Part - 11

3.1K 203 8
                                    

🍁🍁🍁

"Mama."

"Mama di dapur son," Asyam mendekat meraih Bumi dalam gendongannya. Putranya ini selalu mencari ibunya saat baru membuka mata seperti saat ini.

"Mau mama," katanya. Bumi kembali memejamkan mata, kepalanya menyusup di ceruk leher sang Papa.

Asyam terkekeh pelan. "Oke kita ke mama."

Harum masakan tercium menggiurkan begitu Asyam membuka pintu kamar. Istrinya itu tengah sibuk menyiapkan sarapan untuknya dan sang putra.

Hanifa selalu terlihat mempesona jika sudah menyatu dengan dapur. Kedua tangannya begitu cekatan menyiapkan segala hal.

"Masak apa?"

"Eh." Hanifa terperanjat.

"Serius banget sih sayang? Suami sama anaknya di cuekin loh dari tadi."

Hanifa tergelak pelan. "Maaf, Ifa nggak liat tadi."

Asyam menggeleng pelan. "Wah kayanya mas kalah menarik nih sama masakan."

"Masa mas cemburu sama masakan?"

Asyam terkekeh. "Mas bercanda sayang."

"Ifa tahu kok," cengirnya.

Hanifa lalu mendekat. "Ifa masak bubur Ayam mas suka kan?"

Asyam mengangguk. "Ada yang nyariin mamanya."

Hanifa tersenyum. "Anak mama udah bangun?"

Bumi membuka matanya lalu merentangkan kedua tangannya begitu melihat sang ibu. "Endong." Katanya.

Asyam dan Hanifa tertawa mendengar suara cadelnya.

"Bumbum sama Papa dulu ya nak, mama lagi masak," Bumi mengangguk patuh ia kembali menyusupkan kepalanya pada leher sang papa.

"Pintarnya anak mama," puji Hanifa.

"Anak papa juga dong ma," Asyam bahkan tak mau kalah.

Hanifa tersenyum geli. "Iya anak papa kok."

Ia bersyukur sangat bersyukur kehadiran Bumi dan suaminya melengkapi segala kekurangan dan kekosongan yang Hanifa rasakan selama ini. Kini setiap harinya terasa begitu menakjubkan, menjadi seorang ibu dan istri dalam waktu yang terbilang singkat bagaikan mimpi indah yang tak berujung. Ia tahu jika lika liku kehidupan masih menantinya di depan, namun Hanifa yakin keluarga kecilnya mampu melewati rintang demi rintangan itu bersama dalam doa untuk tetap merajut bahagia.

****

"Pelan-pelan makannya." Hanifa mengusap lembut pipi gembul putranya.

"Bubum yayam mama enak."

"Bubur sayang, bu-bur."

"Bubul."

Lagi-lagi Hanifa dan Asyam tergelak mendengar celotehan Bumi. Usia Bumi sudah tiga tahun namun dia masih belum bisa berbicara dengan lancar.

Saat ini Hanifa dan keluarga kecilnya tak lagi menetap di hotel, suaminya memboyong mereka ke sebuah apartemen mewah yang jaraknya tak jauh dari restoran tempat Hanifa bekerja.

Yang Hanifa bingung kan hingga saat ini adalah masa cutinya yang di perpanjang hingga satu Minggu lamanya. Ini tidak seperti chef Erwin yang Hanifa kenal. Terlebih mereka baru saja meluncurkan menu baru pasti keadaan restoran akan jauh lebih ramai dari biasanya.

"Kok melamun?"

Hanifa tersentak begitu merasakan sepasang lengan kokoh yang memeluknya dari belakang.

"Ifa cuma heran aja, jarang-jarang loh chef Erwin baik begitu, apalagi ngasih Ifa cuti seminggu. Aneh banget kan mas?"

Asyam tersenyum di ceruk leher istrinya, ia memejamkan mata menghirup aromanya dalam-dalam. "Itu wajar sayang, kamu sudah bekerja keras."

"Tapi--

"Sssttt.." Asyam mengeratkan pelukannya dan semakin menyusupkan wajahnya pada ceruk leher sang istri, mengecup lembut di sana.

"Jangan di pikirin oke?"

Hanifa mengangguk kaku, ia masih belum terbiasa melakukan hal seintim ini.

Asyam terkekeh pelan. "Rileks sayang."

Asyam mengurai pelukannya ia membalik tubuh sang istri agar menghadap ke arahnya, lalu mencium keningnya lama.

"Mas sholat isya dulu," ucapnya lalu pergi, namun baru beberapa langkah Asyam kembali berhenti.

Ia berbalik lalu menatap istrinya dalam. Asyam mendekat. "Bisa di ulangi?"

"A--ayo sholat berjamaah mas," Hanifa gugup apalagi di tatap begitu lekat oleh suaminya.

"Sudah selesai?"

Awalnya Hanifa bingung, namun akhirnya ia mengerti lalu mengangguk pelan.

"Sekalian sholat Sunnah nya ya sayang?"

Wajahnya terasa panas ia menunduk lalu mengangguk kaku, sebelum ia teringat sesuatu. "Tapi Bumi--

"Bumi sudah tidur sayang."

Setelah melakukan sholat isya berjamaah lalu di lanjutkan dengan sholat Sunnah dua rakaat. Asyam menoleh lalu mengulurkan punggung tangannya ke hadapan sang istri. Hanifa menyambut uluran tangan tersebut dengan haru, ia menciumnya lama.

Asyam tersenyum lalu mengusap lembut puncak kepala istrinya. Ia mengangkat wajah tersebut lalu mendekatkan bibirnya pada kening Hanifa. Menciumnya, dengan kedua tangan yang menangkup kedua sisi kepalanya.

Asyam berdoa meminta baikan dan keberkahan untuk istrinya.

****

Ada yang kangen Asyam? Jangan lupa tinggalkan jejak, vote komen banyak-banyak biar mood nulisnya balik lagi 😆

See you next part ❤️

26.01.20

E.R

Mendadak AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang