Haii... Haii... Emak kambeekkk.. Wahh makasih banget atas antusiasnya. Emak mo bilang makasih sama mon maap ya. Harap maklum yaa hehe bukan sok sibuk tapi.
Okay, happy reading lope~lope
***
Aya suci mengalun merdu saat pertama kali Afnan masuk ke rumahnya. Kamar utama memang terletak di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Mata Afnan terpejam, air matanya lolos begitu saja. Bagaimana perasaan istrinya? Bagaimana nanti bila istrinya tahu?
Tubuh Afnan terasa lemas, menatap kedua tangannya merasa hina tak pantas memeluk istrinya lagi. Afnan membuka mata saat lantunan ayat suci sudah tak terdengar lagi, suara pintu dibuka terdengar. Netra hitam Afnan mengarah pada pintu kamar mereka.
"Aku daritadi nungguin kamu, aku udah khawatir banget mau susulin kamu sama Pak Parman tadinya," cecar Annisa melangkah mendekati suaminya. "Kamu nggak apa-apa, kan?"
Afnan rasanya ingin menangis keras memohon ampunan pada istrinya. Terpaksa keinginannya ia urungkan, Afnan menarik bibirnya tersenyum paksa. "Acaranya baru selesai." Suara Afnan terdengar tercekat, menahan sumbang dari suaranya.
Annisa mengembuskan napas lega, hendak meraih jemari suaminya. Namun seketika Afnan menjauh membuat Annisa menatapnya heran. "Kamu kenapa?" Annisa menatap penuh selidik, melihat ada yang aneh dari gelagat suaminya. "Kamu baik-baik aja, kan?"
Afnan mengangguk kaku. "Aku baik-baik aja, Sayang."
Annisa menggeleng samar tidak puas dengan jawaban suaminya. "Kamu nggak bisa bohongin aku."
"Aku cuma-"
"Rambut kamu basah? Kamu habis mandi?"
Afnan menyentuh rambutnya yang basah, semakin terdesak. "Aku tadi ngantuk parah dan akhirnya ketiduran."
"Ketiduran?" kening Annisa mengerut tak mengerti. "Bukannya itu acara kantor? Kenapa bisa ketiduran?" cecar Annisa semakin menjadi.
Afnan mengembuskan napas pelan, tangannya yang bergetar terangkat mengusap sisi wajah istrinya. "Tangan kamu gemeteran?" Annisa meraih tangan Afnan menggenggamnya, sangat terasa bahwa tangan Afnan memang bergetar. "Kamu sakit, Sayang?" panik tiba-tiba melanda. "Kita ke IGD ya?"
Afnan menguatkan genggaman tangan Annisa, meredam rasa bersalahnya sampai ke dasar. "Aku nggak apa-apa kok beneran," Afnan berhasil mengontrol dirinya. "Bukannya aku udah minta kamu tidur duluan kalau sudah jam 10 malam?"
Annisa mendesah pelan. "Aku memang udah tidur, tapi kebangun lagi. Jadi aku tungguin kamu pulang." Annisa masih kurang paham dengan bagaimana bisa rambut suaminya basah seperti sehabis keramas. "Kamu mau makan?"
Afnan menggeleng, tersenyum lesu. "Aku mau tidur, peluk kamu. Itu aja udah cukup," parau Afnan.
"Ya udah, ayo." Annisa akan menanyakan itu lagi nanti, biar suaminya beristirahat dulu.
Mereka melangkah beriringan dengan Annisa yang menggandeng lengan Afnan. Annisa menekan rasa penasarannya, memilih membiarkan Afnan untuk beristirahat.
***
Netra hitam itu menatap lekat istrinya yang terlelap di sisinya. Wajah halus itu bersinar menunjukkan bahwa dirinya tidak pernah meninggalkan wudhu. Mata lentik yang selalu menatapnya teduh itu terpejam, tidak tahu apa yang dirinya sembunyikan. Afanan menghela napas, menatap langit-langit kamar nanar. Jam dinding menunjukkan pukul 2 malam, Afnan tidak bisa tidur. Gelisah menyelimutinya. Afnan melepaskan pelukan Annisa bergeser pelan kemudian turun dari tempat tidur.
Langkah Afnan membawanya ke kamar mandi, membersihkan diri kembali membiarkan dirinya diguyur air shower. Afnan memukul dinding keras, tangannya terasa kebas. Mungkin karena rasa bersalah dan sesak dalam dirinya lebih besar daripada rasa sakit di tangannya.
Afnan merenggut rambutnya kasar merasa marah dengan dirinya sendiri. Taubat pada Yang Maha Kuasa bersujud memohon ampunan atas perbuatan hinanya. Lalu, bagaimana dengan Annisa? Bagaimana bila Annisa tahu dan tidak akan memaafkannya lalu memlih meninggalkannya. Afnan tidak bisa membayangkan itu. Rasa sesak semakin menyiksanya.
Satu jam mengguyur dirinya, Afnan keluar dari kamar mandi sudah berwudhu. Diliriknya Annisa yang masih terlelap, Afnan melangkah menuju tempat khusus untuk beribadah. Menggelar sajadah, memakai kopiah menunaikan ibadah sunahnya. Tidak dipungkiri, air mata Afnan terus berderai selama menunaikan ibadah.
Selesai sholat, Afnan beristighfar terus mengulang sampai akhirnya tak sanggup lagi. Terisak menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bahu Afnan bergetar hebat, berusaha meredam tangisannya.
Tangis Afnan semakin menjadi saat mengingat wajah Annisa yang menatapnya. "Maafkan aku..." Afnan terisak lirih. "Maafkan aku..."
Bila bisa dilihat, betapa besar penyesalan dalam diri karena sudah berani mengkhianati istrinya. Bahkan bila penyesalan digambarkan, gunung pun tidak cukup untuk mewakili rasa penyesalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poligami (Tamat)
RomanceKatanya mencintai, tetapi menyakiti. Katanya menyayangi, tetapi mendustai. Poligami Haruskah sebuah hati direlakan menerima pengkhianatan? Haruskah tetap percaya saat dirinya menduakan? Bukan mengharamkan berpoligami, tetapi cara yang dilakukan s...