Dalam surat wasiat Carla. Wanita tengah baya itu menginginkan putranya Eren untuk menikahi Mikasa, gadis yang memilki rentang usia cukup jauh dengan Eren. Tidak ada alasan untuk Eren menikahi Mikasa, lantaran Mikasa sudah dianggap sebagai adik kandu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BGM / Taiko; leaves
🌿
CAHAYA biru yang ditimbulkan bulan memancar hangat.
Charlie berjalan ke tepian jendela rumah, membiarkan dirinya disiram cahaya bulan. Nyaris tengah malam, terasa sunyi. Pria tengah baya itu masih terjaga, rasa kantuk tak kunjung datang. Dia putuskan untuk menghirup udara segar, sambil membawa sebuah telepon genggam. Wajahnya kaku entah kenapa. Pikiran Charlie terasa keruh, dan juga gusar. Sendari tadi yang terlintas di kepalanya---hanya nama Mikasa. Anak gadis yang baru saja meninggalkan kediamannya.
Charlie berinisiatif untuk mencari kabar dari Levi. Telepon genggam yang dia bawa diarahkan ke telinga. Tak lama nada tunggu berdengung, Levi menyahut dengan nada datar. Levi yang bersedekap duduk di meja kerja, cukup terkejut.
"Bagaimana kondisi anak itu?" Charlie bertanya tanpa basa-basi.
"Dia baik," Levi menghela napas sebelum kembali bicara. "Dia baru saja tidur sehabis menata kamar barunya. Ada apa meneleponku malam-malam begini?" Levi berasumsi, jika tujuan sang ayah bukan hanya menanyakan kabar. Terbukti, nada suara Charlie kian terdengar serius.
"Sesuai dengan keputusanku dulu, aku berniat untuk memberitahunya saat anak itu sudah cukup dewasa. Bagai mana menurutmu?"
"Perihal surat wasiat mendiang Carla?" Levi mendesah. Bersender di kursi sambil menatap langit-langit plafon berwarna putih, berornamen kayu. Ruang kerja Levi yang tidak luas itu nampak temaram.
"Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur. Masalah ini tidak ada urusannya denganku. Tapi untuk sekedar menghargai bibi Carla, Mikasa berhak tahu. Tidak masalah, aku akan bantu menjelaskannya kepada anak itu," tukas Levi memijat pelipis yang mendadak berdenyut hebat. Seketika terbayang kenangan masa lalu---wanita tengah baya---yang kerap kali dia lihat di ranjang pasien dengan wajah pucat. Kendati demikian, Carla selalu tersenyum lembut. Seolah penyakit thalasemia yang dideritanya hanya masalah sepele.
"Bagai mana jika kita buat pertemuan secepatnya? Akan kuatur waktu dan tempat bersama Grisha. Sementara anak itu, kuserahkan padamu," Chalie bicara cepat, seakan tak memberi kesempatan Levi untuk berpikir.
Levi mendesah. Sekarang, desahannya lebih panjang. Seolah ada beban yang bersemayam dalam benak. Levi frustasi. "Kurasa anak itu akan bahagia, sekaligus akan sulit dia terima. Ntah lah---aku merasa besok akan ada badai datang menyertai kita. Jika itu keputusanmu, maka lakukan. Tugasku hanya menggiringnya, bukan? Akan kuurus anak itu setelah upacara penerimaan mahasiswa baru selesai." Levi enggan memikirkan apa pun lagi. Kehidupan pribadinya saja sudah membuat dia penat. Membicarakan masalah ini dengan Charlie, beban di pundaknya kian bertumpang tindih.
***
PAGI-PAGI sekali tercium aroma toast dari dapur apartemen Levi. Meja makan yang bersahaja di sampingnya juga terlihat penuh. Namun bukan sang pemilik rumah yang menyiapkan itu, malainkan sosok anggun dibalik apron bewarna biru tua. Bukan juga Mikasa, gadis itu masih sibuk merapikan dirinya di depan cermin. Levi tengah menyeruput espresso dengan wajah lesu. Wanita berambut panjang, menyerupai ekor kuda berkerut kening. "Kamu terlihat sangat lelah. Tidak tidur lagi semalam?" tanyanya, sembari menuangkan air putih ke gelas.