Part 5

4.5K 279 32
                                    

Kedua netra kami beradu, manik mata itu selalu berhasil menghipnotisku, seakan menghentikan detak jantungku, melemahkan denyut nadiku, dan membekukan aliran darahku.

Aku tidak boleh larut dalam rasa ini, rasa yang sering membuat seseorang yang merasakannya bahagia, sedih, kecewa, dan sakit hati. Rasa yang hanya dimiliki oleh mereka yang pantas merasakan cinta.

Tanpa memedulikan tatapannya, aku segera berbalik dan meneruskan pekerjaanku mengantarkan pesanan ke pengunjung. Di meja paling ujung itu, aku melihat Mas Malik sedang asyik bercanda ria dengan dua rekan kerjanya dan untuk pertama kalinya, aku melihat senyuman dari seorang Malik. Senyuman yang tidak semua lelaki memilikinya.

Setelah pekerjaanku selesai, diam-diam aku memperhatikan Mas Malik. Hangat dan bersahabat, itulah yang aku lihat dari sikap dia kepada sahabat-sahabatnya. Berbeda dengan apa yang dia perlihatkan di depanku dan papanya. Tak terasa bibirku pun melengkung, bak bulan sabit. Entah mengapa ada sebersit rasa hangat yang mengalir ke dalam hatiku, melihat dia tersenyum dan tertawa. Walaupun aku tahu senyum itu bukan ditunjukkan kepadaku.

"Jangan menatapnya seperti itu, kamu tidak akan kuat. Biar aku saja!" Tiba-tiba Alin membuyarkan lamunanku, menatap curiga ke arahku.

"Aku tidak sedang memperhatikan siapa-siapa kok," ucapku malu seraya memasang senyum yang sedikit manis untuk membuat Alin percaya kepadaku.

"Aku memperhatikanmu lho, Sya. Dari tadi tatapanmu mengarah ke meja paling ujung sana terus. Ingat bukan mahram!"

"Sudah mahram kok, Lin. Makanya aku berani menatapnya," ucapku dalam hati.

"Dia Malik Awwaz, seorang pengusaha sukses yang merintis kalir sendiri. Dia tidak pernah mau berpangku tangan hanya mengandalkan harta Ayahnya saja. Padahal Ayahnya itu CEO terbesar di Asia lho."

"Kenapa kamu tahu semua tentangnya, Lin?" tanyaku penasaran.

"Aku sudah dua tahun bekerja di sini semenjak kafe ini di buka, jadi sedikit demi sedikit tahu tentang dia dan karyawan-karyawannya."

"Terus apa lagi yang kamu tahu tentang dia?" tanyaku begitu antusias.

"Kamu kepo, yang pasti dia itu idaman semua wanita, sayangnya, belum ada yang mampu mengetuk pintu hatinya!"

Tiba-tiba seorang wanita dengan rok selutut memasuki kafe, aku bukanlah tipe wanita yang suka memperhatikan penampilan orang lain. Namun, melihat dandanannya yang berlebihan dengan pakaian yang seksi, membuatku merasa malu sendiri sebagai seorang wanita.

Tatapanku terus mengarah ke wanita tadi, dia berhenti di meja paling ujung, di mana suamiku sedang berada di sana. Siapa lagi wanita itu? Wanita berbeda dengan wanita yang waktu itu datang ke rumah.

"Jangan melihat terus ke arah wanita itu, ketahuan tahu rasa lho!"

Astagfirullah ... ternyata Alin masih saja memperhatikanku.

"Siapa dia?" tanyaku penasaran.

Aku memang harus mulai mengenal lebih banyak tentang suamiku, kalau tidak, aku akan terus suuzan kepadanya. Dan kebetulan Alin sepertinya tahu sedikit demi sedikit tentang Mas Malik.

"Dia, Nona Oliv. Seorang model terkenal. Namun, sayangnya ia tipe wanita pemaksa. Apa pun yang dia mau, tak ada yang bisa menolak dan menghalanginya, kecuali, Malik Awwaz."

"Pacarnya-"

"Bukan! Setahuku pak Malik itu tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Hanya saja, wanita-wanitanya yang kecentilan menempel seperti prangko kepadanya."

Satu fakta yang aku tahu tentang suamiku. Maafkan aku ya Allah, telah suuzan kepada suamiku sendiri, tetapi mengapa waktu itu dia tidak menolak disentuh wanita yang bertamu ke rumah?

Tiba-tiba Meta datang bersama seorang pria yang tak lain kakaknya, pemilik kafe tempatku sekarang bekerja.

"Assalamualaikum, Aisya. Bagaimana kabarmu? Sudah lama tak berjua, membuatku merindu setengah hati," ucap kak Dino, dari dulu dia memang sosok yang humoris.

"Yah ... kok setengah hati Kak, kirain mau bilang setengah mati. Biar bikin Aisya klepek-klepek," sahut Meta.

"Waalaikumsalam, Kak. Kabar Aisya alhamdulilah baik," jawabku seraya tersenyum singkat. Sesekali mataku mencuri pandang ke arah suamiku.

Segera kualihkan tatapanku, saat aku sadar kedua netra kami bertemu. Alin yang curiga kepadaku terus-menerus mencubit tanganku. Seakan bertanya mengapa tatapanku selalu mengarah ke meja Mas Malik? Aku berikan senyuman termanisku, lalu aku menggeleng.

"Tidak apa-apa, aku hanya geli melihat wanita itu!" bisikku lirih di telinganya.

"Heh, pelayan, sini!" teriak Oliv menunjuk ke arahku.

Aku bertanya pada mereka, mengapa aku yang dipanggil wanita itu? Namun, mereka bilang, lebih baik aku menurutinya saja. Daripada harus memiliki masalah dengannya.

Dengan langkah pasti aku menuju ke meja wanita itu, meja di mana Mas Malik sedang berada di sana.

"Iya Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku penuh keraguan.

"Iya, aku sedang ingin bermain-main di sini. Aku ingin kamu mencium pria yang berada di sampingku?"

Astagfirullah ... ada apa dengan wanita ini? Tiba-tiba menyuruhku melakukan hal yang tak mungkin kulakukan.

"Apa maksudmu, Liv?" tanya Mas Malik.

"Bukankah kamu selalu menolak, jika aku mendekatimu? Jadi boleh dong, aku menyuruh dia menciummu. Aku ingin tahu gimana reaksimu, jika wanita culun ini yang menciummu!"

"Kau sudah gila, Oliv!" ucap Mas Malik seraya melangkah meninggalkan wanita itu.

"Iya, aku gila karenamu, Malik!"

Aku bernapas lega saat Mas Malik berhasil keluar dari kafe. Namun, saat aku akan kembali ke meja kasir, wanita itu memanggilku kembali. Dia melampiaskan kekesalannya padaku, sebuah tamparan keras berhasil mendarat di pipiku. Namun, saat dia akan menamparku kembali, ada seseorang yang mencekal tangannya.

"Ini kafe saya, tolong Anda jangan berbuat seenaknya di sini. Wanita ini tidak melakukan kesalahan apa pun kepada Anda. tidak masuk di akal, jika Anda melampiaskan kemarahan kepadanya. Silahkan keluar! Jangan pernah menginjakkan lagi kakimu di sini!" ucap Kak Dion sambil menghempaskan tangan wanita itu.

Meta dan Alin langsung menghampiriku dan mencoba untuk menenangkanku. Wanita itu keluar dari kafe dengan wajah menahan kesal, begitu pun dengan sahabat Mas Malik, aku tidak mengerti mengapa mereka takut pada wanita seperti Oliv.
________

Sore harinya aku pulang ke rumah, menyiapkan makan malam, membersihkan tubuh dan melaksanakan salat Asar. Kejadian tadi siang tidak luput dari ingatanku, mengapa hidupku tidak pernah terlepas dari masalah? Kapan aku akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup?

Tidak ... bukan itu yang Allah suka dari setiap hamba-Nya. Tidak seharusnya, aku menyerah dan putus asa seperti ini! Cobaan ini tidak seberapa berat dengan apa yang dialami Rosulullah dan para nabi sebelumnya, yang mendapatkan caci maki dan hinaan saat menyebarkan agama Islam.

Astagfirullah ... betapa lalainya diri ini, betapa rapuhnya jiwa ini dan betapa lemahnya hati ini. Padahal setiap waktu Engkau selalu bersamaku, tak pernah sedikit pun meninggalkanku.

Tidak seharusnya aku membiarkan diri ini larut dalam kesedihan, tidak seharusnya juga membiarkan diriku menyimpan rasa benci yang hanya akan menyakiti diriku sendiri.

Setelah merenungi semua, aku melangkah ke luar kamar. Mungkin duduk di taman bisa menenangkan pikiranku, bunga dan kumbang di sana sudah seperti sahabatku sendiri.

Aku melihat Mas Malik sedang duduk di kursi ruang tamu, seperti biasa dia sedang fokus dengan laptopnya. Tak berniat mengganggunya, juga tidak berniat berdebat dengannya. Aku berjalan melewati Mas Malik dengan wajah tertunduk, dan pikiran tak menentu. Dia tidak berucap jelek tentangku pun, menurutku itu sudah bagus.

"Kenapa kau diam saja, saat wanita tadi menamparmu?"

Bersambung ....

27-12-2019

Lantunan Cinta Aisya (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang