Part - 12

5.3K 372 39
                                    

🍁🍁🍁

Tidak terasa sudah dua Minggu Asyam menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya, sebenarnya ia tidak rela meninggalkan Hanifa dan Bumi berdua di sini tapi pekerjaannya di Indonesia tidak bisa ia tunda lagi. Amar bahkan sudah beberapa kali menghubunginya perihal pekerjaan yang semakin menumpuk, Padahal Asyam sudah menyuruhnya untuk tidak menghubunginya sama sekali selama dua Minggu ini.


Asyam menghela nafas berat. Padahal dua Minggu lagi ia kembali kesini untuk menjemput Hanifa dan Bumi setelahnya tidak ada lagi jarak yang akan memisahkan mereka.

Tapi tetap saja membayangkan ia jauh dari Hanifa membuatnya gelisah, Asyam sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Hanifa di sisinya. Mungkin dua Minggu ke depan ia tidak akan bisa tidur nyenyak.

Terdengar menggelikan bukan? Tapi itulah yang memang akan terjadi.

Sapuan halus di pundaknya menyadarkan Asyam dari lamunannya. Ia tersenyum pada wanita yang kini tengah menatapnya bertanya. Asyam menggeleng pelan, ia membawa tangan itu menggenggamnya lalu mengecupnya lembut.

Tanpa peringatan Asyam menarik tubuh itu mendekat lalu mendudukkannya dalam pangkuan.

"Mas." Hanifa terlalu terkejut untuk merespon gerakan suaminya yang tiba tiba.

"Biarkan seperti ini sayang." ucapnya pelan.

Asyam semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Hanifa, kepalanya menyusup pada dada sang istri.

Jantung Hanifa berdebar kencang, ia yakin jika suaminya dapat mendengar detak jantungnya dengan jelas. Ia masih saja malu melakukan hal hal intim seperti ini.

Memberanikan diri Hanifa membelai rambut hitam suaminya lembut.

Asyam tersenyum dalam pelukannya. Ia semakin menyusupkan wajahnya di sana. Hingga dapat mendengar degup jantung istrinya yang semakin kencang. Asyam tertawa geli. "Bunyi nya kenceng banget sayang?"

Wajah Hanifa terasa panas. Ia menunduk untuk menatap suaminya yang kini tengah mendongak ke arahnya. "Masss jangan usil deh," ucapnya.

Asyam tergelak, istrinya sungguh menggemaskan.

"Besok berangkat jam berapa?" tanyanya memecah keheningan.

"Jam 5 pagi, jam 9 mas ada meeting."

"Mas langsung ke kantor?"

Asyam tersenyum. "Sepertinya begitu."

"Apa atasan mas nggak papa? Mas cutinya lama loh."

"Nggak masalah."

"Mas yakin? Ifa sering lihat mas bulak balik ngangkat telpon, apa itu dari atasan mas di kantor?" tanyanya khawatir.

Asyam tersenyum geli. Ia lupa jika istrinya memang belum mengetahui pekerjaan apa yang ia miliki. Rasanya menyenangkan melihat raut wajahnya yang terlihat mengemaskan di matanya.

"Yakin sayang, atasan mas sangat baik, dia sangat pengertian pada para pegawainya," Asyam memang tidak berbohong, Ayahnya adalah orang yang sangat baik dan bijaksana. Meski pun sekarang perusahaan sudah di alihkan kepadanya. Tapi tetap saja ayahnya lah pemilik perusahaan yang sebenarnya.

Hanifa menghela nafas lega. "Syukurlah Ifa khawatir, takut mas dapat masalah di kantor."

Jika saja istrinya tahu, tidak akan ada yang berani memarahinya di kantor. Terkecuali jika ayahnya sudah turun tangan.

"Jangan khawatir sayang, mas tidak akan di pecat dan menjadi pengangguran jika itu yang kamu takutkan," suara Asyam sedikit bergetar. Ia sekuat tenaga menahan tawanya.

Mendadak AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang