berjalan mendekat. "Bagaimana keadaanmu?" tanyaku.

Dia mengangkat tangannya yang di infus. "Jangan melihat ini seperti sebuah kelemahan. Aku sudah meminta Caleb untuk tidak melakukan ini. Kekasih dinginmu itu memaksa."

Aku tiba-tiba saja ingin bersedih dan mengatakan pada Carver kalau dia bukan kekasihku. Dia milik orang lain, bukan aku. Aku hanya tanggungjawab yang bisa dia buang kapanpun dia ingin. Atau kapanpun gadis yang dia cintai menginginkannya.

"Duduklah di dekatku. Aku perlu pendapatmu tentang sesuatu." Carver menatap kursi yang ada di dekat ranjang.

Aku tadinya ingin pamit saja agar bisa dengan mudah menangisi nasibku di kamarku. Sendirian. Tapi aku tidak bisa mengecewakan Carver. Aku berjalan ke arah kursi di dekatnya. Lalu dia menyodorkan laptop yang baru saja kusadari ada. Laptop yang menyala.

"Apa ini?"

Aku meraih laptop itu dan meletakkan di atas pangkuanku. Melihat ada bangunan di sana. Itu semacam video yang mempresentasikan bangunan kuno itu. Letaknya ada di tengah hutan dan walau hanya berdiri sendiri dengan kekunoannya, tidak membuat tempat itu terlihat menyeramkan. Malah mendamaikan.

"Ini indah. Rumahmu?"

"Aku berencana membelinya dan harganya cukup mahal. Bagaimana menurutmu? Apa aku beli saja tanpa menawar?"

Aku memperhatikan Carver. "Kau tidak cocok tinggal di sini?"

"Kenapa?" Carver terdengar tidak terima.

"Tempat ini terlalu kelam. Aku takut kau akan gila di sana."

Carver tertawa dengan suara lepas. Dia membuat aku bisa sedikit merasa berguna, karena jelas dia terhibur dengan apa yang aku katakan. Aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Dia menghiburku dengan tawa.

"Itu konyol, Eliya."

"Aku tahu. Jadi aku saranin kau membelinya. Rumah ini bagus dan menenangkan. Akan sangat hebat jika kau tinggal di sana bersama seorang gadis. Gadis yang kau cintai tentu saja. Kalian bisa berdua—"

"Aku akan tinggal bersamanya."

Aku menatap Carver yang sudah balas menatapku dengan hangat.

Tidak bisa kutahan senyum di bibirku. "Kau memilikinya," tebakku.

Carver tidak menjawabnya tapi jelas matanya berbicara lebih banyak dari mulutnya. Entah siapa gadis beruntung itu yang mendapatkan cinta dari sosok seperti Carver.

"Aku harap kalian hidup bahagia," ujarku tulus.

"Teromakasih. Doa yang sama untukmu, Eliya. Kau akan menemukan kebahagiaanmu."

Aku beranjak dari tempatku dan meletakkan laptop kembali di mana Carver tadi mengambilnya. "Baiklah, kurasa jam berkunjung telah habis."

"Kau akan meninggalkan aku?"

"Aku tidak ingin mengganggumu lebih lama. Selamat beristirahat Carver."

Aku mendekat pada Carver dan mencium pipinya dengan sayang. Memberikan tekanan pada sentuhan bibirku karena kupikir ini akan menjadi terakhir kalinya aku dan dia bisa berbicara seperti ini.

"Kenapa aku merasa kau seperti sedang mengumumkan perpisahan, Eliya?"

Aku tergelak, atau itulah yang coba aku perlihatkan. "Karena aku akan meninggalkanmu sekarang ke kamarku."

Carver ingin mengatakan sesuatu tapi dia memilih bungkam jadi aku berjalan pergi meninggalkan dia dengan lambaian di ambang pintu. Aku hanya mendapatkan balasan senyum darinya. Juga keanehan pada pandangannya. Itu sebuah kecurigaan dan aku tidak ingin menghilang kecurigaan itu. Biar saja.

Caleb Tepesh ✓ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang