Part - 7

3.4K 159 6
                                    

🍁🍁🍁

Lagi-lagi Hanifa menahan nafas, saat merasakan kecupan lembut pada keningnya. Tanpa sadar ia memejamkan mata ikut meresapi setiap sentuhan yang suaminya berikan.

"Ayo kita pulang," ucap Asyam lembut setelah melepas ciumannya. Ia terkekeh pelan melihat kedua pipi istrinya yang memerah. Ingin sekali rasanya menciumi kedua pipi itu kalau saja ia tidak ingat ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikannya.

Asyam tahu persis tatapan itu, tatapan memuja yang laki-laki itu tunjukan untuk istrinya.

Ia menggeram kesal. Lalu merengkuh Hanifa dalam dekapannya. Menuntun Gadis dalam pelukannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Atau lebih tepatnya laki-laki itu!

"Chef hanifa..." Hanifa tersentak ia berhenti melangkah, lalu menoleh ke sumber suara. Ia melupakan keberadaan chef David yang masih mematung di tempatnya.

"Chef David, sa--saya." Hanifa terbata. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

"Hanifa akan pulang dengan saya, mari Chef--"  Asyam sengaja menggantung ucapannya.

"Perkenalkan saya David," ucapnya.

"Saya Asyam, kalau begitu kami duluan chef David." Setelahnya Asyam langsung menggenggam tangan Hanifa. Meninggalkan David yang masih bertanya-tanya dalam benaknya.

Keadaan di dalam mobil sangat hening, saking hening nya membuat Hanifa menguap berkali-kali. Namun belum ada tanda-tanda suaminya akan mengajaknya bicara, netra sekelam malamnya menatap lurus ke depan bibirnya bahkan terkatup rapat, Hanifa tidak tahan lagi dengan kesunyian ini di tambah rasa lelah yang ia rasakan. Hingga akhirnya Hanifa jatuh terlelap di kursinya.

Asyam tahu tidak seharusnya rasa kesal mendominasi suasana hatinya saat ini, tapi begitu membayangkan laki-laki tadi membuat suasana hatinya kian memburuk. Di tambah dengan kenyataan bahwa mereka berkerja dalam lingkup ruang yang sama, itu semakin membuatnya jengkel bukan main. Asyam hanya tidak suka miliknya di tatap sedemikian rupa oleh laki-laki lain.

Asyam menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah hotel mewah. Ia menoleh kesamping menatap istrinya yang sudah terlelap. Ia menyesal sudah mengabaikannya tadi. Mengecup keningnya singkat Asyam turun lalu membuka pintu yang Hanifa tumpangi.

Perlahan Asyam merengkuh Hanifa dalam gendongannya. Membawanya menyusuri lobby hotel. Ada berpasang pasang mata yang menyaksikannya memandang takjub kearahnya. Asyam sudah biasa mendapat tatapan seperti itu. Namun terkadang ia merasa jengah dengan wanita-wanita yang terang-terangan menatapnya seperti hewan buas yang mendapatkan mangsa.

Asyam bahkan mendengar pekikan tertahan dua resepsionis di depan sana. "Selamat malam pak," sapa nya ramah. Asyam hanya mengangguk singkat, terus melangkahkan kakinya dengan Hanifa yang masih tidak terusik dalam gendongannya.

Hingga langkahnya terhenti di depan sebuah kamar, suite room. Asyam tidak terlihat kesusahan membuka pintu akses dengan sebelah tangannya. Ia bahkan menolak bantuan dari karyawan hotel yang berjaga di depan tadi.

Setelah berhasil masuk laki-laki keturunan Arab itu perlahan meletakan Hanifa di atas ranjang miliknya. Menyelimutinya lalu memandangi wajahnya dari dekat.

Sekarang dirinya bisa menatap wajah cantik istrinya, sepuasnya. Tanpa ada lagi gangguan, tanpa ada lagi halangan. Menahan diri selama hampir tiga Minggu bukan hal yang mudah, ia hanya ingin melihat istrinya dari dekat, bukan melalui gambar atau mengetahui kabarnya dari orang lain. Ia ingin menanyakannya langsung ia ingin mendengar suaranya langsung, tapi ia takut tidak bisa menahan diri.

Mendadak AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang