Cerita ini sedikit ada unsur agamanya, tapi nggak terlalu berat yah biasa lah perihal rumah tangga. Ini pemanasan dulu ya, tahun depan baru mulai aktif buat tamatin cerita-cerita emak.
Semoga sukaaa...
Happy reading lope~lope
***
"Jadi, saya mandul, dok?" Wanita berwajah cantik itu menatap penuh kecemasan menunggu penjelasan dari dokter spesialis kandungan. Ditemani dengan suaminya, Annisa berharap hasil kesuburannya memuaskan sesuai apa yang dirinya harapkan.
Dokter Putiha tersenyum lembut. "Bukan mandul," kilah dokter Putiha hati-hati. "Rahim Ibu hanya kurang subur," lanjutnya.
Annisa mendesah pelan. "Kami menikah sudah lima tahun, dok. Usia saya juga sudah 32 tahun, kecil kemungkinan kalau saya bisa hamil, dok?" Suami Annisa, Afnan hanya bisa tersenyum tipis sembari mengusap jemari istrinya penuh sayang.
"Sabar, Sayang."
Annis menoleh, menatap sedih suaminya. "Aku nggak akan bisa kasih kamu keturunan, Mas."
"Sebenarnya, manusia hanya punya rencana, Bu. Allah yang punya kehendak. Saya nggak bisa memonis Ibu mandul karena belum tentu dan banyak pula yang divonis mandul bisa hamil. Jadi, semua kita pasrahkan lagi pada Allah," imbuh dokter Putiha menenangkan.
Afnan merangkul bahu istrinya mesra, mengecup samping kepala istrinya tanpa malu. Afnan terlalu mencintai istrinya. "Nggak masalah, Sayang. Kita sudah ikhtiar, tinggal berserah diri memohon agar segera dipercaya memiliki momongan."
Mata Annisa memanas, hatinya terasa sakit. Gagal sudah harapannya membangun rumah dengan suara riang seorang anak. Tidak mau membuat suaminya bersedih, Annisa tergesa mengusap matanya agar air matanya tidak tumpah. "Apa ada obatnya, dok?"
Dokter Putiha mengangguk cepat. "Tentu saja ada, Bu. Saya akan resepkan obat kesuburan, semoga saja bisa sedikit membantu. Ibu husnudzon ya pada Allah. Semoga saja segera diberikan kepercayaan."
Annisa tersenyum paksa mengangguk. "Saya juga berharap begitu, dok." Annisa berdiri bersamaan dengan suaminya, berjabat tangan kecuali suaminya yang bersalaman jarak jauh sesuai syari'at. "Makasih, dok. Jangan bosan bertemu saya," gurau Annisa yang disahuti dengan tawa kecil sang dokter.
"Saya nggak akan bosen, Bu."
Afnan ikut tersenyum. "Makasih, dok."
"Sama-sama, Pak."
Keduanya keluar dari ruangan dokter dengan Annisa yang bergelayut manja pada lengan suaminya. "Ternyata nggak gampang mau hamil itu," cetus Annisa setengah bergumam.
Afnan tersenyum, mengusap kerudung istrinya penuh sayang. "Intinya, kita belum dipercaya aja, Sayang. Kalau sudah dipercaya, kamu pasti hamil. Mungkin Allah mau kita puas-puasin dulu pacaran," hibur Afnan dengan nada lembut.
Annisa berdiri tegak, menghentikan langkahnya menatap suaminya lekat. "Kamu baik-baik aja, kan?" Annisa takut suaminya meninggalkan dirinya karena belum bisa memberikan keturunan.
Senyum indah melengkung dari wajah tampan Afnan. "Aku baik, seharusnya aku yang tanya begitu sama kamu. Kamu baik-baik aja, kan?"
Annisa meringis. "Wanita mana yang nggak hancur perasaannya karena belum bisa sempurna dengan mengandung buah hati." Annisa memang tidak bisa berpura-pura, dia akan menunjukkan ekspresinya. Mau sedih, senang atau marah. "Aku sih pengennya nangis, tapi malu sama Bu dokter," celetuk Annisa mengundang tawa dari suara berat Afnan.
"Kamu ini lucu banget sih," Afnan mencubit pipi Annisa gemas. "Nggak apa-apa, Sayang. Aku akan selalu cinta sama kamu."
Mereka memang menikah lima tahun lalu, berkenalan tidak sengaja dari masjid tempat mereka mendengar dakwah mingguan. Afnan terpesona dengan sorot mata teduh milik istrinya langsung jatuh hati, tanpa menunggu lama langsung mendatangi rumah istrinya untuk melamar. Hanya tiga bulan berkenalan tanpa ikatan pacaran, akhirnya mereka memutuskan menikah dan sampai sekarang rasa cinta Afnan semakin menggunung untuk istrinya.
"Mas," Annisa menatap ragu pada suaminya. "Kalau kamu mau mencari wanita lain, aku nggak akan keberatan untuk kamu ceraikan," ucap Annisa dengan keraguan yang sangat kentara.
Sebelah alis Afnan naik, terkejut dengan ucapan sang istri. "Apa yang kamu katakan itu?" Afnan melirik kanan-kiri untuk memastikan lorong sepi. "Kenapa kamu berbicara seperti itu?"
Annisa menghela napas, mengedik pelan. "Aku cuma nggak mau kamu terikat sama aku yang jelas nggak bisa kasih keturunan sama kamu. Aku yakin dalam lubuk hati kamu pasti menginginkan kehadiran seorang anak."
Wanita dan asumsinya sangat berbahaya memang. Afnan mengembuskan napas berat. "Bukan cuma aku doang, kamu juga mau punya anak, kan?" tanya Afnan yang langsung diangguki oleh Annisa. "Itu perasaan yang wajar untuk kita sepasang suami-istri, tapi kalau Allah belum mengizinkan kita punya anak. Masa kita harus memaksa?"
Mata Annisa berkaca-kaca, mendongak menatap suaminya sendu. "Aku suka memaksa dalam doaku." Iya. Annisa selalu memaksa pada Allah untuk segera mempercayakan buah hati pada rahimnya.
"Maksudku memaksakan kehendak dengan menikahi wanita lain, Sayang."
"Aku beneran, Mas."
"Aku juga beneran," tukas Afnan kemudian menuntun Annisa kembali melangkah. "Kita ikhtiar sudah, tinggal pasrah. Jangan ngomong yang aneh-aneh deh."
Annisa menahan langkahnya membuat suaminya ikut berhenti menatap heran padanya. "Apa lagi?"
"Aku serius menawarkan, Mas. Kalau jawabannya tetep sama berarti kamu nggak boleh mengkhianati aku dengan alasan ini." Annisa menarik napas panjang menatap lekat suaminya. "Kalau kamu mau menikahi wanita lain, aku beneran nggak masalah. Dan kamu bisa menceraikan aku."
Afnan menghela napas, mendekat pada Annisa menarik Annisa masuk dalam dekapannya. "Kalau alunan debaran ini berubah, itu artinya aku memang harus melakukan apa yang kamu minta. Tapi karena debaran ini tetap sama, aku nggak akan melepaskan kamu sampai kapanpun."
Afnan melerai dekapannya. "Jangan katakan itu lagi, karena membayangkan melepaskan kamu saja aku nggak sanggup. Aku terlalu cinta sama kamu. Masih banyak solusinya, sedangkan kehilangan kamu, aku nggak tau solusinya apa dan harus bagaimana."
Annisa tersenyum, meraih jemari Afnan kemudian mengecupnya. "Terima kasih," ucapnya tulus. "Aku beruntung bisa punya suami sebaik dan sebijak kamu."
Afnan balas mengecup jemari Annisa. "Aku juga terima kasih, beruntung memiliki istri sholehah seperti kamu."
"Aamiin..."
Tidak ada yang salah dengan cinta dan kasih mereka, tetapi setan terlalu senang dan bersemangat untuk meruntuhkan kasih cinta murni yang mereka miliki. Tanpa mereka sadari, godaan telah siap mengintai dan menerkan rumah tangga mereka hingga benar-benar koyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poligami (Tamat)
RomanceKatanya mencintai, tetapi menyakiti. Katanya menyayangi, tetapi mendustai. Poligami Haruskah sebuah hati direlakan menerima pengkhianatan? Haruskah tetap percaya saat dirinya menduakan? Bukan mengharamkan berpoligami, tetapi cara yang dilakukan s...