Part 6

4.4K 281 36
                                    

Langkahku terhenti saat mendengar pertanyaan dari Mas Malik. Aku menoleh, lalu tersenyum getir.

"Karena ibu tidak pernah mengajarkanku untuk membalas kebencian dengan kebencian, sekalipun dia telah menyakiti kita."

"Wanita lemah," ucapnya lirih. Namun, masih terdengar jelas di telingaku.

Sepertinya lelaki ini memiliki hobi mencela dan merendahkan orang lain. Aku tidak boleh terbawa emosi, insyaallah stok sabarku masih banyak.

"Kalau Mas tahu aku lemah, mengapa Mas Malik tidak menolong dan membelaku saat ada seseorang yang menyakitiku?"

"Apa untungnya aku menolong wanita sepertimu?"

"Setidaknya Mas telah melindungi istrimu sendiri, bukankah melindungi istri itu kewajiban dari seorang suami?"

"Karena ak-"

"Karena Mas tak pernah menganggapku sebagai istrimu. Mas tenang saja, aku juga tidak akan meminta hakku sebagai seorang istri. Kita hanya dua orang asing yang ditakdirkan untuk tinggal dalam satu atap yang sama."

Setelah mengucapkan itu aku kembali ke kamar, mungkin kasur adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan kita dan menumpahkan semua kesedihan kita di sana. Berpura-pura kuat itu sangat menyakitkan. Namun, aku tidak ingin terlihat lemah di mata suamiku sendiri.

_________

Keesokan harinya, seperti biasa, setelah salat Subuh aku langsung menuju ke dapur. Menyiapkan sarapan pagi untuk Mas Malik. Walaupun aku tahu selama ini Mas Malik jarang makan di rumah. Namun, tak jarang pula aku memergokinya diam-diam memakan masakanku saat dia tahu kalau aku tengah berada di kamar.

Aku mengetuk pintu kamar Mas Malik, walau bagaimanapun dia suamiku. Aku harus berpamitan kepadanya sebelum bekerja.

Merasa tidak ada sahutan dari dalam, aku mencoba membuka pintu kamarnya. Walaupun dia sempat melarang, tapi apa salahnya bila seorang istri masuk ke kamar suaminya sendiri.

"Mas aku berangkat kerja dul-"

"Ya Allah, kamu demam Mas," ucapku panik.

Mas Malik terbangun, awalnya dia menolakku untuk mengurusinya. Namun, aku tidak menggubris ucapannya, aku tahu hanya mulutnya saja yang berkata kasar tapi tidak dengan hatinya.

Setelah membuatkan bubur, aku kembali ke kamar Mas Malik. Tidak lupa menelepon Meta, meminta izin untuk tidak masuk kerja hari ini. Aku tidak mungkin meninggalkan Mas Malik dalam keadaan sakit seperti ini.

Walau bagaimanapun sikapnya padaku, tapi dia tetap seorang suami yang harus aku hormati. Apalagi di saat sakit seperti ini, siapa lagi yang akan merawatnya selain aku sendiri yang kini berstatus sebagai istri sahnya.

"Mas, kamu makan dulu. Aku sudah membuatkan bubur untukmu."

Tidak ada jawaban dari Mas Malik, dia tetap berbaring membelakangiku. Aku tahu dia tidak tidur, hanya saja egonya yang terlalu tinggi untuk tidak menanggapi ucapanku.

"Hilangkan dulu kebencianmu padaku, Mas. Setidaknya biarkan aku mengurusimu selama kamu sakit. Aku tidak ingin melalaikan kewajibanku sebagai seorang istri. Kau boleh membenciku, tapi jangan membiarkanku menambah dosa dengan tidak mengizinkanku mengurusmu."

Aku menyentuh tangannya, mencoba untuk membalikkan tubuhnya ke arahku. Kukira dia akan menolaknya. Namun, ternyata dia menurutiku.

"Makanlah, aku akan menyuapimu!"

Dengan telaten aku menyuapi Mas Malik bubur, suapan demi suapan masuk ke dalam mulutnya. Sesekali manik mata itu menatap sendu ke arahku.

"Mengapa kau masih mau mengurusiku? Bukankah aku selalu bersikap jahat kepadamu?" tanyanya lirih.

Senyumanku mengembang! Aku menemukan sisi lain dari Mas Malik, saat dia bertanya seperti itu. Ada rasa bahagia yang tak bisa kuungkapkan lewat kata-kata. Untuk pertama kalinya dia tidak berkata kasar kepadaku.

"Karena aku tidak pernah membencimu, Mas. Bagaimanapun sikap dan sifatmu padaku, aku tidak akan pernah bisa membencimu. Mas itu suamiku dan Islam tidak pernah membenarkan seorang istri membenci suaminya sendiri. Aku takut Allah murka, bila membiarkan rasa benciku semakin besar kepadamu."

"Hm!"

"Jangan terlalu banyak pikiran, habiskan makannya, minum obat, dan kembali tidur."

"Terima kasih, kau sudah bersedia mengurusku," ucap Mas Malik, yang langsung aku balas dengan sebuah anggukan singkat.

Melihat Mas Malik seperti itu, rasanya ada sesuatu yang berbeda di dalam hatiku. Jangan sampai sikap baiknya membuatku jatuh cinta kepadanya, dia seperti ini karena memang dia tengah sakit. Saat dia sehat, sikapnya akan kembali ke semula.

Setelah selesai menyuapi bubur dan meminumkannya obat, aku berniat beranjak dari sana. Namun, sebuah cekalan di tangan menghentikan niatku.

"Jangan pergi kemana-mana!" ucap Mas Malik seraya memasang tatapan yang memohon.

Aku mengangguk dan melempar senyum kepadanya.

"Baik, tidurlah aku akan menemanimu di sini."

Aku menyelimuti tubuh Mas Malik, matanya mulai terpejam. Aku tatap setiap inci wajahnya, sungguh dia terlihat begitu tampan. Alin benar, wanita mana yang tidak akan terpesona dengan ketampanan yang ia miliki, pastinya semua wanita akan jatuh hati padanya.

Astagfirullah ... aku tidak oleh membiarkan rasa ini menjadi semakin dalam, wanita secantik dan terkenal seperti Oliv saja tidak ia sukai apalagi wanita seperti aku.

__________

Setelah Mas Malik sembuh dari sakitnya, aku meminta izin untuk kembali bekerja. Tidak enak hati sama mereka, karyawan baru sepertiku yang baru satu hari kerja sudah langsung membolos.

Sesampainya di kafe, Alin dan Meta terus-menerus menanyakan alasanku, mengapa hari kemarin tidak masuk kerja? Tentu saja aku tidak menjawab pertanyaan mereka, aku berpura-pura tidak mendengarnya.

"Seharian kemarin Kak Dion menanyakan kamu terus, Sya."

Aku yang sedang minum jus alpuket, tiba-tiba tersedak mendengar ucapan Alin.

"Mau apa Kak Dion mencariku? Bukannya aku sudah meminta izin padamu, Met."

"Ya biasa, Sya. Dia mungkin kangen sama kamu."

Aku memutar mata malas, jujur dari dulu memang Kak Dion selalu mencoba mendekatiku, tapi aku tidak menyukainya, dia sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri.

Beberapa pengunjung kafe mulai berdatangan, seperti biasa aku dan Alin sibuk mengantarkan pesanan ke meja pengunjung. Hari ini kulihat Meta pun turun tangan membantu kami, karena kami hampir kewalahan dengan pengunjung kafe yang semakin banyak.

"Hai, cantik." Salah seorang pengunjung mengerling nakal kepadaku. Dia hampir saja mencolek tubuhku. Namun, ada seseorang yang mencekal tangannya dan menghempaskan tangan pria itu dengan kasar. Aku menoleh dan terkejut mendapati dia yang tengah menatap dingin ke arahku.


Bersambung ....

29-12-2019

Lantunan Cinta Aisya (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang