Part 3

4.6K 249 14
                                    

Kuhapus air mata di kedua pipiku, mencoba untuk tetap tegar di hari pertama pernikahanku. Aku berdiri dan berniat untuk pergi ke taman belakang, melupakan sejenak rasa sakit di hatiku. Namun, saat membuka pintu, aku terkejut mendapati seseorang yang sedang berada di depan pintu kamarku.

__________

"Om!"

"Mulai hari ini kamu harus membiasakan diri memanggilku papa. Sekarang aku adalah papamu, Aisya!" ucapnya begitu terdengar lembut di telingaku.

"Iya Om, eh Papa."

"Maaf, atas semua perkataan Malik kepadamu! Mungkin dia seperti itu karena dia belum mengenal jauh tentang dirimu. Papa tidak berniat untuk membuat hidupmu semakin kacau. Papa percaya kamu gadis yang baik, bersabarlah dalam menghadapi Malik yang kini telah menjadi suamimu. Tidak ada buah kesabaran yang hasilnya buruk, insyaallah buah kesabaran itu akan berbuah manis pada waktunya."

Aku mengangguk, lalu tersenyum.

"Tidak perlu khawatir, Pa! Aisya akan tetap bertahan untuk Papa dan Mas Malik, sekarang Aisya tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian."

"Terima kasih Aisya!"

"Aisya yang harusnya banyak berterima kasih pada Papa," ucapku seraya tersenyum.

"Sekarang kamu mau kemana?"

"Aisya ingin pergi ke taman belakang, Pa."

Papa mengangguk, terlihat jelas kekhawatiran di raut wajahnya yang semakin menua. Andai saja ayahku seperti papa, mungkin aku akan merasa sangat bahagia dan bersyukur, tetapi walau bagaimanapun dia tetap ayahku. Ayah yang telah membesarkanku, ayah yang dulunya selalu rela panas-panasan dan kehujanan hanya untuk mencari nafkah untuk aku dan ibuku.

Sampai kapan pun semua jasa dan pengorbanannya takkan pernah terbalaskan. Walaupun sekarang ia berbeda. Namun, aku yakin ayah memiliki alasan tersendiri, mengapa sampai tega melakukan itu padaku?

________

Pagi harinya aku membiasakan diri menyiapkan sarapan untuk Papa dan Mas Malik. Sebenarnya ada Mbok Yun yang bertugas menyiapkan sarapan, tapi untuk apa aku hadir di tengah-tengah mereka kalau hanya untuk numpang makan dan tidur. Selain itu, aku juga kasian sama Mbok Yun yang umurnya sudah terbilang sangat tua. Mbok Yun sudah kuanggap seperti ibuku sendiri.

"Hari ini kita akan pindah rumah! Aku sudah mendapatkan rumah yang dekat dengan kantorku," ucap Mas Malik dengan nada sedikit ketus.

"Kenapa harus pindah? Bukankah rumah ini juga luas untuk kalian tempati?" tanya papa, tersirat ada kekhawatiran di raut wajahnya.

"Belajar mandiri!" balas mas Malik singkat.

Papa menoleh ke arahku, memastikan aku sependapat dengannya. "Mungkin yang diucapkan Mas Malik benar, Pa. Mungkin aku dan Mas Malik harus belajar hidup mandiri, supaya bisa lebih mengakrabkan diri," ucapku lirih, ada keraguan saat aku mengucapkannya.

Kulihat papa tersenyum mendengar ucapanku, berbeda dengan Mas Malik yang langsung tersedak karena mendengar ucapan konyol yang terlontar dari mulutku.

Segera kuambilkan minum dan langsung kuberikan padanya. Namun, Mas Malik tidak mempedulikannya. Ia lebih memilih mengambil minumnya sendiri.

"Sabar, Aisya! Orang sabar itu kekasih Allah." Aku mencoba menyemangati diriku sendiri.

Setelah selesai sarapan, aku mengemas barang-barang yang akan dibawa pindah ke rumah yang baru. Kalau masalah pakaian jangan di tanya, aku hanya memiliki beberapa lembar pakaian gamis yang kemarin dibelikan papa mertuaku.

Mas Malik mengemasi pakaiannya sendiri, bukan tidak ingin aku membantunya. Dia melarangku untuk menyentuh semua barang-barangnya.

"Jangan menyentuh barangku! Aku tidak ingin barangku terkena najis dari tangan perempuan sepertimu." Itulah yang dia ucapkan saat aku akan membantunya.

Astagfirullah ... sehina itukah aku di matamu mas? Kuhapus air mata yang menetes di kedua sudut mataku, belajar untuk selalu terbiasa dengan ucapan buruknya. Mungkin dia berkata seperti itu karena memang belum mengenal jauh tentangku, dia hanya salah paham kepadaku! Karena terkadang apa yang kita lihat tidak seperti apa yang kita pikirkan.

"Papa tidak bisa mengantar kalian ke rumah yang baru. Jaga istrimu baik-baik, Malik. Insyaallah dia akan menjadi istrimu yang salihah."

Mas Malik tidak menjawabnya, dia langsung melangkah keluar rumah tanpa menghiraukan ucapan papa. Dia juga berteriak kepadaku agar cepat-cepat menaiki mobilnya.

"Aku pamit, Pa. Jangan terlalu dipikirkan sikap Mas Malik! Aisya yakin suatu saat nanti dia akan berubah."

Papa mengangguk dan tersenyum.

"Papa percaya padamu, Aisya. Kamu pasti bisa mengembalikan Malikku yang dulu."

Setelah pamit dan bersalaman dengan papa, aku langsung bergegas menuju mobil Mas Malik. Aku sadar akan posisiku, aku lebih memilih duduk di kursi bagian belakang untuk penumpang.

"Memangnya aku supirmu, duduk di kursi depan, tapi ingat jangan menyentuhku!"

Aku langsung pindah ke kursi depan.

"Siapa juga yang berminat untuk menyentuhmu, Mas?" Mas Malik terlihat kesal dan langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sedang.

"Jangan munafik! Aku tahu perempuan seperti apa dirimu. Pastinya sudah banyak pria kaya di luar sana yang menjadi korbanmu, jilbabmu hanya kau jadikan kedok saja untuk menutupi semua kelakuan kotormu."

Astagfirullah ... harusnya aku bersyukur, dekat dengan mas Malik membuatku jadi lebih sering beristigfar. Kalau saja aku tidak ingat dengan posisiku sebagai seorang istri, mungkin aku akan langsung mencabik-cabik mulutnya yang tak pernah menjaga ucapannya.

"Hati-hati dengan ucapanmu, Mas! Mulutmu harimaumu, jangan sampai lisanmu menjerumuskanmu lebih dalam lagi. Mungkin aku terlihat rendah dan hina di matamu, tapi apakah kau pernah melihatku bergandengan tangan dengan pria lain yang bukan mahramku? Apakah kau pernah melihatku tidur dengan seseorang yang bukan suamiku? Apakah kau pernah melihatku berkencan dengan pria kaya di luar sana? Dan apakah kau pernah melihatmu bercumbu dengan papamu sendiri?" ucapku lirih.

"Tapi ka-"

"Jangan pernah menyimpulkan sesuatu hanya dari apa yang kita lihat, terkadang apa yang kita lihat baik belum tentu baik, dan apa yang kita lihat buruk belum tentu juga buruk. Maaf kalau Aisya banyak bicara, bukan karena Aisya merasa paling benar, tapi memang apa yang dituduhkan mas Malik tentang diri Aisya itu tidaklah benar!"

Mas Malik diam, tetapi aku tidak tahu diamnya itu karena memang membenarkan apa yang aku katakan atau memang karena tidak ingin berdebat lebih jauh lagi denganku.

________

Mobil mas Malik berhenti di depan sebuah rumah minimalis dengan desain sederhana namun terkesan mewah. Aku langsung menurunkan semua barang-barangku dari mobil, sepertinya Mas Malik tidak berniat sedikit pun untuk membantunya.

"Kau tinggal memilih, kamar mana yang akan kau tempati. Ingat kau tidak boleh masuk ke kamarku yang berada di lantai atas!"

"Aku mengerti!"

Aku langsung membawa barang-barang ke kamarku, membereskan semua ke tempat yang sudah disediakan. Setelah selesai, aku berniat untuk melihat sekeliling rumah. Namun, baru saja aku ke luar dari kamar, aku melihat Mas Malik tengah bermesraan dengan seorang wanita di ruangan televisi.

Dia mengatakan hal buruk tentangku, padahal dia sendiri yang kelakuannya lebih buruk dariku. Untuk ke sekian kalinya aku beristigfar, apa bedanya aku sama Mas Malik kalau pikiranku suuzan seperti itu.

Bismillah, menarik napas panjang, lalu berjalan ke arah mereka. Wanita itu menatap tidak suka kepadaku, begitu pun dengan mas Malik yang hanya melirik singkat ke arahku.

"Siapa dia, Mas? Apakah dia pembantu baru di sini?" tanya wanita yang berada di samping suamiku.

Bersambung

25-10-2019



Lantunan Cinta Aisya (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang