JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT⚠️
Amel menatap heran ponselnya. Ternyata orang yang tadi siang menghubunginya serius untuk mengajak bertemu. Beberapa menit yang lalu pesan baru masuk ke ponselnya berisi bahwa orang itu sudah berada di taman. Amel sendiri masih berada di perjalanan menuju rumah sepulang sekolah. Karena Nabil sudah pulang lebih awal, mau tidak mau Amel pulang bersama Adam.
Adam menyadari kegelisahan Amel. Gadis itu tak henti-hentinya melihat ponsel dan jalanan, serta memainkan jarinya. Walaupun penasaran, Adam tetap menjaga gengsinya dan berlagak tidak tahu apa-apa. Ketika memasuki gerbang komplek perumahan, akhirnya Amel meminta berhenti terlebih dahulu.
"Eh, Dam. Berhenti dulu," pinta Amel. Adam yang kebingungan pun memberhentikan mobilnya. Gerbang kompleks memang tidak jauh dari taman. Amel memutuskan untuk menemui orang asing yang menghubungi nya.
"Ada apa?" tanya Adam.
"Gue ada urusan sebentar. Lo pulang aja duluan. Ntar gue bisa jalan kaki pulang sendiri," kata Amel.
"Urusan apa? Nanti kalau Bunda kamu nanya kamu gimana? Saya harus jawab apa?" tanya Adam.
"Bilang aja gue mau ke rumah temen yang masih satu komplek sini. Gak lama kok. Bentar doang." Adam menghela nafas pasrah. Ya mau bagaimana lagi. Urusan gadis itu juga bukan urusannya.
"Ya sudah."
Amel tersenyum menang dan turun dari mobil. Setelah mobil Adam pergi dan tidak terlihat lagi, Amel membuka ponselnya dan mengirim pesan singkat.
Gue ke sana sekarang.
Walaupun sedikit ragu, namun rasa penasarannya lebih mendominasi. Amel berjalan menuju taman yang begitu jauh dari gerbang komplek. Setelah sampai, ada beberapa anak kecil yang bermain dan ibu-ibu yang berkumpul. Yang menghubunginya siapa?
Pandangan Amel tertuju pada sosok berhoodie navy yang duduk pada bangku taman dengan posisi membelakanginya. Amel mengecek ponselnya lagi. Pengirim tersebut tidak mengatakan baju yang Ia kenakan. Akhirnya dengan pasti, Amel menuju sosok laki-laki berhoodie navy itu.
"Hai. Kamu yang ngechat aku untuk ketemu?" tanya Amel ragu. Laki-laki itu membalikkan badannya.
Sialan.
Itu kata pertama yang ingin sekali diucapkan Amel ketika tahu siapa yang ada di depannya. Harusnya dia menolak saja dan langsung pulang.
Sosok Radit duduk di depannya sambil tersenyum. Rasanya Amel ingin langsung pulang saja. Namun kakinya seolah membeku, enggan berbalik dan berlari pergi.
"Lo yang ngechat gue?" tanya Amel.
"Iya. Gue gak nyangka sih lo bakal beneran dateng. Eh tapi dateng beneran," jawab Radit. Amel menghela nafas kesal..
"Lo kenapa sih Dit? Gak bisa apa biarin hidup gue tenang, damai, tanpa ada gangguan dari lo?" tanya Amel muak.
"Kisah kita belum selesai, Mel. Banyak yang belum lo mengerti," kata Radit pelan.
"Dimana bagian yang gak gue mengerti? Lo ninggalin gue saat lo udah di puncak, selingkuh, ngehancurin gue? Apa lagi, Dit?" tanya Amel kesal.
"Duduk dulu, Mel. Kita omongin sama-sama ya," ajak Radit sambil menepuk ruang kosong di sampingnya. Amel terdiam. Rasanya ingin langsung pergi saja, tetapi gadis itu penasaran apa yang ingin dikatakan Radit.
Akhirnya, Amel menyerah. Ia duduk di samping Radit dengan jarak yang cukup jauh. Radit tersenyum kecil.
"Sebelum itu, lo apa kabar?" tanya Radit.
"Penting gitu gue jawab?" balas Amel ketus.
"Gue baik," kata Radit yang tidak mempedulikan pertanyaan ketus Amel.
"Gue juga baik, apalagi gak ada lo. Tentram banget hidup gue sebelum lo dateng lagi," kata Amel.
"Gue mau berdamai sama masa lalu aja Mel. Gue tahu dan paham banget apa yang gue lakuin itu salah, tapi..."
"Ya udah tahu salah kenapa dilakuin bego," potong Amel kesal.
"Denger dulu atuh Mel."
"Iya-iya. Lanjutin."
"Gue ngelakuin itu karena gue merasa lo terlalu sibuk sama dunia lo sendiri Mel. Lo selalu mentingin apa yang pengen lo capai. Prestasi lo, lomba lo, kejuaraan lo. Sampai lo bahkan secara gak sadar menarik diri dari gue dan tenggelam di dunia lo yang seakan gak ada gue di dalamnya. Terlebih gue dan lo beda sekolah dan susah cari waktu untuk ngehabisin waktu berdua karena kita sama-sama sibuk." Amel terdiam cukup lama. Mencerna segala sesuatu yang baru masuk ke telinganya.
"Mel, please say something."
"Gue... Gue gak tahu harus ngomong apaan. Dulu lo selalu cerita apapun ke gue tentang kita. Tapi kenapa lo gak cerita tentang masalah sebesar ini dan lebih milih buat selingkuh?"
"Gue gak tahu. Sibuknya lo ngebuat gue merasa jauh banget dari lo dan jadi gak bisa terbuka sama lo. Lo tahu, Mel? Sampai detik lo mutusin gue, gue masih sayang banget sama lo. Yang gue lakuin memang pengecut. Mencari pelarian saat lo gak ada. Gue emang sepengecut itu, Mel."
Amel terdiam. Jadi, selama ini semua sakit yang Ia terima karena ambisi prestasi yang ingin diraihnya. Namun, Amel memiliki alasan tersendiri kenapa Ia melakukan itu. Otaknya sibuk mencerna, mencari kosa kata yang akan Ia ucapkan. Rasanya hanya terdapat tiga kata di kepalanya sekarang.
"Gue mau pulang." Kata-kata itu lolos dari bibir Amel.
"Mel."
"Gue perlu pulang, tolong."
"Gue anterin ya?"
"Gak perlu. Gue bisa jalan sendiri. Rumah gue gak jauh."
"Please...."
Amel mengalah. Ia membiarkan Radit mengantarnya pulang sore itu. Mereka menaiki motor ninja Radit yang masih sama seperti dahulu. Sudah sangat lama semenjak Amel duduk di boncengan motor itu. Tak bisa Amel pungkiri, Ia memang sedikit rindu.
Ini rumit. Di luar ekspetasi nya. Kesalahannya sendirilah yang membuat Radit jauh, yang membuat dirinya sendiri merasa terkhianati. Namun, perselingkuhan tetap saja tidak dibenarkan. Yang menjadi beban Amel sekarang adalah dialah penyebab awal semua ini terjadi. Sakit hati, kecewa, patah, rapuh, semua berawal dari keegoisannya yang tak disangka membawanya pada masa-masa yang menyakitkan.
Jarak rumah Amel tidak terlalu jauh dari taman. Hanya dalam waktu beberapa menit, mereka sampai. Sebenarnya ada satu hal yang ingin Amel tanyakan lagi, namun Ia urungkan. Gadis itu bingung apa yang akan Ia lakukan jika Ia tahu jawabannya. Dia akan memikirkan hal itu nanti.
"Makasih udah anterin gue," kata Amel pelan.
"Gak masalah Mel. Gue langsung pulang ya. Gue harap kita bisa ngobrol lagi," kata Radit. Amel terdiam sejenak.
"Kita akan ngobrol lagi nanti," putus Amel. Radit tersenyum.
"Makasih. Gue pulang dulu. Selamat istirahat."
Amel tidak menjawab dan menatap kepergian Radit dengan motornya. Gadis itu menghela nafas panjang, memejamkan mata sejenak, lalu masuk ke rumahnya. Entahlah, dia perlu banyak waktu untuk berpikir.
B E R S A M B U N G
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Knows?
Teen FictionAmel. Jika setiap siswa SMA Harapan mendengar nama Amel, maka yang terlintas dalam kepala mereka adalah anak populer kelas 11, tomboy, biang onar, seorang atlit, dan anak kesayangan guru olahraga. Walaupun mempunyai dua sahabat yang feminim, tetap s...